MEMBANGUN TRADISI SASTRA: MENYEMAI BENIH KEGAIRAHAN BERSASTRA DI KALANGAN SISWA
Matahari tepat di atas ubun-ubun , jam terakhir di sebuah Sekolah Berstandar Nasional diisi dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia. Pada saat memulai pelajaran sang guru (dengan gaya mirip-mirip pak Arfan Laskar Pelangi) mengajukan pertanyaan pada siswa,
“Anak-anak, siapa di antara kalian yang tahu tentang Laskar Pelangi?”
Mendengar pertanyaan tersebut, hampir seluruh siswa mengacungkan tangannya sambil berkata penuh semangat,
“Saya Pak!”
Belum puas dengan reaksi tersebut dengan semangat yang tinggi sang guru bertanya lagi pada siswa,
“Anak-anak, siapa di antara kalian yang sudah membaca tuntas novel Laskar Pelangi?”
Reaksi siswa pada saat menerima pertanyaan kedua amatlah berbeda dengan reaksi saat menerima pertanyaan pertama. Tak satu pun siswa yang mengacungkan tangan. Satu, dua orang anak menjawab dengan kata
“belum Pak!”
Sepenggal kisah di atas bukanlah sebuah anekdot yang rumpang dari sebuah pembelajaran sastra, namun sebuah kisah nyata yang terjadi di lingkungan Sekolah Menengah Atas Negeri dengan kategori Sekolah Berstandar Nasional. Sebuah berita yang cukup menyedihkan tentunya, bagi dunia sastra Indonesia. Mengapa demikian? Pertanyaan guru dengan memilih novel Laskar Pelangi sebagai subjek bukanlah bersifat kebetulan semata, namun sebuah kesengajaan untuk ‘mengintip’ sejauh mana apresiasi siswa terhadap karya sastra.
Pemilihan novel Laskar Pelangi dilandasi oleh kesuksesan novel tersebut dalam menarik simpati pembaca. Penjualan novel tersebut amatlah spetktakuler. Berdasarkan data pada tahun 2008, belum genap satu tahun beredar, Laskar pelangi telah terjual kurang lebih satu juta eksemplar, dengan royalti melampaui dua milyar rupiah. Hal tersebut sekaligus meruntuhkan mitos Kutukan Tiga Ribu Buku, bahwa buku sastra susah menembus penjualan tiga ribu eksemplar setahun.
Jawaban kedua atas pertanyaan guru di atas menjadi bukti konkrit bahwa ternyata tradisi bersastra pada kalangan siswa SMA belum begitu membanggakan. Jika novel sekaliber Laskar Pelangi saja belum terbaca secara tuntas, apalagi novel-novel yang lain. Berdasarkan hal tersebut, tugas berat untuk menggairahkan pembelajaran sastra masih terpampang di depan mata. Guna merealisasikan hal tersebut, komitmen dan keseriusan guru dalam mengemas pembelajaran bersastra di kalangan siswa amatlah diperlukan, tanpa itu semua, sastra akan semakin jauh dari kehidupan siswa.
Komunitas Sastra: Penyemai Kegairahan Pembelajaran dan Tradisi Bersastra di SMA
Robert M. Mac Iver dan Charles H. Page (1961:251) mendefinisikan komunitas sebagai wilayah kehidupan sosial dengan derajat hubungan sosial tertentu. Derajat hubungan sosial itu biasanya ditandai dengan interaksi yang intens di dalam suatu dinamika internal dalam jangka waktu tertentu. Dasar-dasar suatu komunitas adalah lokalitas dan perasaan sekomunitas.
Berkenaan dengan hal tersebut komunitas sastra, pada dasarnya merupakan bagian dari sebuah interaksi sosial yang dibentuk melalui kepentingan yang dapat bersumber dari tujuan-tujuan yang sama yang hendak dicapai anggota-anggota komunitas yang bersangkutan dalam kehidupan kesusastraan. Lokalitas dan perasaan sekomunitas menjadi daya lekat komunitas itu dalam mencapai tujuan bersama mereka.
Tinggi atau rendahnya peran komunitas sastra dalam menumbuhkan tradisi sastra yang kuat tidak terletak pada bentuk formal atau informalnya melainkan pada intensitas diskursus pemikiran yang berlangsung di dalamnya. Lokalitas dan perasaan sekomunitas menggerakkan aktivitas dan dinamika internal komunitas sastra dalam berbagai-bagai bentuk, seperti pemublikasian buku, buletin, majalah, jurnal kebudayaan, pementasan teater, dialog sastra, dan sebagainya.
Keberadaan komunitas sastra di sekitar lingkungan sekolah ternyata mampu menyemai kegairahan baru dalam kegiatan maupun pembelajaran bersastra di sekolah. Dalam hal ini diperlukan komitmen yang serius antara pihak sekolah dengan komunitas sastra di lingkungan sekitar sekolah terhadap pembelajaran sastra di sekolah.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, prodi Linguistik Terapan khususnya konsentrasi Pendidikan Sastra ke beberapa sekolah maju di Yogyakarta, menunjukkan bahwa semaraknya kegiatan apresiasi sastra Indonesia di lingkungan sekolah karena didukung oleh berbagai kegiatan bersastra, baik dilakukan secara intern maupun secara ekstern dengan melibatkan komunitas sastra di lingkungan sekitar sekolah. Kegiatan tersebut antara lain berupa pembentukan sanggar sastra di sekolah, pendirian teater sekolah, temu sastrawan, pengikutsertaan siswa ke dalam berbagai lomba kesastraan di luar sekolah, lomba baca puisi, lomba membaca cerpen, serta lomba minat baca buku cerita di perpustakaan.
Berkaca dari hal tersebut, ternyata kegiatan bersastra yang dilakukan di lingkungan sekolah berpengaruh positif terhadap pembelajaran sastra. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa, mustahil pembelajaran sastra bisa memenuhi harapan guru jika siswa tak pernah mengenal sastrawan maupun hasil karyanya. Sangat mustahil pembelajaran sastra akan berpengaruh terhadap afeksi siswa, jika dalam kehidupan mereka tak pernah bersentuhan dengan kegiatan bersastra. Sangat mustahil pula jika siswa akan mencintai sastra jika dalam diri siswa tidak pernah mengenal karya sastra. Jadi, singkatnya pembelajaran sastra di kelas tidak akan mampu membentuk karakter siswa, jika siswa tidak pernah bersentuhan dengan kegiatan sastra, sastrawan, dan karya sastra. Barangkali kita tidak menginginkan jika pembelajaran sastra di sekolah hanya bersifat formalitas belaka, tanpa ruh, tanpa makna, dan tanpa menimbulkan kesan apapun dalam diri siswa.
Melongok Pembelajaran Sastra di SMA dalam Kacamata Kurikulum dan Upaya Penyiasatan Pembelajaran Sastra
Alasan klise yang sering dilontarkan guru Bahasa Indonesia (sekaligus pengampu pelajaran sastra) berkenaan dengan pembelajaran sastra yang kurang bermakna, adalah beratnya tuntutan kurikulum yang harus mereka penuhi. Akibatnya, para guru tidak memiliki waktu yang memadahi untuk melakukan pembenahan dalam pembelajaran sastra. Bahkan, tidak jarang apresiasi sastra seolah-olah terabaikan dengan alasan sangat klise: tidak tersedianya bahan bacaan sastra yang memadahi di perpustakaan sekolah. Benarkah tuntutan kurikulum tersebut terkesan memberatkan sehingga pembelajaran sastra tidak mendapatkan porsi yang memadahi?
Kurikulum pada dasarnya adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian dan pengembangan program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah.
Sesuai Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar pelajaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA) dalam KTSP, segalanya terkesan sangat menjanjikan, ideal, dan penuh pengharapan. Demikian juga dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pengajaran Bahasa Indonesia. Kesan itu menjadi begitu optimistik manakala ada keterangan berikut: “Pada akhir pendidikan di SMA/MA, peserta didik telah membaca sekurang-kurangnya 15 buku sastra dan nonsastra.”
Dalam konteks pembelajaran sastra, KTPS memang tidak memberikan tempat khusus. Keberadaannya masih dipersandingkan dengan mata pelajaran lain yaitu bahasa Indonesia. Dengan kondisi semacam itu, pembelajaran sastra terkesan hanya sebagai pelengkap saja. Dengan nama mata pelajaran yang tidak mencantumkan kata ’sastra’, mengesankan bahwa pembelajaran sastra seolah-olah tidak mememiliki tempat dalam KTSP.
Berkenaan dengan Standar Kompetensi yang menyangkut (1) Mendengarkan, (2) Berbicara, (3) Membaca, dan (4) Menulis, penjabaran dalam Kompetensi Dasar khusus sastra Indonesia terdiri atas 36 - 38 materi dalam setiap semester, pelajaran sastra berkisar antara 16 - 18 materi. Jadi, cukup proporsional. Dari materi sejumlah itu, sekitar 6 - 8 menyangkut teori dan pengetahuan sastra, selebihnya apresiasi. Meskipun materi sejarah sastra tidak disinggung, materi apresiasi mendapat tempat yang cukup memadahi. Jika hal itu dijalankan secara benar, apresiasi sastra sesungguhnya tidaklah menjadi masalah. Jadi secara teoretis, kurikulum bahasa Indonesia telah menempatkan sastra secara proporsional dan amat memadahi untuk memupuk apresiasi sastra Indonesia di kalangan siswa.
Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMA meliputi: (1) peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri; (2) guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa peserta didik dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa dan sumber belajar; (3) guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didiknya; (4) orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program kebahasaan dan kesastraan di sekolah; (5) sekolah dapat menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan keadaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia; (6) daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.
Berkenaan dengan problematika pembelajaran sastra di SMA, setidaknya ada tiga faktor yang memungkinkan terjadinya masalah dalam pembelajaran sastra, yaitu faktor individu siswa, faktor pembelajaran dan faktor lingkungan. Faktor individu siswa meliputi bakat, sikap, minat, dan motivasi (Brown, 1987:244). Faktor pembelajaran (mikro) meliputi kurikulum, materi, metode, evaluasi, dan guru (Dubin & Olshtain, 1986: 27 - 32). Faktor lingkungan (makro) meliputi keluarga dan masyarakat.
Pada faktor individu siswa, bakat yang berarti kemampuan bawaan (inborn capacity) bisa menjadi sumber masalah dalam pembelajaran sastra karena sastra adalah seni; dan kemampuan bersastra akan berkembang baik jika siswa mempunyai bakat seni. Namun hal ini tidak berarti bahwa sastra hanya bisa dipelajari oleh mereka yang berbakat saja. Sebagaimana bahasa, pemerolehan kompetensi kesastraan bisa bersifat alamiah (natural) dan juga bisa melalui pengasuhan (nurtural). Bakat bersifat natural, sedangkan pelatihan, pengasuhan, dan proses pendidikan bersifat nurtural. Sikap (attitude) memiliki dua wajah, bersifat positif atau negatif. Apabila siswa bersikap positif terhadap sastra, maka dia akan menerima dan tidak menganggap sastra sebagai beban, halangan, atau ancaman. Sebaliknya, jika bersikap negatif berarti siswa tidak menerima adanya sastra atau tidak menyukainya. Sikap biasanya dipengaruhi oleh pengalaman. Jika selama menjalani proses pembelajaran, siswa mendapat pengalaman yang pahit atau tidak menyenangkan, maka dia akan bersikap negatif terhadap sastra. Sebaliknya, bila dia mendapatkan pengalaman yang baik dan menyenangkan, maka dia akan bersikap positif. Idealnya, sebuah pembelajaran hendaknya diarahkan pada pemerolehan pengalaman yang baik pada diri siswa.
Salah satu permasalahan yang sifatnya mendasar berkenaan dengan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Indonesia sesungguhnya juga terletak pada kemauan, motivasi dan semangat guru dalam mengemas pembelajaran menjadi lebih menarik dan bermakna bagi siswa. Khusus dalam pembelajaran sastra (Indonesia), seringkali guru terjebak dalam materi yang bersifat teoretis belaka. Siswa terkesan dipaksa untuk menghafal tentang teori kesastraan yang berhubungan dengan unsur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra, gaya bahasa, dan sejarah sastra dari masa ke masa. Jika hal itu dikembalikan pada muara akhir pembelajaran sastra yaitu apresiasi karya sastra, lantas apa manfaatnya para siswa mengetahui, memahami, dan hapal di luar kepada tentang materi-materi tersebut, jika mereka sama sekali tidak diberi kesempatan bergumul langsung dengan karya sastra. Hal itulah yang menjadi titik tolak kegagalan pembelajaran sastra di SMA.
Salah satu implementasi dalam pembelajaran sastra (Indonesia) di Sekolah Menengah Atas adalah dengan cara memberi kesempatan para siswa untuk bersentuhan langsung dengan karya sastra, dalam hal ini adalah membaca karya sastra maupun kegiatan bersastra lainnya. Sebagai contoh tindak lanjut dari kegiatan tersebut, siswa diberi kesempatan untuk mendiskusikan hasil pembacaan yang telah dilakukan. Tugas guru selanjutnya adalah bertindak sebagai moderator pada saat para siswa mendiskusikan karya itu. Dari karya sastra yang telah dibaca siswa itulah, guru bisa menerangkan soal yang berkenaan dengan penguasaan konsep-konsep yang didapat siswa dari kegiatan pembacaan karya sastra.
Melalui cara seperti itu, pelajaran sastra tidak hanya dapat menumbuhkan apresiasi siswa pada karya sastra, tetapi juga dapat menjadi ajang saling menghargai pendapat. Sebuah pelajaran demokrasi telah berlangsung di dalam kelas, karena di sana urusan benar - salah, tidak berlaku lantaran yang diutamakan adalah alasan di balik jawaban apa pun yang disampaikan peserta didik. Di samping contoh di atas, tentunya masih banyak metode yang bisa diterapkan oleh guru dalam pembelajaran sastra. Permasalahan yang sifatnya cukup mendasar dalam pembelajaran sastra adalah berkenaan dengan bahan bacaan sastra yang disediakan sekolah untuk menunjang pembelajaran sastra. Cukup tersediakah bahan bacaan sastra tersebut guna menunjang kegiatan apresiasi anak? Jika di perpustakaan belum tersedia bahan bacaan sastra yang memadahi, guru bisa memanfaatkan karya sastra yang sering dimuat di koran-koran lokal maupun memberi tugas tidak terstruktur pada siswa untuk mengunduh karya sastra yang jumlahnya ribuan file di internet. Selanjutnya tugas tersebut bisa didokumentasikan di perpustakaan sekolah. Guna memotivasi anak mengerjakan tugas tersebut, barangkali tidak cukup hanya sekedar memberikan nilai terhadap tugas itu, namun seharusnya ada semacam penghargaan dari sekolah bagi siswa yang mampu mengerjakan tugas dengan baik. Penghargaan tersebut bisa berupa piagam yang diserahkan pada saat upacara bendera di hari Senin. Kini bukan saatnya lagi mempermasalahkan kelangkaan sumber bacaan sastra, karena semua itu bisa didapat dengan mudah di jaringan dunia maya.
Berkenaan dengan tersebut, inovasi seorang guru untuk mengemas pembelajaran sastra menjadi lebih menarik perhatian siswa amatlah terbuka lebar. Kurikulum bukanlah sebuah kitab suci, yang harus dijalankan secara mutlak, implementasinya dalam pembelajaran haruslah bersifat fleksibel. Kemajuan iptek, hendaknya dapat dijadikan momentum guru sastra untuk lebih mengoptimalkan praktik pembelajaran sastra di sekolah. Akhirnya, pembelajaran sastra di sekolah pada dasarnya adalah sebuah unikum, yang memiliki karakteristik yang berbeda dari pembelajaran lainnya. Keberhasilan pembelajaran sastra tidak hanya ditentukan oleh pelajaran tatap muka di depan kelas saja, namun juga didorong oleh faktor-faktor di luar pelajaran. Komitmen guru untuk menghidupkan pembelajaran sastra dengan berbagai kegiatan bertradisi sastra adalah kunci keberhasilan pembelajaran sastra di sekolah.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Sosok guru diharapkan bisa menginspirasi para siswanya Ibu. Semoga. Salam literasi dan selamat berkarya
Salam! Kita sama2 berjuang.
Tulisan yang panjang...kuncinya terletak pada guru ya, pak?