Rohmawati

Saya guru di MIN 4 Sragen, Kab.Sragen Jateng, juga menulis buku PAI SD di penerbit Tiga Serangkai Solo. Menjadi fasilitator daerah B3 USAID Prioritas tahu...

Selengkapnya
Navigasi Web
Jangan Benci Aku

Jangan Benci Aku

Ramai suara kendaraan dan hiruk pikuk kesibukan di pasar tradisional membuat langkahku patah-patah. Tak ada yang bisa aku lakukan kecuali sabar. "Minggir minggir, panas panas!" Suara khas penjual teh mengantar dagangannya ke langganan. Riuh suara pembeli menawar barang dagangan, meski hanya lima ratus rupiah tetapi suaranya membuat ramai sekitarnya. Jalan yang becek karena diguyur hujan semalaman membuat mataku selalu melotot memilihkan jalan kakiku agar tidak terpeleset. Ramainya pasar yang sebagian besar ibu-ibu belanja kebutuhan sehari-hari. Praaakk, badanku terhuyung ke samping. Laki-laki berbadan besar berjalan cepat dari belakang hampir menabrakku. Rok panjangku basah terciprat air yang menggenang dan diinjak laki-laki tinggi besar itu. Ah, pasar ini penuh sesak, sempit, becek dan tidak nyaman. Tetapi bagiku belanja di pasar ini banyak keuntungannya. Sayuran dan buah selalu segar tanpa takut pengawet atau segar karena disimpan di lemari pendingin. Harganya juga murah.

Semua kebutuhanku sudah terbeli, saatnya pulang. "Hai mbakyu!" Seorang perempuan menepuk bahuku. Wanita berkulit putih usia tiga puluhan berambut keriting dengan lesung pipit di pipinya.

"Hei, apa kabar?" Sambil cium pipi kanan dan kiri ala orang kota. Vina, teman waktu SD yang selalu juara kelas. Dia berjualan pakaian di pasar. Lumayan ramai dagangannya, kami pun terlibat obrolan mengenang masa lalu. Dengan antusias dia nerocos bercerita kenangan indahnya di masa itu. Aku hanya diam mendengarkan. Tak ada yang bisa aku ceritakan. Masa itu adalah masa paling menakutkan bagiku. Aku murid terbodoh, tak bisa apa-apa. Semua teman tidak ada yang mau bermain denganku.

***

"Anak-anak, kenalkan teman baru kalian, namanya Rara!" Guru baruku mengenalkan aku di depan kelas. Aku baru pindah sekolah karena orang tuaku pindah rumah. Ini adalah awal hilangnya keceriaanku. Aku duduk di bangku paling depan karena tubuhku yang mungil.

"Hai, anak baru! Kecil sekali kakimu, dan rambut panjangmu ini, ha ha." Dede meledekku sambil menarik rambut panjangku. Anak laki-laki bertubuh tinggi besar ini paling ditakuti anak satu kelas. Hampir setiap hari aku menerima perlakuan kasar darinya. Aku tak pernah menangis ataupun mengadu ke guru. Berbeda dengan teman yang kain, mereka selalu menangis setiap kena tangan jahil Dede.

Karena tidak tahan dengan sasaran tangan Dede, rambut panjangku aku potong. Ibu dengan berat hati memotong rambutku menjadi model Demimore, model yang ngetrend waktu itu. Aku tidak pernah takut dengan Dede. Aku tidak pernah membalas kenakalannya. Aku hanya diam, meski kadang sakit kena pukulan tangannya. Sejak ada aku, Dede tidak pernah menggoda teman yang lain, hanya aku sasaran satu-satunya. Tapi aku tidak pernah sakit hati. Aku sakit karena perlakuan teman dan guruku yang sering mengatakan aku bodoh. Sungguh, aku sangat sakit. Benarkah aku bodoh.

Pagi sangat cerah,bunga Kamboja warna putih bermekaran indah sekali. Aku malas untuk bangun, ku intip dari jendela kamar bunga Kamboja melambai-lambai. Tetapi, aku enggan tuk mendekatinya. Untuk apa ke sekolah, aku anak bodoh. Sekolah juga tidak ada gunanya. "Rara, bangun nanti terlambat ke sekolah!" Suara ibu membangunkanku. Ah, ibu tidak tahu, aku ini hanya sambah Bu, buat apa ke sekolah. Sambil melangkah menuju kamar mandi. Ayahku sudah siap dengan sisir dan kuncir topi kesayanganku. Dirapikannya rambutku bak princes tercantik, di pakaikan hiasan di rambutku. Dengan ragu-ragu dan takut aku berjalan menuju sekolah. Satu-satunya SD di desa kami.

"Ssst hei, tuh Rara datang." Kedatanganku selalu mengundang perhatian teman-teman. Aku hanya duduk di bangkuku. Aku tidak mau mengganggu mereka bermain. Mereka akan berhenti bermain jika aku mendekat. Aku tidak pernah tertawa bersama mereka.

"Rara, mengapa tulisan kamu jelek, ibu tidak bisa membacanya. Kamu harus belajar menulis!" Kata ini setiap hari kudengar. Aku tidak bisa menulis rapi seperti teman yang lain. Hasil tesku selalu nilai merah. Aku sudah berusaha tetapi tetap saja aku mendapat nilai merah.

Hampir setiap hari aku mendapat hukuman dari guru. Teman-temanku selalu melaporkan aku berbuat kenakalan yang tidak pernah aku lakukan. Entah mengapa, guruku selalu percaya mereka tanpa bertanya kepadaku. Sekolah menjadi menakutkan bagiku. Aku tidak berani mengadu ke ayah. Ayah sangat keras, aku takut kena marah. Tidak ada tempat yang nyaman bagiku.

"Rara, mengapa nilaimu selalu merah! Ayah malu punya anak sepertimu." Bentak ayah sambil memukul kepalaku.

Aku menangis tanpa suara, anak bodoh yang tidak berguna. Apa yang bisa aku lakukan. Setiap hari aku belajar menulis rapi, berharap guruku mau membaca hasil tesku. Tetapi tetap saja tidak serapi teman yang lain. Seandainya ada yang mau membimbingku cara menulis yang benar, aku pasti senang sekali. Semakin hari rasa percaya diri mulai hilang. Duduk tanpa bergerak sedikitpun. Tak berani memandang wajah guru yang selalu menaikkan alisnya padaku. Tak berani bermain dengan teman-teman karena mereka menganggapku bodoh.

Bertahun-tahun dalam ketakutan. Takut dengan teman, guru, dan ayah. Hampir setiap hari aku kena pukul ayah. Hampir tiap hari kena marah guru. Hampir tiap hari diejek teman.

"Anak-anak satu minggu lagi kalian ujian kelulusan, rajinlah belajar. Rara, kalau kamu ikut ujian belajar, atau kamu membuat malu sekolah ini." Tertunduk mendengar perkataan guru. Diam seribu bahasa. Serasa kabut gelap menghadang langkahku. Gumpalan awan hitam pekat siap menghujaniku. Apa salahku, mengapa aku tidak bisa seperti mereka. Mengapa aku menjadi anak bodoh.

"Rara, sini ayah ajari kamu belajar, jangan membuat malu orang tua!" Dengan paksa ayah menarik tanganku menuju meja belajar. Tetapi, kepalaku penuh dengan kata aku anak bodoh. Belajarpun aku tidak akan mendapat nilai baik. Suara keras ayah semakin membuat kepalaku sesak. Aku sudah tidak bisa berpikir. Aku ini gelas yang retak, diisi air sebanyak apapun tidak ada yang tertinggal. Semua akan tumpah karena bocor.

Soal-soal ujian aku kerjakan semampuku. Banyak soal yang bisa aku kerjakan, karena aku sering mendengarkan ketika guru menjelaskan. Tetapi Rara tetap Rara. Tidak akan pernah menjadi Vina yang selalu juara. Wajahku selalu menunduk dan datar. Tidak ada ekspresi apapun.

"Bagaimana bisa mengerjakan?" Pertanyaan guru kepada teman-teman. Setiap keluar dari ruang ujian hanya aku yang tidak pernah ditanya guru.

Ujian sekolah selesai. Teman-teman asyik bermain di halaman. Kami harus menunggu beberapa minggu untuk mengetahui hasil ujian kami. Selama ujian mereka saling bertukar jawaban satu sama lain. Mereka bercerita dengan senangnya ketika mendapat jawaban dari teman sebelahnya. Aku menguping pembicaraan mereka. Pasti nilai mereka akan baik, mereka saling membantu mengerjakan soal. Sedangkan aku, siapa juga yang mau bertukar jawaban dengan anak bodoh sepertiku.

Detik-detik pengumuman telah tiba. Jam berganti menit, berganti detik. Jarum jam serasa lambat sekali berputar. Jantungku berdegup kencang, menanti hasil ujianku. Akankah memanen merah lagi. Guruku menempel nilai kami di papan pengumuman. Semua anak berlari berdesak-desakan melihat nilai mereka. Aku tetap di tempatku tak bergerak. "Rara nilainya bagus, mana mungkin anak bodoh itu masuk sepuluh besar. Mungkin ada yang tertukar nilainya." Sayup-sayup terdengar suara Dede menyebut namaku. Deg, jantungku serasa berhenti mendengar ucapan Dede. Aku melongok dari kejauhan melihat papan pengumuman. Benar, ada nama Rara di urutan nomor 8. Buru-buru aku melipat kepalaku ketika teman-teman melihatku.

Semua teman melanjutkan sekolah ke kota. Aku tetap di desa. Tak ada keberanian untuk melanjutkan sekolah ke kota. Aku siswa yang bertubuh paling kecil di SMP. Semua teman memanggilku Menik. Panggilan untuk anak perempuan yang berukuran tubuh kecil. Dengan kebiasaan lama, duduk terdiam tanpa bicara dengan siapapun. Perkenalan pertama di kelas dengan guru matematika.

"Anak-anak, saya akan memberikan quis matematika. Siapa yang dapat menjawab akan mendapatkan hadiah buku dari saya." Dengan senyum guru laki-laki berambut cepak, gigi gingsul dan bertubuh tinggi tegap menulis satu soal di papan tulis. Semua anak sibuk mengerjakan. Aku sudah selesai lebih dulu. Tidak ada kata menunjuk dalam quis ini, anak-anak harus percaya diri ke depan mencoba mengerjakan. Aku terdiam di bangkuku, kututup bukuku karena malu dilihat guru. Sudah lebih dari sepuluh anak mencoba mengerjakan, tak satupun yang tepat jawabannya. Sang guru mendekatiku menyuruhku maju, tetapi aku tak berani. Tulisan tanganku jelek, aku takut jawabanku salah dan akan jadi bahan tertawaan teman.

Akhirnya hadiah diberikan kepada Fauzi, jawaban yg hampir benar. Sang guru membahas quis tadi, dan ternyata jawabanku tepat. "Ah, jawabanku benar." Lirih aku berucap, tetapi sang guru mendengarnya. Pak Amin begitu namanya. Pak Amin mendekatiku,"Aku tahu jawaban kamu benar, aku sudah melihatnya ketika kamu selesai mengerjakan, tetapi kamu tidak berani ke depan, mengapa?"

Aku hanya diam, tak berani aku melihat wajah pak Amin. Sejak itu, pak Amin sering mendatangiku. Saat aku duduk sendiri di bangkuku. "Rara, kenapa tidak bermain bersama mereka?" Pertanyaan itu tak pernah aku jawab. Aku hanya tersenyum padanya.

Setiap hari pak Amin mendekatiku, di kelas selalu mengatakan aku pandai matematika. "Kamu luar biasa Rara, soal serumit apapun kamu selalu bisa menyelesaikan dengan benar." Sambil menepuk mejaku hingga membuatku kaget dan melihat kearahnya.

"Nah, begitu dong. Lihat wajah gurumu ini! Ganteng kan? Jangan melihat meja terus. Ada apa sih di mejamu, uang? Atau wajah Anjasmara. Kasian wajah cantikmu kalau dilipat terus, bisa kusut nanti." Dengan melambaikan tangannya keluar kelas.

Pak Amin, guru muda yang masih Wiyata bakti, yang selalu tersenyum kepada siswanya. Pelajaran matematika menjadi menyenangkan olehnya. Tidak ada marah tetapi sebaliknya penuh canda tawa. Kami nyaman belajar bersamanya.

"Rara, kamu itu pandai, terbukti nilai matematika selalu tertinggi. Tetapi mengapa kamu seperti kurang percaya diri begitu. Aku akan memberimu satu soal yang belum pernah aku ajarkan. Jika kamu bisa mengerjakan, kamu tidak boleh penakut lagi." Pak Amin menulis satu soal di kertas. Tentang volume bangun gabungan yang belum pernah diajarkan waktu itu.

"Luar biasa Rara, jawaban kamu sempurna! Rara, kamu hebat, hebat Rara! Bapak bangga sama kamu." Suara yang keras membuat teman-teman menoleh kearah kami.

"Hmmmm, aku hebat. Aku ini anak bodoh, bagaimana mungkin aku hebat." Suaraku lirih.

"Apa Ra, kamu anak bodoh? Salah besar, kamu anak yang luar biasa. Ayo Ra, tersenyum, tersenyum Ra!"

Motivasi Pak Amin membangkitkan semangatku tuk belajar. Di semester pertama aku menduduki peringkat 50 dari 350 siswa. Tetapi di semester dua sungguh mengejutkan, peringkat 4 aku duduki. Terlalu tinggi aku terbang hingga aku tak kuasa menahan angin yang kencang. Aku duduk di depan papan pengumuman ditemani guru matematikaku, bulir-bulir air mata menetes di pipiku. Semangat belajar yang dibangkitkan dari seorang guru matematika. Terimakasih guruku, semoga engkau selalu dalam lindungan-Nya.

***

"Hei, Ra! Melamun ya." Kaget dengan tepukan tangan Vina di wajahku.

"Yeee, baru aku tinggal sebentar melayani pembeli malah bengong. Mikir apa hayo" sambil nyengir Vina menggodaku.

Aku hanya tersenyum padanya. Berharap selalu sukses, dan semakin berkah hidup kami.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Tulisannya sudah mengalir Bu Rohmawati. Saya menangkap perlakuan istimewa dari Pak Amin yang memutarbalikkan pandangan orang selama ini. Memang ada dalam dunia nyata.

02 May
Balas

Makasih pak, ini masih belajar, masukannya saya harapkan

03 May

Makasih pak, ini masih belajar, masukannya saya harapkan

03 May



search

New Post