Penjual Jagung Rebus
Di zaman yang penuh ketidakpastian ini dibutuhkan kreativitas untuk sekadar bisa bertahan hidup. Seperti halnya yang dilakukan oleh para penjual makanan keliling di kampung-kampung. Di kampung saya, awalnya hanya penjual tahu bulat yang menjajakan dagangannya dengan alat bantu speaker.
Namun sekarang, kreativitas itu banyak ditiru oleh penjual keliling lain untuk menarik minat pembelinya. Dari mulai penjual sayuran keliling, buah, bakpao, roti, hingga jagung rebus. Mereka menawarkan dagangannya dengan rekaman suara khas masing-masing. Contohnya penjual tahu bulat, “Tahu, bulat digoreng, dadakan, …” Lain lagi suara penjual bakpao:, “Bakpao hangat, dua ribu, ada rasa kacang, strowbery, …” dan yang belum begitu familiar di telinga saya adalah suara speaker penjual jagung rebus.
Saya tinggal di daerah pegunungan dengan komoditas utama sayur mayur yang berlimpah. Namun demikian trend penjualan sayuran keliling tak pernah sepi pelanggan. Sebab, mereka bisa masuk gang-gang sempit di perkampungan dengan aneka jenis kendaraan. Ada yang menggunakan sepeda motor, bentor, hingga mobil bak terbuka.
Ibu-ibu rumah tangga kini tak lagi kesulitan ketika membutuhkan bahan-bahan untuk memasak sehari-hari. Bahkan ada penjual sayuran keliling yang memberi layanan ekstra melalui grup WA yang beranggotakan ibu-ibu pelanggan setianya. Hari ini mau masak apa, bahan-bahannya sudah siap diantar sampai depan rumah karena sudah dipesan lewat grup WA sebelumnya.
Penjual sayuran keliling mungkin sudah bisa diterima di hati para pelanggannya yang notabene kaum emak-emak. Namun bagaimana dengan penjual jagung rebus keliling? Apalagi di daerah pertanian yang sebagian warganya juga masih menanam jagung.
Namun demikian rezeki bukan kita yang mengatur. Tuhan maha kaya. Nyatanya dagangan mereka laku juga. Buktinya, setiap sore meskipun kadang hujan turun lebat mereka keliling kampung dengan suara khas speaker-nya, “Jagung rebus, manis, hangat, lima ribuan.” Begitu suara terdengar berulang-ulang.
Di sisi lain kadang saya berpikir 1 buah jagung, dijual dengan harga lima ribu di desa sebenarnya mahal. Namun jika berpikir lebih jauh ke belakang, bagaimana susahnya petani dari mulai mengolah lahan, menyemai bibit, merawat, hingga memanen. Belum lagi mereka harus merebus lama tentu butuh gas elpiji, berkeliling kampung dengan sepeda motor butuh pertalite. Mereka butuh biaya operasional yang tinggi.
Lantas siapa yang akan menghargai mereka. Membeli 1 buah jagung Rp5.000,00 mungkin terasa mahal serasa membeli jagung di negeri orang. Tetapi demi mereka bisa bertahan hidup, masihkah kita katakan mahal?
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keren