Banjir bukan berita baru pada masyarakat yang hidup di sekitar sungai-sungai. Banjir di ibukota Jakarta yang saban tahun selalu ada, bukan hal baru. Tetapi, banjir di Jakarta akan selalu menjadi "santapan" lezat para pemangku kepentingan di sekitarnya. Oleh karena itu, banjir di Jakarta menjadi polemik di berbagai media oleh banyak kalangan. Padahal, banjir di sana, sudah lumrah. Masalahnya ada pada bagaimana mengurangi dampak yang timbul akibat banjir, sebab, banjir itu sendiri tak akan dapat diatasi dengan teknologi apapun, kecuali, kemauan yang kuat untuk menggelontorkan dana besar untuk membangun tembok raksasa seperti yang terjadi di Nederland-Holland.

Di berbagai tempat di Indonesia, ada pula banjir yang melanda daerah-daerah itu, tetapi intensitas pemberitaannya berbeda dengan yang terjadi di Jakarta.

Ini contohnya. Sejumlah guru di Kabupaten Kupang berdiri di bibir sungai. Mereka tidak dapat menyeberang untuk sampai ke sekolah oleh karena sungai sedang meluap, banjir.

Jadilah mereka menunggu. Kabarnya mereka menunggu dalam durasi 3 - 4 jam. Ketika banjir surut mereka akan melanjutkan ke sekolah, atau sebaliknya, bila jam belajar reguler berakhir dan mereka pulang dan terjadi banjir, maka mereka terpaksa harus menunggu.

Beginilah situasinya. Kita tidak dapat berkata kepada alam, "Berhentilah! Kami akan segera bertugas di sekolah!"

Jika itu terjadi, maka mungkin para guru yang berdiri di bibir sungai itu, setiap saat akan memberi perintah pada alam. Lalu alampun akan mendengarkan mereka.

Amarasi Selatan, 18 Maret 2020