1978
Hari ini Uwa Sutirah menjual kambing sampai 16 ekor. Kata uwa kambing-kambing itu dijual untuk modal hajatan sunatan 2 orang cucunya, termasuk acara “Kariaan”. Aku tahu omongan itu ketika uwa datang ke rumah menceritakan rencananya kepada bapak, adik bungsunya. Tradisi di kampung kami, biasanya sebelum acara sunatan, sehari sebelumnya digelar pesta sisingaan yang disebut “Kariaan”. Tujuan dari kariaan itu, adalah menghibur anak yang mau disunat, dengan cara diarak keliling kampung dengan menaiki sisingaan. Orang tua dulu, menganggap dengan menaikan anaknya sisingaan, itu dapat menghibur anak yang mau disunat supaya siap menghadapi acara sunat keesokan harinya. Untuk pesta sisingaan ini, tidak hanya cucu yang dua orang yang dinaikan sisingaan, melainkan termasuk 6 orang cucu uwa yang lain.
“Wah kebetulan Wa, kalau boleh saya ingin Mustika dan Dewi ikut naik sisingaan juga, biarin biaya sepasang sisingaan untuk Mustika dan Dewi saya bayar sendiri, kasihan anak-anak, apalagi Mustika sudah 9 tahun Wa belum naik sisingaan.”
“Ya boleh, tetangga Uwa saja ada yang mau ikut tiga keluarga, ga apa-apa malah jadi ramai.”
Memang sudah tradisi di kampungku, walaupun anak perempuan tidak disunat, dibolehkan untuk mengikuti pesta sisingaan, jika mampu. Makanya di kampung kami, hampir 100% anak laki-laki maupun perempuan pernah naik sisingaan.
Dua hari sebelum acara Kariaan, bapak sudah selesai membuat ikat pinggang, mahkota, dan hiasan dada serta tangan yang terbuat dari kardus yang dilapisi kertas mas. Sehingga asesories tersebut terkesan mewah. Bapak juga sudah menyewa baju sehingga aku dan adikku didandani ala ksatria Srikandi.
Acara yang dinanti pun tiba. Kami berjumlah 16 orang yang mau Kariaan, dimandikan di sungai dekat dengan kantor desa. Ma Paraji yang akan merias kami, menyiram kepala kami dengan air cucian beras yang sebelumnya dibacakan doa-doa, entah doa apa yang dibaca.
Setelah dimandikan, barulah kami dirias. Namun sayang baju yang sudah bapak siapkan, tiba-tiba raib, rupanya dipakai orang. Karena baju itu memang paling bagus dibandingkan dengan koleksi Ma Paraji. Aku juga tidak bisa menyalahkan Ma Paraji, karena Ma Paraji kemungkinan bingung lantaran banyaknya orang yang mau dirias. Aku juga tidak kecewa sama ibu atau bapak tidak turut serta mengantar kami ketika mau dirias, seperti orang tua yang lain, karena aku tahu, bapak dan ibu sibuk membantu acara hajatan di rumah uwa.
Tetapi meskipun pakai kostum seadanya dari Ma Paraji, karena Ma Paraji sudah terampil dalam memoles muka, tetap saja aku merasa penampilanku berbeda, aku merasa lebih cantik, pangling.
Pukul 14.00 acara Kariaan dimulai. Gamelan sudah ditabuh, Suara terompet yang diiringi hentakan gendang dan pukulan gong manjadi tanda kalau kru sisingaan sudah mulai menari sambil mengarak kami. Semua peserta kariaan yang masing-masing duduk di atas sisingaan berpenampilan bak Gatotkaca kalau laki-laki, dan Srikandi kalau perempuan.
Kru berjalan dengan lincah sambil menari mengikuti tabuhan gamelan. Beberapa penonton bapak-bapak dan ibu-ibu pun ikut menari sambil terus berjalan menyusuri kampung. Penonton setiap kampung yang dilewati akan selalu bertambah. Semakin sore, penonton semakin berjubel.
Sepanjang perjalanan kru sisingaan selalu melakukan atraksi. Hentakan kaki para pemikul sisingaan itu membuat kepala sisingaan yang berambut panjang, bergoyang-goyang, nampak hidup. Atraksi semakin seru karena ada tambahan acara Kuda Lumping. Apalagi ketika Kuda Lumping melakukan atraksi yang berbahaya, penonton semakin bertepuk kegirangan.
Tiba-tiba salah satu penonton yang ikut menari, terjungkal kesurupan. Sehingga beberapa penonton yang lain, mengurusi bapak yang kesurupan itu. Namun kru sisingaan tetap berjalan menyusuri kampung, dan menari menuju rumah inti, rumah uwa. Dan aku pun tidak terasa ikut menari di atas sisingaan.
Melihat itu, ibu berteriak:
“Tika! Jangan menari Nak, nanti kamu jatuh. Pegang yang kencang ya leher singanya!” Teriak ibu panik. Maka aku pun berhenti menari.
Tiba-tiba ada mobil sedan yang lewat, berhenti. Tampak seorang pemuda turun dari mobil dan memotretku berkali-kali. Mobil itu berplat B, mungkin dia terkesan. Alangkah girangnya hatiku.
Sekitar pukul 4 sore sampailah di rumah uwa. Gamelan semakin kencang ditabuh. 8 pasang sisingaan pun menari, meliuk-liuk, semakin lincah disertai adegan-adegan akrobatik dengan koreografi dari pemikul sisingaan yang variatif. Akupun semakin kencang memegang leher singa, karena singa yang aku tumpangi kadang dimainkan dengan cara terbang, nukik, berdiri, bertumpuk, dan memutar atau tampak seperti berhadapan ibarat mau duel. Sungguh adegan yang mendebarkan.
Adegan itu kini menjadi kenangan yang tak kan terlupakan. Sayang tradisi naik sisingaan ini tidak dialami oleh dua anakku yang perempuan. Aku harap semoga cucuku dapat merasakan keseruan naiknya sisingaan, sebagai upaya melestarikan budaya. Semoga tradisi ini tetap bisa bertahan dan dapat dilestarikan.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar