ros tini

Saya terlahir dengan nama Rostini, yang memiliki makna seorang perempuan bagaikan bunga mawar yang cantik dan harum. Semoga harapan dari orang tua yang baik-bai...

Selengkapnya
Navigasi Web

1979

“Assalaamu’alaikum! Assalaamu’alaikum!” Terdengar ada yang mengucapkan salam sambil mengetuk pintu.

“Waalaikum salam!” Sambil kubuka pintu, ternyata….

“Kakeeekkk!” Aku girang sambil berteriak, dan langsung mencium kakek dan memeluknya.

“Mana Ibu dan Bapakmu?” Sambil masuk dan duduk di ruang tamu.

“Lagi di sawah Kek, sebentar aku panggil dulu ya.”

Beruntung ada kakakku yang perempuan, jadi bisa menemani kakek dan memberi kakek jamuan seadanya, selagi aku memanggil bapak dan ibu.

Seperti biasa bapak kalau hari Minggu, atau libur sekolah pasti akan menghabiskan waktu di sawah. Bagi bapak dan ibu sawah adalah rumah keduanya. Saking cintanya dengan sawah, kadang pulang sekolah setelah shalat dan makan, bapak langsung ke sawah. Katanya menghemat biaya. Kalau semua pekerjaan dikerjakan oleh orang lain, jadi keuntungan hasil jerih payah bapak bertani tidak kelihatan.

Aku semangat sekali mau mengabari kedatangan kakek kepada bapak dan ibu. Dengan segera aku berteriak di belakang rumah memanggil mereka. Metode memanggil melalui teriakan di belakang rumah, sudah biasa kami lakukan, mengingat posisi kampung kami lebih tinggi dibandingkan dengan posisi sawah, Apalagi rumah bapak di ujung kampung, Jadi kalau kita berteriak di belakang rumah, langsung akan terdengar jelas ke sawah.

Tidak begitu lama menunggu, bapak dan ibu sudah tiba. Kami semua berkumpul mengelilingi kakek. Setelah ngobrol ngalor ngidul, tiba-tiba kakek berbicara,

“Dari tiga cucu kakek yang perempuan, ada ga yang mau ikut tinggal sama Kakek?”

Kami semua diam. Entah apa yang ada dalam pikiran Teh Iyan, dan Dewi adikku. Aku tertarik dengan tawaran kakek, karena rumah kakek dekat dengan pasar, terus dekat dengan pantai. Tapi kalau aku ikut kakek, aku jadi jauh dengan ibu. Aku tidak akan mampu jauh-jauh dengan ibu.

“Ya ayo siapa yang mau tinggal sama Kakek?” tanya bapak.

“Jangan takut, rumah kakek juga dekat dengan sekolah, nanti yang mau tinggal sama Kakek pasti akan Kakek sekolahkan. Ayo Iyan, Tika atau Dewi yang mau ikut Kakek?” Tanya kakek sambil kakek memfokuskan pandangangannya kepada kami bertiga.

Setelah agak lama, tiba-tiba bapak memecah kesunyian,

“Sudah Mustika saja ya yang ikut Kakek, dari pada di sini Mustika suka berantem sama Teh Iyan dan Dewi. Siapa tahu kalau sudah pindah, jauh dengan kakak dan adik serta orang tua, Mustika jadi anak yang mandiri dan dewasa. Bagaimana Mustika mau?” tanya bapak.

Belum sempat aku menjawab, ibu berbicara:

“Pak, jangan Mustika deh, Ibu mau semuanya ga ada yang diajak Kakek. Ibu mau ngumpul terus sama anak-anak, kasihan Mustika Pak.”

“Ga apa-apa kan Mustika ikut tinggal sama Kakek, jadi Kakek ga kesepian lagi. Bagaimana Mustika jadi kan ikut Kakek?” tanya kakek lagi.

“Ya Kek, aku mau.” Jawabku dengan tegas. Terbayang olehku debur ombak yang indah dan angin pantai yang segar mengibaskan rambutku. Ah aku pasti akan sering melihat laut, gumamku dalam hati. Sebenarnya aku merasa sedih juga, karena pembicaraan bapak seolah-olah aku yang harus disingkirkan dari rumah, karena aku si biang kerok, si tukang bikin keributan dengan kakak dan adikku sendiri. Biarlah aku ikuti kemauan kakek dan bapak, itung-itung latihan uji mental.

“Nah, kalau begitu, ayo siap-siap. Bawa pakaian dan peralatan sekolahmu ya.” Ajak kakek.

“Tika beneran mau ikut Kakek? Tika ga apa-apa kan jauh sama Ibu?”

“Ga Bu, Tika ingin ikut sama Kakek.”

Setelah pertemuan itu, maka resmilah aku tinggal bersama kakek.

Suasana rumah kakek dengan kampungku sangat kontras. Rumah kakek di belakang pasar yang padat penduduk, dan di tepi sungai. Sungai yang airnya bening ketika shubuh dan kalau siang sampai malam, menjadi lautan sampah. Dari sungai itu aku rasakan nikmatnya mandi ketika menjelang shalat shubuh, dengan memberi kesegaran air tawar, yang tidak asin, Sungai itu juga yang memberi penghidupan kepada masyarakat yang tinggal di tepi sungai dengan memanfaatkannya untuk mencuci baju sambil menjalin komunikasi antar warga secara harmonis. Tetapi sungai itu pula yang pertama kali memberi pelajaran kepadaku, bagaimana rasanya kebanjiran. Sementara kampungku, kampung sepi dengan rumah yang masih jarang, dengan pemandangan hamparan sawah.

Bersambung.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post