1979 (bagian 3)
Suatu hari sepulang sekolah, aku merasa jenuh dengan mengisi waktu baca-baca buku. Untuk tidur siang pun aku ga bisa, karena tidak biasa tidur siang, Maka siang itu aku putuskan nyusul Nenek Iyah ke pasar, ke kiosnya Wa Munah.
Assalaamu’alaikum! Wa mana Nenek sama Nyai Api?” tanyaku sambil mencium tangan Wa Munah.
“O, kamu ga tahu apa, setiap pukul 14.00 ada pemutaran film di bioskop, Nenekmu sama Api, hampir setiap hari nonton bioskop. Apalagi hari ini, hari Selasa, Nenekmu tidak mungkin melewatkan Amitabchan dan Hemamalini main film.”
Dug! Hatiku seperti copot, ibarat .mendengar petir di siang bolong. Aku sudah salah duga. Aku mengira nenek membantu Wa Munah berjualan di pasar, ternyata…
Aku sangat terpukul teganya nenek tidak mengajakku pergi, bukan karena kecewa ga diajak menonton film, tapi perasaan tidak dilibatkan, perasaan tidak diakui kehadirannya di rumah kakek, Apa bedanya aku dengan Nyai Api yang statusnya hanya anak angkat? Apa karena aku ini hanya cucu tiri? Pantas saja selama ini nenek selalu membedakan uang jajan aku dengan Nyai Api, yang sebenarnya semula aku tidak mempermasalahkan. Sekarang baru aku dapat benang merahnya. Bahwa nenek tidak sayang sama aku. Buat apa aku tinggal di sini, kalau keberadaanku tidak dianggap?
Di tengah kegalauan ini aku langsung pulang. Hatiku menjerit. Begini nasib seorang cucu tiri, batinku. Kini aku semakin kangen dengan ibu dan bapak yang selalu menyayangiku, kangen dengan suasana rumah di kampung, kangen dengan teman-teman mainku.
Keesokan harinya, pukul setengah dua, diam-diam aku ikutin nenek dari belakang. Sengaja hal ini kulakukan untuk mengecek, seperti apa keadaan di bioskop yang membuat nenek betah datang setiap hari. Tak lupa aku siapkan uang untuk membeli tiket bioskop. Kebetulan seminggu yang lalu bapak baru datang menjengukku dan memberiku uang jajan.
Di bioskop barisan pengantri tiket mengular sampai keluar. Tiket dipatok Rp 100,00 untuk anak-anak dan Rp 150,00 untuk dewasa. Setelah kudapatkan tiket masuk, aku pilih tempat duduk di sayap kanan dengan posisi tiga baris dari belakang. Aku tidak ambil pusing dan berusaha mencari di mana tempat duduk nenek dan Nyai Api. Aku hanya ingin mengamati dan menikmati suasana bioskop. Aku sangat kagum melihat layar film yang sangat lebar, yang tidak pernah kulihat sebelumnya selama hidupku, deretan bangku panjang yang terbuat dari kayu yang disesaki penonton, lampu sorot yang besar dan terang sekali, dan yang sangat mempesona adalah kerja projector ynag memutar rol film yang mampu menampilkan film dengan canggih. Tiba-tiba lampu mati, dan keluar gambar di layar alangkah indahnya. Gambar film yang warna warni, pemainnya yang cantik dan ganteng, sungguh menyihirku dari rasa ketakutan akan kegelapan serta keterasingan dari kumpulan orang asing, yang sama sekali tak ada yang kukenal. Sungguh berbeda dengan film yang kutonton selama ini di televisi hitam putih milik tetangga yang kadang keasikan menonton, terganggu lantaran accu televisi habis.
Aku pun hanyut dengan alur cerita film India itu. Amitabachan muda dan Hemamalini, amboi ganteng dan cantik. Sungguh sejoli yang sepadan. Aku sampai terbawa hanyut, merasakan seolah-olah itu cerita nyata, bukan film.
Tiba-tiba keseruanku terhenti, lampu sorot kini menyala semua, dan pemutaran film pun berhenti. Kulihat ke belakang petugas sibuk memutar rol film. Aku baru tahu, ternyata film yang muncul di layar besar dan lebar itu berkat kerja petugas memutar rol film yang menggunakan projekctor.
Tiba-tiba, ada suara memanggilku dari arah sayap kiri, lebih kurang 3 bangku di depan aku duduk.
“Tika! Tika!”
Pandanganku beradu dengan Si mpunya suara. Ternyata Nenek Iyah sama Nyai Api.
“Kamu nonton?” Kenapa ga bilang kalau kamu mau nonton?” Teriak Nenek Iyah.
“Ya Nek, ngedadak aja Nek pengen nonton.” Jawabku asal ucap.
Sebenarnya aku berharap nenek memanggilku untuk duduk bergabung di tempat duduk nenek. Tapi pikiran itu aku kubur jauh-jauh. Biarlah pikirku. Toh aku bisa pergi dan nonton sendiri.
Jauh di lubuk hatiku, aku merasa tidak ada ikatan hati dengan nenek juga Nyai Api, kami ibarat sama-sama orang asing yang dipertemukan satu atap ketika malam hari, dan pagi-pagi ketika aku mau pergi menuju sekolah untuk sekedar cium tangan dan dapat jatah uang jajan.
Untunglah lampu dipadamkan lagi, Maka Amitabachan pun bergaya kembali.
Peristiwa ini semakin menguatkanku, kalau aku harus segera pulang kampung, kembali ke pangkuan ibu dan bapak. Selamat tinggal kakek. Terima kasih atas pembelajaran yang kakek berikan. Berkat kakek aku sekarang semakin mandiri dan percaya diri.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar