ros tini

Saya terlahir dengan nama Rostini, yang memiliki makna seorang perempuan bagaikan bunga mawar yang cantik dan harum. Semoga harapan dari orang tua yang baik-bai...

Selengkapnya
Navigasi Web
Banjir

Banjir

Pukul 17.30 tiba-tiba gawaiku berdering.

“Teh, tolong minta doanya, hari ini sawah kebanjiran sudah sampai satu meter, bahkan sudah mencapai halaman rumah, mungkin sebentar lagi air akan masuk rumah.” Adikku menelpon dengan sangat cepat, terasa kepanikan dan kegundahan yang menderanya.

Aku belum sempat menjawab adikku sudah menutup percakapannya.

Tidak lama wa grup keluarga kami dipenuhi gambar dan video suasana banjir di sawah yang menjadi tempat tinggal adik dan kakakku. Kami semua kakak beradik dan semua keponakan yang tinggal berjauhan dan berbeda kota, hanya mampu berdoa dan memasang emoji “menangis” melihat gambar-gambar tersebut. Sungguh pukulan bagiku, banjir yang selama ini hanyalah kulihat di televisi, koran, dan sosial media, sekarang kami sendiri yang terlibat di dalamnya

“Segera amankan dokumen-dokumen penting, ijazah, surat rumah dan tanah, akte kelahiran, dan lain-lain.” Usulku sambil terus berdoa tanpa henti.

“Kalau memungkinkan segera mengungsi ke tempat yang lebih aman.” Kakakku yang nomor 1 menambahkan.

“Kondisikan ada yang jaga rumah, jangan semua ngungsi.” Usul kakak yang nomor 2.

“Ya Allah selamatkanlah keluarga kami.” Demikian doa yang terucap melalui chat wa dari kakak, adik, dan keponakan dalam grup keluarga kami.

Kami semua kakak beradik 7 bersaudara plus istri atau suami dan keponakan-keponakan yang sudah berjumlah lebih dari 20 orang, semua tidak ada yang bisa tidur, semua mengamati perkembangan.

Mataku tak berkedip, terus memandangi chat-chat di wa grup keluarga. Tiba-tiba adikku mengirim gambar kalau air sudah naik ke teras rumah dan dia beserta dua anaknya mengungsi ke kampung yang lebih tinggi. Sementara suami dan anaknya yang sulung, menjaga rumah untuk berjaga-jaga.

Duh bagaimana nasib kakakku yang no. 3 yang tengah dirundung sakit repot yang tinggal bertiga dengan dua orang anaknya? Sementara untuk berjalan saja tidak mampu? Penderitaan semakin bertambah lantaran anak yang besar sedang terbaring lemah juga karena sakit yang sudah menahun. Bisakah mereka mengungsi kalau air semakin tinggi?

Pikiranku menerawang ketika sebelum tahun 1989, sawah itu adalah tempat main kami. Setiap libur sekolah, sejak aku mengerti, sekitar tahun 1975, bapak dan ibu sering mengajakku ke sawah. Kalau ibu dan bapak ke sawah untuk bekerja, sementara aku jadikan sawah sebagai arena bermain, dan mengambil hasil bumi. Kalau aku lapar, aku tinggal metik timun atau kacang panjang, dan manjat pohon buah-buahan yang ada, seperti pohon mangga dan jambu, yang tidak pernah aku lakukan adalah manjat pohon kelapa dan durian. Mulai usia SMP sampai SPG, ke sawah aku lakukan untuk menjaga bulir-bulir padi dari serangan patukan burung.

Sungguh tak terpikir olehku, sawah yang menyimpan kenangan indah, sekarang porak poranda lantaran banjir. Banjir oleh sungai yang dulu aku jadikan tempat bermain pula. Sering kalau aku gerah di sawah, aku bersama teman-teman dan saudara-saudaraku, mandi dan bermain di sungai itu.

Aku jadi teringat pembicaraan almarhum bapak, kalau aku pensiun nanti, aku ditawari bapak membuat rumah di sawah itu, seperti yang sudah dilakukan oleh kakakku yang nomor 3 dan adikku, anak bapak no 5.

“Nanti kalau kamu pensiun, misal ingin membuat rumah di sawah, silakan. Kakak dan adikmu sudah nyaman tinggal di situ. Punya rumah di tengah sawah, adalah kenikmatan yang luar biasa, bisa bertani dan bercocok tanam, bebas polusi, dan suasana sepi dan damai, juga menghemat uang belanja.”

“Tapi Pak, masa tinggal hanya ada 3 keluarga nanti? Ga ah, ga nyaman, ga banyak tetangga. Terus kondisi sawah diapit oleh dua sungai. Apalagi sungai yang satu terletak di atas sawah, sedangkan rumah ada di bawah, aku takut banjir Pak.”

“Dulu waktu Bapak masih kecil, sawah bawah memang pernah kebanjiran, tapi itupun hanya setengah meter, apalagi kakak dan adikmu kan bikin rumah di sawah atas, amanlah ga akan kebanjiran.” Posisi sawah bertangga, ada yang di bawah juga di atas. Sementara sungai yang mengaliri sawah ada dua, ada yang posisinya lebih tinggi dari sawah, dan ada juga yang lebih rendah dari sawah.

Pukul 11.30 chat muncul, bertuliskan “Alhamdulillah air sudah surut”. Grup keluarga dipenuhi chat lagi yang berbunyi “Alhamdulillah” dengan emoji senyum.

Aku penasaran dengan bencana banjir, apakah banjir selalu menuntut siklus berulang? Karena setahuku, sejak aku kecil, sawah tidak pernah kebanjiran. Menurut cerita bapak, banjir terjadi ketika bapak masih kecil. Kalau dikira-kira, mungkin sudah lebih 70-an tahun tidak pernah banjir. Ada yang tahu, apa penyebabnya?

Kini impianku untuk memiliki rumah di tengah sawah yang aman dan damai, terpupus sudah. Aku khawatir siklus akan terulang lagi. Tetapi aku berharap semoga banjir kemarin, adalah banjir terakhir, yang dapat memberi ketenangan dan kenyamanan bagi penghuninya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Semoga tidak banjir lagi ya Bu. Eh, ibu bisa naik pohon? Luar biasa! Hehe

20 Feb
Balas

Aamiin yra. Pohon yang rendah sih bun, he he

21 Feb



search

New Post