Kabur (bagian 2)
Bermukim di pesantren adalah angan-anganku sejak SMP kelas 1. Rasanya aku sudah tak mampu lagi menahan minatku untuk memperdalam ilmu agama. Kemauan itu semakin lama semakin tumbuh kuat seiring dengan kekagumanku terhadap guru ngajiku yang nampak sempurna, tampan, ramah dan pintar. Aku merasakan loncatan ilmu pengetahuan yang sangat dahsyat, dari pengajian yang hanya belajar membaca Al Qur’an, kini kedatangan guru ngajiku yang baru, telah memberi wawasan ilmu agama secara komplit, dari ilmu tafsir Al Qur an, ilmu tauhid, aqidah akhlak, sejarah Islam, Kisah-kisah Nabi, ilmu tajwid, Bab Fiqih, Bab Muamalat, Bab Munakahat, belajar ilmu Falaq, sampai belajar da’wah.
Semangatku semakin membara, untuk menimba ilmu agama. Aku banyak menghabiskan waktu untuk melalap habis buku-buku kuliah guru ngajiku ketika beliau kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah. Aku ibarat orang yang kelaparan, mengaji setiap habis maghrib, ditambah membaca-baca buku-buku kuliah guru ngajiku, tapi berasa belum cukup. Itulah alasanku mengapa aku ingin pergi pesantren. Bahkan cita-citaku yang ingin menjadi KOWAD sejak SD, sekarang berubah ingin menjadi mubalighoh.
Namun harapan yang menggebu untuk dapat belajar di pesantren tidak dapat sambutan manis dari bapak. Alasan apapun sama Bapak, tetap tak dapat mengubah keputusannya untuk menolak mimpiku menjadi mubalighoh. Aku merasa bapak tidak menyayangiku lagi. Bukankah keinginan untuk belajar di pesantren itu akan menjadikanku lebih baik, sehigga ibu dan bapak tidak perlu repot-repot mendidikku untuk menjadi pribadi sholihah? Di tempat lain banyak orang tua yang mengeluh, anaknya malas ngajilah, melawan ke orang tualah, malas ibadahlah, dll. Sedangkan aku? Aku yakin semua orang tua akan bangga sama aku, karena aku rajin ibadah dan rajin mengaji, tapi mengapa bapak tidak rela kalau aku pesantren?
Tiba-tiba ibu membuyarkan lamunanku,
“Tika, ayo ikut Ibu sama Bapak ke sawah. Kemarin Bapak sudah selesai mencangkul sawah yang di darat, mau ditanami kacang hijau. Mumpung hari Minggu, kapan lagi kamu bantu kami di sawah. Tuh kakak-kakak dan adik-adikmu sudah siap. Lho kamu kok belum siap-siap sih?” Tanya Ibu sambil sibuk menyiapkan makanan buat di sawah nanti.
“Maaf Bu, Tika lagi banyak PR, besok harus dikumpulkan. Nanti kalau sudah selesai, Tika nyusul deh ke sawah.”
“O ya sudah kalau begitu. Kami berangkat ya. Nanti kalau kamu mau ke sawah, tolong ambilkan kue Pais Poci di warung Ceu Aneng 20 biji, dan bawa lagi air minum yang di teko sedang, ya takut kurang bekal minum di sawah, sekarang kan lagi masa panas-panasnya, takut kehausan.” Sambil Ibu keluar rumah dan menutup pintu tanpa menunggu jawaban dariku.
Setelah semua berangkat. Itikadku untuk pesantren semakin memuncak. Kepergian orang seiisi rumah seperti angin segar untuk meraih mimpiku. Kabuuuur. Ya hanya ini yang dapat mengantarkan keinginanku untuk pesantren. Maka segera kuraih koper di atas lemari bapak, kumasukkan baju-baju sekolahku, buku-buku, baju-baju yang kuanggap bagus. Tapi aku bingung, aku tak punya uang, bagaimana dengan makanku di pesantren dan bekalku di sekolah?
Aha! Aku ingat, aku pernah melihat ibu menyimpan uang di bawah baju di lemari ibu, maka aku coba telusuri tumpukan pakaian ibu, namun nihil tak ketemui selembar uang pun. Lalu pandanganku berhenti di baju dan celana bapak yang menggantung di kastop. Alhamdulillah usahaku merogoh celana bapak membuahkan hasil. Maka jadilah uang temuan itu sebagai bekal makanku selama di pesantren nanti.
Tapi bagaimana dengan pesan ibu tadi, supaya aku mengantarkan kue dan air minum, bukankah ibu sangat percaya kalau aku akan mengantarkan pesanannya, makanya tadi ibu tidak menunggu jawabanku? Dan memang sampai tadi sebelum ibu berangkat, tidak terbersit sedikitpun untuk melakukan perbuatan senekad itu. Duh bagaimana ini? Aku tak tega rasanya membohongi ibu, pasti ibu dan bapak serta semua saudaraku sudah menantikan kedatangan Pais Poci. Dan aku tidak mau disebut anak durhaka karena tidak amanah. Citraku sebagai anak kebanggan ibu dan bapak yang penurut bisa hancur. Tapi kalau tidak kabur sekarang, kapan lagi, mumpung semua tidak ada yang tahu kalau aku pergi. Dan untuk kesalahanku, ah aku mau minta maaf, akan kutulis surat saja.
Tepat setelah shalat Dhuhur, semua persiapan aku nyatakan selesai. Alhamdulillah sejak dari rumah terus keluar gang menuju jalan yang dilalui angkot, tak bertemu teman atau tetangga. Jadi tak ada seorangpun saksi yang melihat adegan aku pergi dengan membawa koper.
Bersambung…
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mohon maaf, alur ceritanya lagi mundur dulu ya, he he. Mohon masukannya, ini agak mentok ide nih
Lanjutkan!
Terima ksih bunda Nurli Yanti