Kepala Sekolahku (Bagian 2)
“Saya mau kalian berkata jujur, apa yang membuat kalian menginginkan menggunakan kerudung di hari Jumat?” Benarkah kalian tidak ada hubungan dengan Peristiwa Tangjungpriuk?”
“Saya dan kawan-kawan berani bersumpah, bahwa perjuangan untuk berkerudung murni kemauan kami Pak. Karena kami selaku umat Islam ingin sungguh-sungguh menerapkan aturan yang sudah ditulis di dalam Al Qur’an. Jadi tidak ada kaitannya sama sekali dengan Peristiwa Tangjungpriuk” Jawabku tegas.
“Ok. Kalian bagus mau menerapkan aturan agama dengan baik. Tapi kita kan Negara yang demokratis, bukan Negara Islam. Jadi menurut saya, kalian ikuti aturan sekolah secara total. Saya sering lihat anak-anak yang sekolah di tsanawiyah, aliyah, bahkan istri ustadz sekali pun tidak berkerudung. Jadi berpakaianlah lazimnya orang-orang Indonesia, bukan seperti orang-orang Timur Tengah.”
“Maaf Pak, pakaian yang kami usulkan adalah pakaian orang Islam, bukan pakaian orang Timur Tengah.” Ucap lis, aku salut akan keberaniannya berargumen.
“Ya Pak, mohon maaf bukankah UUD 1945 pasal 29 ayat 2 menjamin kebebasan semua warga Negara untuk beribadah? Dan bagi kami berkerudung adalah bagian dari ibadah, apalagi ini hanya dipakai seminggu sekali, di Hari Jumat.” Ucapku semakin berani. Setelah lis bicara tadi aku merasa seperti diberi amunisi, yang siap memuntahkan peluru.
“Ia Pa, apa bedanya dengan teman-teman yang menggunakan blouse bebas serta sepatu pantofel, sedangkan kami hanya berkerudung saja.” jawab Titi, Mita, dan Wulan serempak.
“Prok- prok – prok! Hebat kalian.” Sambil tepuk tangan.
“Saya bangga memiliki murid-murid sehebat kalian. Semoga kalian jadi birokrat atau anggota DPR, supaya kalian bisa terlibat dalam penyusunan undang-undang atau terlibat dalam menentukan kebijakan. Tapi mohon maaf untuk masalah ini saya tidak bisa mengiyakan, mengikuti maunya kalian.”
“Aamiin. Tidak apa-apa Pak. Yang penting kami sudah berusaha,” Kami serentak mengaminkan.
“Tapi tunggu saya ingin minta data-data kalian. Tulis di sini nama kalian dan kelasnya.” Sambil menyodorkan kertas dan ballpen.
“Baik Pak.”
“Kalau sudah selesai, kalian boleh ke kelas masing-masing.” Sambil melihat data yang sudah kami tulis.
Perintah bapak kepala sekolah langsung kami turuti.Kami keluar ruangan bapak kepala sekolah sambil berdiskusi. Meskipun kami sudah tidak sekelas, namun persahabatan kami waktu kelas satu, sangat erat. Prinsip dan visi yang samalah yang mengikat kami untuk selalu bersama dalam suka dan duka.
Bel pulang sudah berbunyi. Tiba-tiba pesuruh mengantarkan surat untuk Bapak dari bapak kepala sekolah.
Ingin kuintip apa gerangan isi suratnya, tapi surat dilem. Ya sudah kuurungkan niatku untuk melihat surat tersebut. Biarlah nanti aku tanya ke Bapak saja. Aku penasaran, di kelasku hanya aku yang dapat surat itu.
Lalu kutanya Mang Apan: “Mang kok Cuma saya yang dapat surat, teman lain ga dikasih?”
“Mamang ga tahu Neng, tadi Bapak Kepala Sekolah hanya ngasih lima surat ke Mamang, dan sudah Mamang anterin keempat suratnya, dan satu ke Eneng.”
Bersambung.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mantaap bu
Terima kasih komentarnya Bunda.
Sama2 bunda