Makam Santiong
Hari ini adalah hari Pelantikan Bantara di sekolah kami. Setelah minggu kemarin kemping semalam di pekemahan dan mendaki Gunung Kujang, yang menandai fase penilaian untuk pelantikan dianggap cukup memenuhi kriteria. Maka sejak Sabtu sore setelah acara upacara pembukaan, kami langsung melakukan kegiatan fisik yang menantang, seperti meluncur dari pohon yang tinggi dengan menggunakan seutas tali dan merangkak di bawah kawat.
Ba’da Isya acara dilanjutkan dengan acara Bintal. Tepat pukul 12 malam, kami dibintal, yang dilanjutkan dengan acara inti, yaitu Pelantikan.
Kami dikumpulkan di lapangan dengan posisi berdiri melingkar. Lalu kami satu persatu disiram air bunga 7 macam dan disematkan tanda Bantara di bahu kami sebagai tanda kami resmi menjadi Bantara. Setelah itu kakak pembina meminta kami minum satu gelas air putih yang harus diminum secara estafet kepada 20 orang peserta pelantikan laki-laki maupun perempuan. Setelah itu, dilanjutkan dengan mengemut satu buah permen, yang sama diestafetkan ke 20 orang pula, katanya itu merupakan upaya merekatkan solidaritas antar kami.
Tepat pukul 12.45 pakaian kami yang basah terasa semakin basah karena kami harus berjalan kaki dengan menyusuri kali yang tingginya sepinggang orang dewasa.
Dalam kondisi basah kuyup, kami meneruskan perjalanan menuju pemakaman umum Santiong yang terkenal angker. Pohon-pohon yang tinggi dan berdaun lebat dan tanpa penerangan, membuat keangkeran semakin terasa ketika kami sampai di area pemakaman.
“Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Salam Pramuka!”
“Salam!” jawab kami serentak.
“Kalian akan berjalan satu persatu memasuki area pemakaman, dengan selisih waktu 5 menit/orang. Kami membebaskan kalian untuk mengapresiasi puisi atau cerpen yang sudah kami sediakan di makam. Kalian boleh memilih makam mana yang akan kalian pilih. Setelah selesai silakan lanjutkan perjalanan menuju Gedung Cadika. Paham?”
“Siap Kak!” serentak kami menjawab, meskipun kami semakin menggigil kedinginan.
Entah apa yang dirasa teman-teman, takutkah mereka? Ah rasanya aku ingin berjalan berpegangan tangan dengan teman-teman cewekku. Terus terang aku sangat takut, karena tanpa sengaja aku pernah mendengar cerita Kang Encas, kakak sepupuku dengan bapak, bahwa dia pernah melewati makam kira-kira pukul 22.30, mencium aroma bunga melati, seperti dekat sekali seakan baunya menusuk hidungnya, dan tiba-tba sepeda yang dinaikinya mendadak tidak bisa jalan lantaran merasa beban berat yang amat sangat. Namun setelah dibacakan do’a-doa pengusir syetan, barulah beban beratnya jadi ringan, sehingga dia bisa melanjutkan perjalanannya.
Belum lagi cerita tukang becak yang mengantar gadis cantik yang turun tepat di area makam, tiba-tiba gadis itu menghilang. Dan seketika uang yang masih berada di tangannya, mendadak berubah menjadi daun.
Tapi kulihat teman-temanku berjalan mulus, teman cewekku pun tak ada yang protes. Ya sudahlah aku beranikan diri. Maka ketika namaku dipanggil, akupun berusaha menguatkan, ya ditegar-tegarkanlah.
Di makam, nampak satu buah buku tipis dan sebuah lilin. Buku itu ternyata kumpulan puisi karya penyair Chairil Anwar. Alhamdulillah, pikirku, Chairil Anwar adalah penyair idolaku. Maka dengan semangat aku berusaha mencerna larik demi larik puisi itu, dan aku pun hanyut dengan magnet kata-kata dari Chairil Anwar. Sehingga hilang sudah rasa takutku. Ditambah lagi dari jauh terdengar suara wayang golek dengan cerita Semar dan Cepot, Dawala, dan Gareng yang lucu.
Tiba-tiba dua orang kakak Pembina datang menghampiriku,
“Oooo kamu di sini Tika, kami sudah mencari kamu ke mana-mana. Kami tunggu dari tadi di Cadika, kok kamu ga datang-datang. Ayo kita ke Cadika. Semua teman kamu sudah berkumpul di Cadika. Kamu kok betah banget sih!” Kata Kak Wawan.
“Iya nih emang kenapa sampai lama gini. Sudah pukul 03.40 lho.” Timpal Kak Indra.
“Apa, jadi aku cuma sendirian di makam ini Kak, memang teman-teman jam berapa sampai di Cadika?” tiba-tiba bulu kudukku merinding, aku kaget dan sedikit syok. Tulang-tulangku terasa lemas.
“Sudahlah jangan dibahas lagi. Yang penting kita semua selamat.” Jawab Kak Indra.
Sepanjang jalan aku merenungi semua kejadian yang baru saja aku alami.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Waduh sampai kaya gitu bu...Seakan terbawa saat suruh emut permen...aduh....Jempol bu ...
Iya bun. Itu thun 1986. Mungkin skr ga akan dialami anak anak zaman now
Wuih sereeem. Ibu hebat bisa lewati semua!
Takut sangat bun, cuma dipaksain aja