Mengusir Kawanan Burung
“Bu aku berangkat ke sawah dulu ya.” Sambil menenteng dua buah buku tulis dan paket Matematika untuk kelas 2 SMP. Krupuk bulat putih, air minum botol, mukena, sudah kukumpulkan ke dalam satu wadah. Waktu itu menunjukkan pukul 13.30 WIB, saat matahari masih tegak lurus di atas kepalaku. Untuk ke sekian kalinya aku berpamitan hendak menjaga bulir-bulir padi itu dari serangan burung-burung pipit. Begitulah rutinitasku sepulang sekolah setelah padi mulai menguning.
Setelah menyusuri ujung kampung langkahku mulai mengendur karena jalanan bertangga dan menurun sepanjang 200m, yang sepanjang pinggiran jalannnya menuju kali dipenuhi rumpun bambu, sehingga pukul 13.30 akan tampak seperti pukul 17.00. Jalanan tersebut akan semakin terasa menegangkan jika aku susuri sehabis hujan, karena jalanan basah dan lebih licin. Ketegangan belum berakhir, jika belum melalui jembatan bambu yang terbuat dari dua bilah bambu, yang airnya tampak tinggi dan besar ketika baru turun hujan di hulu, sungguh menegangkan. Setelah melewati kali, barulah aku mulai meniti pematang sawah.
Berjalan meniti sawah menuju saung tak lupa memetik mentimun muda yang tumbuh sepanjang jalan menuju saung Bapak. Lalu kusantap mentimun itu dengan kerupuk yang sudah disiapkan. Emh nikmatnya.
Mumpung sepi tidak ada kawanan burung, pikirku.
Kusempatkan mengerjakan PR Matematika. Sementara aku asyik mengerjakan PR Matematika, tiba-tiba sekawanan burung pipit terbang rendah mematuk-matuk bulir padi kami. Dengan segera kutarik koloprak yang sudah dihubungkan melalui seutas tali dengan “Bebegig”, sehingga begitu kutarik talinya, akan mengeluarkan bunyi “Prak, koloprak. Koloprak…
Namun namanya juga hewan, diusir menggunakan” koloprak” tetap saja tidak bergeming, akhirnya terpaksa kukejar kawanan burung itu sambil mengacung-ngacungkan pemukul sambil berkata:”Hus hus hus!” Begitu seterusnya hingga matahari hampir tergelincir.
Kegiatan mengusir burung di sawah itu ternyata ramai. Karena sering kali ketika aku berlari menyusuri pematang-pematang sawah itu, aku bisa bertemu dengan teman atau tetanggaku yang sama lagi ngusir burung juga. Kadang aku berpikir, kalau semua orang mengusir burung-burung pipit itu, ke mana lagi burung-burung itu mencari makan.
Begitulah kegiatanku sebagai sumbangsih untuk kedua orangtuaku dalam rangka menjaga agar hasil panennya melimpah.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Smg lancar panennya. Burung pipitnya ndak usah dikhawatirkan. Sang Pencipta yang kasih makan. hehehe..
Aamiin yra. Ya ya, he he
Sama dengan sayaa bu
o begitu Bun. Kalau yang lahir seumuran pasti ngalamin ya...
Sama seperti aku wkt masih sekolaj bun...keren
wk wk wk, maklum gadis desa Bun
berlarilari di pematang sawah,seru bund
Iya bener Bun, dulu mah berlarilari seperti ga cape, coba sekarang...
Jadi kebayang suasana desa,& padi menguning, cakep
Ya Bu, suasana yang bikin selalu ingin pulang kampung