Rahimku (bagian 2)
“Yah ternyata kata Ma Beurang, aku hamil. Fillingku juga benar kemungkinan besar hamil, karena aku selalu mual-mual. Jadi aku harus cek dokter. Biar diperiksa sekalian, bagaimana kondisi bayi, dan kesehatannku, Kalau ke dokter, kan pasti aku disuplai vitamin supaya aku dan janinku sehat.” Kataku sepulang dari Ma Beurang.
“O memang benar Bu, kalau Ibu hamil lagi? Apa perlu tespeck dulu?”
“Ga usah Yah, soalnya aku sekalian pengen periksa ke dokter kandungan, karena perutku sering sakit, takut gimana-gimana dengan bayinya Yah. Apalagi aku hamil di usia lebih dari 40 tahun. Jadi aku harus segera cek ke dokter.”
“Ya sudah kalau begitu, segerakan saja pergi ke dokter kandungan. Kapan Ibu ada jam kosong? izin saja supaya bisa cek ke dokter kandungan. Lebih cepat, lebih baik.” Sahut suamiku.
“Besok, kebetulan ada agama, tapi takut penuh pasiennya, aku mau ngasih tugas saja supaya anak-anak kondusif, sambil aku juga mau minta tolong temenku untuk menjaga anak-anak.”
Di rumah sakit, setelah lumayan menunggu lama, giliran aku dipanggil untuk masuk ruangan periksa. Dokter menanyakan keluhan apa yang aku alami. Kuungkapkan perihal menstrurasi yang tidak normal siklusnya, sakit ketika datang bulan, dan rasa mual-mual serta pusing dan lemas, dan terakhir perut sering sakit.
Lalu dokter meminta aku untuk diukur berat badan dan tensi darah, dan setelah dokter memeriksa kandungan, dokter berkata,
“Ibu ini bukan hamil, jelas-jelas ini miom, sangat besar malah miomnya. Bahaya kalau ibu diamkan.” Pernyataan dokter sangat mengagetkanku. Untuk kedua kalinya aku alami syok.
“Jadi bener Dok saya tidak hamil?”
“Kok bisa sih Ibu ambil kesimpulan kalau Ibu hamil. Sudah dioperasi saja ya.” Kata dokter.
“Maaf Dok, bisa ga kalau tidak dioperasi?” tanyaku ketir.
“Memang kenapa kalau dioperasi, justru kalau dioperasi, Ibu jadi sehat.” Timpal dokter sambil nulis laporan medis.
Aku masih diam seribu bahasa.
“Ok ya Bu. Ini surat untuk torax, dan ini untuk periksa ke dokter dalam, untuk ngecek kesehatan Ibu secara general. Sebab ini diperlukan untuk menentukan kesiapan Ibu menghadapi operasi. Dan yang ini tolong kasih ke suster.” Sambil menyerahkan map hasil laporan medisku.
“Maaf Dok, saya tidak mau operasi.” Jawabku sedih.
“Kenapa takut? Apa yang ditakuti? Ibu, guru kan, masa guru tidak mengerti kesehatan, apa jadinya murid-murid Ibu, kalau Ibu saja tidak mengerti kesehatan. Ibu tidak akan apa-apa kalau dioperasi. Operasi tidak akan berakibat buruk terhadap apapun, malah jadi sehat. Saya tidak akan maksa sih, jika Ibu tidak mau operasi. Tapi jangan salahkan saya lho, kalau terjadi apa-apa dengan kandungan Ibu. Silakan Ibu yang menentukan sendiri, mau sehat atau… ya terserahlah.”
Mendengar pernyataan dokter tersebut, aku jadi bimbang, menerima saran dokter atau rela menerima penyakit tumbuh kembang dalam rahimku. Aku agak kaget juga mendengar sindiran dokter seolah aku tidak mengerti kesehatan. Dokter tidak tahu kalau sudah dua tahun yang lalu aku divonis miom dan suruh operasi oleh dokter di rumah sakit yang berbeda.
“Ya Dok, saya siap operasi.” Jawabku lirih.
“Nah gitu dong. Nanti setelah selesai torax, ke dokter dalam, Ibu langsung daftar ke ruang perawatan. Ini jangan lupa kasih ke suster laporan medisnya.” Sambil menyerahkan map yang tadi belum kuambil.
“Ok Dok, terima kasih.” Ucapku seraya berdoa meminta kepada Sang Pencipta supaya dilancarkan dalam operasi.
Sore hari aku sudah masuk ruang IGD. Ketegangan mulai menyelinap, setelah dua dokter jaga, dan tiga perawat bergantian mencoba menyuntik untuk transfusi darah, karena haemoglobinku katanya rendah, namun selalu gagal.
“Ibu yang tenang ya, jangan tegang, supaya kami bisa segera melakukan transfusi darah.” Ucap dokter muda dengan ramah. Untuk kali kedua ia mencoba mencari jalan titik mana yang bisa dipakai untuk menusukan jarum transfusi darah yang besar itu, lebih besar dari jarum infus. Mendapat perlakuan sampai 6 kali upaya untuk transfusi darah, aku semakin panik, dag dig dug.
“Wah saya tidak bisa menemukan uratnya. Karena Ibu tegang, terus terang uratnya kecil sekali, jadi tidak terlihat. Gini saja. Saya kasih waktu ya 15-30 menit untuk Ibu rileks. Kalau Ibu sudah tenang dan sudah siap, silakan bilang sama saya atau perawat.” Ujar dokter jaga sambil tersenyum.
Dalam masa yang diberikan dokter itu, aku berusaha memantapkan hatiku, kalau operasi ini adalah langkah terbaik untuk hidupku. Ah aku tidak boleh sedih, rahim diangkat, ga apa apa, toh aku kan sudah punya anak tiga.
Tapi pendirianku masih goyah, aku khawatir kalau aku operasi, itu artinya aku sudah melanggar takdir Allah karena rahim yang sudah Allah berikan untukku, aku akan membuangnya. Dan akibat operasi itu, aku akan mengalami menaupose lebih cepat dari perempuan lain. Karena dengan diangkat rahim, aku sudah tidak akan mengalami menstrurasi lagi. Dan aku juga harus meneguhkan pikiranku bahwa operasi ini adalah upaya penyelamatan bagi diriku sendiri.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Akhirnya operasi ya bun...Gimana skg sdh sehat?
Ya bun akhirnya operasi. Alhamdulillah sekarang sudah sehat
Tetap semangat, Bunda.
Alhamdulillah. Terima kasih Bunda Nurli Yanti