Ruwat Desa (3)
Ayam sudah sejak tadi berkokok. Matahari sudah keluar dari peraduannya, setia menyinari bumi dengan cahaya yang menyegarkan, menepis bulir-bulir embun pada daun sembari memberi energi pada daun untuk melakukan fotosintesis. Hiruk pikuk warga kampung sudah mulai ramai hilir mudik mau ke sawah dan ladang, sementara kaum ibu dan remaja putri sebagian memenuhi jamban-jamban di sungai untuk mengantri mencuci baju, hanya sebagian kecil ibu-ibu yang berbelanja ke pasar.
Setelah shalat shubuh, Bu Yati, berdoa lebih lama dari biasanya, saat-saat seperti ini hanyalah Allah tempat-Nya mengadu. Meskipun terkadang dalam kesendirian, rasa bersalah semakin menghantuinya, rasa sepi kini semakin menusuk, membuatnya semakin tidak berarti, buat apa ia hidup hanya sebatang kara? Ibu dan bapak tempatnya menumpahkan keluh kesahnya sekarang sudah tiada, sementara suami yang dicintainya, sekarang sudah pergi membawa cintanya juga, entah ke mana tak tahu rimbanya. Masih ingatkah dia sama anak dan istrinya? Ah Bu Yati semakin sesak dadanya kalau mengingat suaminya. Tak terasa bulir-bulir bening menetes dari matanya yang kini sayu, lantaran semalaman matanya tak terpejam sama sekali karena memikirkan keberadaan Maman. Mengapa ini terjadi Ya Allah di saat aku baru belajar untuk pasrah menghadapi nasib dan untuk membiasakan belajar menghidupi diri sendiri dan Maman seorang diri, tiba-tiba mendapat cobaan seberat ini, batinnya.
Dengan tenaga yang tersisa, ia memberanikan diri mengunjungi rumah Pak RT, hendak menanyakan bagaimana usaha pencarian yang dilakukan rombongan Pak Samsul. Beruntung Pak RT tidak pergi ke sawah, menurut pengakuan Pak RT, beliau merasa kurang enak badan setelah semalaman menyusuri jalanan kampung mencari Maman, Duh Bu Yati menjadi merasa bersalah.
“Mohon maaf Pak, atas kejadian semalam, Bapak jadi sakit begini,”
“Ga apa-apa, itu sudah menjadi kewajiban kita sebagai sesama warga. Dengan siapa kita tolong menolong kalau bukan dengan sesama tetangga?”
“Terima kasih Pak, semoga Allah membalas budi baik Bapak dan semua warga yang sudah ikhlas menolong. O ya, maaf Pak saya mau menanyakan usaha yang dilakukan rombongan Pak Samsul bagaimana dan sampai mana, sehingga saya bisa menentukan daerah mana yang harus saya telusuri lagi,” ungkap Bu Yati.
“Pak Samsul sudah laporan sama saya, menurut pengakuannya Pak Samsul sudah melakukan pencarian sampai ke perbatasan kampung Babakan Nangka, namun rombongan tidak menemukan tanda-tanda keberadaan Maman.” Jelas Pak RT.
Bu Yati sudah menduga jawabannya akan seperti itu, karena kalau Pak Samsul menemukan Maman pasti Maman sudah ada dalam pangkuannya sekarang. Untuk sesaat Bu Yati masih diam, bingung apa yang harus diperbuat?
“Bagaimana kalau kita laporan ke Pak Kades atau polisi?” tanya Pak RT.
“Duh saya malah jadi ga enak Pak, seolah masalah Maman jadi masalah semua orang. Hari ini saya ingin mencoba peruntungan lagi. Saya ingin kembali lagi menyelusuri jalanan yang dilalui Maman dari panggung wayang kulit itu. Mudah-mudahan Maman segera ketemu. Kalau saya tidak berhasil, baru kita minta tolong Pak Kades dan Bapak polisi. ”
Sementara Maman yang digendong seorang perempuan setengah baya, baru terbangun dari tidurnya. Melihat Maman terbangun, ibu itu menidurkan Maman di ranjang yang berukuran kurang lebih 3mx2m, cukup besar untuk ukuran tempat tidur anak kecil. Maman melihat sekeliling kamar, lalu mengucek-ngucek matanya, kamar yang berbeda dengan kamar di rumahnya, tiba-tiba Maman merasa dingin, maka ditariklah selimut yang sudah tersedia di ranjang. Tiba-tiba ibu tua mendekat,
“Kamu sudah bangun, Nak?” tanya ibu tua.
“Nenek siapa? Aku di mana?”
“Nenek adalah nenekmu, ibu dari ibumu. Kamu tinggal di sini saja ya, sama nenek.”
”Bukankah kata ibu nenek sudah meninggal?” Maman teringat akan cerita ibunya, kalau neneknya sudah meninggal ketika Maman berusia 2 tahun.
“Sebenarnya nenek belum meninggal, nenek justru tinggal di sini. Kamu juga pasti betah tinggal di sini. O ya nama kamu siapa ya?”
“Maman Nek,” dalam hati Maman berpikir, kok nenek ga tahu nama cucunya sendiri.
“Kamu tunggu dulu ya, nenek mau menyiapkan makan dulu ya.” Tambah nenek.
Setelah nenek berlalu, Maman melihat sekeliling rumah, perabotan yang tampak tidak banyak, Maman juga mengintip ke ruang tengah rumah nenek, tak tampak televisi atau kulkas, yang tampak hanyalah perabotan yang sangat sederhana. Lalu Maman membuka jendela kamarnya, Maman merasa ada perbedaan dengan suasana di rumahnya. Maman tidak merasakan adanya matahari, karena di sekeliling rumah nenek tampak seperti berwarna hijau, agak keabu-abuan, sementara udara lembab.
Tiba-tiba nenek datang membawa sepiring makanan, piring yang terbuat dari tanah liat. Maman jadi teringat film-film kolosal zaman kerajaan dulu, ya piring-piringnya terbuat dari tanah liat.
“Nih makan dulu, habiskan ya makannya.” Ucap nenek.
“Nek ini jam berapa ya?”
“Di tempat nenek tidak ada jam-jaman. Kenapa nanya seperti itu? Pokoknya kamu di sini bisa melakukan apapun yang kamu suka, bisa bermain seharian, bisa tidur seharian, pokoknya lakukan segala hal yang kamu suka,” ujar nenek.
“O gitu Nek, ya udah kalau gitu, nanti setelah selesai makan aku mau main ya Nek. Tapi setelah selesai bermain aku mau ketemu ibu Nek, tolong antarkan aku ke rumah ibu ya. Apa Nenek ga kangen sama Ibu? Ibu pasti senang kalau Nenek masih ada, soalnya Ibu sering nangis kalau ingat Nenek.”
Bersambung.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kerennn msh berlanjut
Ya he he. Mks bun