Sesajen
“Ma kok aneh setiap hari Jum’at pagi kok sesajen di goah berkurang, ni kopi Ma, tinggal setengahnya, terus rangginang, opak, wajit, manisan pepaya, semua berkurang.” Tanya Ibu keheranan sambil menunjukkan sesajen di nampan ke nenek.
“Ah ga mungkin sesajen ada yang ngambil, mungkin kamu lupa kalau memang kamu menyimpan makanan di sesajen itu sedikit. Bisa jadi kamu juga lupa kalau seduh kopi cuma setengah gelas.” Ujar nenek sambil merapikan daun sirih, buah pinang, gambir, kapur ke dalam “loloco” untuk dibuat bahan “Ngalemar atau nyeupah”.
“Apa iya Ma. Ya sudah mungkin memang aku lupa Ma.” Tambah ibu sambil ngeloyor ke dapur.
Kamis pagi seperti biasa Mbah Woto keliling kampung menjajakan dagangannya sambil berteriak,
“Rampeeee, rampeee!”
Ibu menyahut dari dalam rumah,
“Tunggu Mbah!” sambil ibu berlari ke luar rumah.
Melihat ibu belanja, seperti biasa aku pasti turut merecoki.
“Bu aku mau manisan pepaya, ini juga mau Bu." Sambil nunjuk gula batu.
“Iya nanti, sabar. Mbahnya lagi bungkusin bunga rampe dulu.”
Banyak nian belanjaan ibu pikirku. Ibu membeli bungai rampai, bunga 7 macam itu, gula batu, manisan pepaya, kue-kue kering, dan wajit. Ibu juga memberiku sebungkus makanan kesukaanku yaitu manisan pepaya dan wajit.
Setelah ashar, ibu menata makanan dan bunga rampe di atas nampan. Kini nampan itu telah terisi penuh, karena selain ibu menyimpan makanan yang tadi dibeli di Mbah Woto, ibu juga menambah koleksi makanannya dengan rangginang, opak ketan, pisang, kopi pahit dan kopi manis, masing-masing satu gelas serta rokok. Aku heran, buat siapa makanan-makanan itu ibu hidangkan? Terus kenapa makanan itu disimpan terbuka, sayang sekali opak ketan dan rangginang itu bisa jadi melempem atau alot? Terus mengapa hanya hari Kamis malam Jumat hal itu ibu lakukan? Dan selalu malam Jumat itu, banyak makanan disiapkan, sementara tak pernah ada yang datang berkunjung ke goah itu.
“Nyi sudah kau siapkan semuanya, awas jangan sampai ada yang lupa, apalagi sekarang malam Jumat Kliwon.” Kata nenek.
“Sudah Ma, coba tolong Ma lihat, takutnya ada yang kelewat.” Ujar ibu.
“Ya sudah kalau kamu yakin, Ema percaya.”
Aku masih belum paham atas semua yang dilakukan ibu dan nenek. Pernah aku ajukan pertanyaan tentang rasa penasaranku kepada ibu. Dan waktu itu ibu hanya menjawab, katanya sesajen dikirimkan untuk para leluhur. Leluhur itu, kakek, buyut, dan seterusnya yang sudah meninggal. Aku ingat pelajaran dari Bapak Guru Agama di sekolah, kalau 3 hal yang sampai ke kuburan adalah doa anak yang sholeh, ilmu yang bermanfaat dan shodaqoh jariyah. Lha ini makanan enak-enak, malah yang aku suka, masa kakek dan buyutku mau memakan, meminum semua sesajen itu, merokok pula? Bukankah semua sudah meninggal, mana mungkin jalan-jalan mengambil makanan?
“Bu, menurutku Ibu tak perlu lagi ngasih kakek buyut sesajen lagi, kan mereka sudah meninggal. Kata Pak Guru kita kirim doa saja.”
“Kamu ga akan ngerti Nak, apalagi kamu baru 9 tahun. Ibu khawatir kalau Ibu tidak lakukan ini akan ada akibatnya terhadap keluarga kita. Dan Ibu tidak mau melawan Nenek, itu sama saja Ibu jadi menantu durhaka. Dan tradisi “nyuguh” ini Ibu juga baru tahu di sini. Ternyata di sini semua rumah kalau malam Jumat ya begini.”
Ketika aku tanyakan hal tersebut ke Bapak, kata Bapak, ga apa-apa, karena sudah kebiasaan dari zaman bapak kecil dulu, yang penting kita kirim do’a kepada Allah. Toh do’a-do’a yang disampaikan juga bacaan-bacaan Al Qur’an. Seolah-olah ada pembenaran dari kejadian ini.
Keesokan harinya, seperti biasa aku mengendap-ngendap ke goah dan mengambil makanan-makanan yang disajikan di atas nampan. Sayang rangginang sama opak agak lembek, ah pikirku, kenapa tidak ibu simpan dalam toples saja ya biar ga melempem. Ketika tanganku baru saja mau mengambil manisan pepaya, tiba-tiba…
“Nah ketahuan ya sekarang, pelakunya, kenapa sesajen itu selalu berkurang setiap minggunya, Tikaaaa ….”
Aku kaget dengan segera kusimpan manisan pepaya itu di atas nampan.
“Ada apa Ma, kok teriak-teriak.” Tanya Ibu sambil berlari dari ruang tengah menuju goah.
“Ini anakmu ternyata yang suka mengambil makanan di goah. Pantas saja kamu merasa kehilangan makanan.” Nenek tampak kecewa sekali.
“Ya Allah Tika, pantesan kamu suka pelupa, itu akibatnya kalau suka ngambil makanan dari sesajen.”
“Kan sayang Bu makanan didiamkan, ga ada yang makan. Kan kita ga boleh buang-buang makanan.” Jawabku membela diri.
“Ah Tikaaa Tikaaa. Anak zaman sekarang, kecil-kecil sudah pintar jawab” ujar nenek.
Alhamdulillah setelah aku pesantren, aku sudah bisa memberikan alasan menurut Al Qur’an dan hadits bagaimana hukum memberi sesajen, Setelah nenek, bapak dan ibu mengetahui bahwa itu musyrik, akhirnya aku bisa lega, karena tradisi nyuguh di hari Kamis malam Jumat sudah benar-benar berakhir di keluarga kami.
Keterangan:
Goah = Kamar kecil tempat menyimpan padi atau beras dan pandaringan (tempat beras yang terbuat dari tanah liat)
Loloco = Alat untuk mengaduk bahan-bahan untuk nyirih atau nyeupah (Bahasa Sunda)
Nyuguh = Tradisi memberi sesajen
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keren!
Terima ksih bunda Nurli Yanti
Keren bund
makasih Bu Yolla