ros tini

Saya terlahir dengan nama Rostini, yang memiliki makna seorang perempuan bagaikan bunga mawar yang cantik dan harum. Semoga harapan dari orang tua yang baik-bai...

Selengkapnya
Navigasi Web

Survei Desa Ala KKN (Bagian 2)

Tidak terasa seminggu sudah kami lalui. Selama 7 hari kami menyusuri kampung demi kampung yang ada di desa itu. Desa itu memiliki 6 kampung. Dari kampung satu ke kampung lain, dipisahkan oleh kebun teh, kadang ladang dan sawah. Makanya setiap hari kami menyusuri kebun teh, kadang pematang sawah atau ladang sejauh 4-5 km untuk melakukan survei desa.

Setiap kami datang ke kampung-kampung, kami akan menemui Pa RK (Rukun Keluarga), kalau sekarang RW. Semua kampung yang kami kunjungi, menyambut kami dengan baik, apalagi setelah kami menceritakan kalau kami tinggal sementara di rumah Mama Aa, mereka semua merasa takzim dengan beliau. Ternyata Mama Andu, atau yang biasa dipanggil Mama Aa atau Mama Kyai, adalah tokoh masyarakat yang sangat disegani. Selain karena ilmu agamanya yang luas, beliau juga peduli dengan program pembangunan desanya. Suasana kampung yang agamis, itu juga berkat jasa beliau.

Setiap sore, Mama Aa mengajar anak-anak mengaji di suraunya. Kami pun ikut serta membantu beliau mengajar ngaji sebisanya. Biasanya mengaji baru bubar menjelang maghrib, maka kami akan menyaksikan keindahan kampung yang tersapu oleh semburat cahaya kemerahan beradu dengan kerlip cahaya lampu cempor dari rumah-rumah warga. Emh alangkah indahnya.

Aku sangat senang bisa mengenal Mama Aa. Ilmu agama pun banyak aku dapatkan dari beliau, karena setiap habis Isya Mama Aa selalu memberi petuah atau cerita-cerita masa mudanya kepada kami berlima. Kadang saking asyiknya, pernah kami baru tidur pukul 02.00 dini hari, lantaran mendengar cerita beliau yang seru.

Untuk mengetahui mata pencaharian penduduk, sangat mudah. Hamparan kebun teh, sawah dan ladang adalah bukti kalau sebagian besar penduduk bekerja sebagai petani.

Ada tiga macam petani, kelompok pertama, yang mengelola ladang dan sawah milik sendiri, sedangkan kelompok kedua, hanya mengelola milik orang lain. Itulah sebabnya mengapa kehidupan mereka sangat sederhana, karena sebagai petani penggarap, penghasilannya hanya untuk numpang makan. Sementara sebagai pemilik lahan sawah atau ladang sendiri pun, penghasilannya tidak begitu jauh beda, sebab petani pemilik, hanya memiliki lahan sangat sedikit, sehingga berakibat kepada pendapatan yang sedikit pula. Nah kelompok ketiga, adalah kelompok yang bekerja di perkebunan teh. Biasanya kaum perempuan yang berada pada kelompok ini, karena mereka bekerja sebagai pemetik teh. Setidaknya kelompok ini dapat membantu menopang kehidupan keluarganya.

Tak terasa acara berpisah pun tiba. Kami berpamitan kepada keluarga Mama Aa. Ada kegembiraan dan kesedihan bercampur aduk secara bersamaan. Sedih sudah pasti, meratapi perpisahan dengan keluarga dan kampung yang sangat mengesankan, menyesali pertemuan yang harus ikhlas untuk diakhiri. Kalau gembira, sudah pasti pula, karena kami akan pulang ke rumah berkumpul lagi dengan ibu, bapak, dan saudara-saudara di kampung halaman masing-masing.

Sayang, kami pulang bukan pada Hari Pasar. Suka tidak suka kami harus siap berjalan kaki sejauh 8km menuju jalan utama yang dilalui kendaraan umum. Tas pakaian kami yang sudah berat, sekarang bertambah bebannya, lantaran bawaan oleh-oleh yang banyak dari Pak Lurah, warga, dan keluarga Mama Aa.

Perjalanan baru 1/4nya, kami sudah berhenti berkali-kali. Keindahan kebun teh yang hijau menyejukan mata, semilir angin yang mengurai rambutku dengan sepoi-sepoi, tidak mampu menghentikan derasnya peluh yang mengucur yang berjalan membasahi tubuhku, sehingga membuat bajuku basah kuyup. Kami saling berbincang kenapa tidak jadi orang kaya saja supaya bisa membeli mobil sehingga tidak akan merasakan lelah yang luar biasa seperti ini.

Perjalanan sudah setengahnya, belum tampak satupun kendaraan yang lewat. Kami berhenti sesaat, menikmati air terjun yang indah. Sayang kami lupa tidak menanyakan kepada warga kampung, apa nama air terjun indah ini. Untuk menghibur kami, Yanti, yang lucu, yang memiliki tubuh paling subur, bernyanyi sambil berjoged.

“Hei lihat itu meuni bahenol nerkom euy.” Celetuk Asih disambut gelak tawa dari kami berempat. Yanti semakin menjadi, kini dia bernyanyi:

Miyoto okaena,

Sora aketek, siut juta-juta kaki.

Sambil berjalan melingkar mengelilingi kami yang lagi duduk menikmati air terjun, berjalan layaknya anak pramuka yang lagi belajar baris berbaris sambil sesekali mengangkat kakinya tinggi-tinggi seperti pose penari balet.

“Heran ya, Dia kaya batu baterai eveready, kagak ada matinya.” Kataku sambil tertawa.

“Iya ya, ga pernah cape apa?” Asih menimpali.

Disambut Ningsih sama Ika yang tertawa sambil menunjuk pantatnya.

“Lihat pantat Yanti, ha ha ha…”

Lalu Yanti berhenti bernyanyi, sambil bertanya,

“Mang kenapa dengan pantatku?” Mukanya tampak kaget. Hilang semua tawa riang yang menggemaskan tadi.

Pandangan kami semua tertuju ke Yanti,

“Maaf Yanti, kayanya tadi kamu terlalu bersemangat berjoged dan berbaris, jadi celanamu sobek.” Kataku hati-hati.

“O gimana dong?” Sambil Yanti memutar pandangannya ke belakang.

“Tenang kawan, kau ambil celana lagi yang agak longgar atau rok yang agak lebar, dipake di sini aja, didouble.” Usulku.

“Ya bener.” Semua temanku berbicara bersamaan.

Itulah keseruan dalam kelompok kami. Kami berlima memang sahabat yang solid. Suka duka selalu bersama. Tidak ada rasa iri dan bersaing di dalam kamus kami.

Tiba-tiba kami mendengar deru mobil dari kejauhan. Kami menutup rapat-rapat mulut kami. Semua menanti munculnya suara itu, mobil apakah, arah masuk kampung atau keluar kampung? Tanyaku dalam hati.

“Hore.. mobil truk. Yu kita tanya Pak supir mau ke mana? Kalu boleh kita nebeng sampai ke depan.” Usul Ika.

Alhamdulillah ternyata mobil menuju ke kota, ke arah yang kami tuju. Dan pak supir mengizinkan kami untuk ikut sampai ke pertigaan alun-alun kota. Sungguh pengalaman yang amazing buat aku, melakukan perjalanan dengan menaiki mobil truk. Ada perasaan malu, dan takut. Aku khawatir bagaimana kalau ada yang melihat, atau bertemu dengan guru atau teman-temanku kami naik mobil truk? Bagaimana kalau supir ini punya niat jahat, misal kami dibawa kabur, mampukah aku loncat dari ketinggian truk dan melantai di jalan aspal?

Sepanjang jalan kami sama-sama mengurut kaki yang pegal sehabis berjalan lebih dari 4km tadi. Aku juga merasa kaget dan memuji keberanianku naik mobil truk yang memilki badan yang tinggi itu, dan aku mampu memanjatinya, meskipun dengan gemetar. Di dalam mobil truk kami seolah dikomando, tidak ada suara sedikitpun, yang ada suara derit dan klakson mobil. Aku tahu, di dalam hati masing-masing, semua merasakan kelelahan dan ketegangan.

Selesai.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mntul

16 Feb
Balas

Terima kasih pa motivasinya

20 Feb



search

New Post