Rudianto, M. Pd.

Rudianto, M.Pd. pernah menjadi guru SMP dan SMK. Pernah menjadi Tentor Primagama. Pernah menjadi Dosen. Pernah bergabung dengn USAID Prioritas sebagai fasilitat...

Selengkapnya
Navigasi Web

DARI MENDONGENG KE MEMBACA

Bisa membaca tidaklah sama dengan gemar membaca. Meski keduanya membutuhkan keterampilan yang sama, tetapi memiliki makna dan implementasi yang berbeda. Bisa membaca hanya sebatas kebutuhan, tetapi gemar membaca lebih bermakna pada kebiasaan. Tentu saja lebih dari sekedar kebutuhan. Kebiasaan inilah yang diharapkan menjadi budaya yang akan membangun peradaban bangsa yang literat.

Tak bisa disalahkan jika banyak pihak mengatakan bahwa kegemaran membaca bangsa kita lebih rendah dari bangsa lain. Pernyataan ini didasarkan pada berbagai survey yang menyebutkan bahwa kemampuan membaca para siswa di Indonesia lebih rendah dibanding kemampuan membaca siswa di negara lain.

Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar Kemdikbud merilis berbagai hasil survey tentang kondisi siswa SD dalam membaca. Hasil assessment membaca siswa kelas awal (Early Grade Reading Assessment-EGRA) menunjukkan 4.232 siswa kelas III pada 400 SD/MI di 23 kabupaten di 7 provinsi, fasih dalam membaca huruf dan kata-kata, tetapi sulit membaca teks dan memahami isi.

Hasil tes Progress International Reading Literacy Study (PIRLS) juga buruk. PIRLS mengevaluasi kemampuan membaca peserta didik kelas IV SD. Hasil PIRLS 2011 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-45 dari 48 negara peserta dengan skor 428, di bawah nilai rata-rata sebesar 500 (IEA, 2012). Studi internasional lain, yang mengevaluasi kemampuan peserta didik berusia 15 tahun dilakukan Programme for International Student Assessment (PISA). PISA mengukur kemampuan membaca, matematika, dan sains. Pada PISA 2015, kemampuan siswa membaca, matematika, dan sains berada pada peringkat ke-69 dari 76 negara.

Berbagai hasil survey tersebut membuka mata kita tentang kenyataan bahwa rendahnya kemampuan membaca siswa di tingkat sekolah dasar adalah akibat dari rendahnya budaya membaca di sekolah. Rendahnya budaya baca tentu saja timbul karena berbagai faktor yang secara langsung maupun tidak langsung telah berpengaruh budaya baca tersebut. Beberapa faktor yang mempengaruhi budaya baca adalah kesadaran diri sendiri, dukungan budaya masyarakat atau lingkungan, kebijakan, sistem pendidikan, serta ketersediaan sarana prasarana untuk membaca.

Sekait dengan ketersediaan sarana prasarana membaca seperti buku, negara kita pun bisa dikatakan masih sangat memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah buku baru yang terbit di negeri ini, yaitu hanya sekitar 8.000 judul/tahun. Bandingkan dengan Malaysia yang menerbitkan 15.000 judul/tahun, Vietnam 45.000 judul/tahun, sedangkan Inggris menerbitkan 100.000 judul/tahun.

Kesenjangan budaya baca ini akan semakin terlihat kalau dibandingkan dengan Jepang. Menurut kalangan pers Jepang, tiras koran yang beredar setiap hari mencapai 60 juta. Padahal penduduk Jepang hanya 125,6 juta. Di Jepang rata-rata pembaca koran 1:2 sampai 1:3. Artinya, tiap dua atau tiga penduduk, satu diantaranya baca koran. Mungkin tiap rumah di Jepang berlangganan satu sampai dua koran, sehingga tidak heran banyak mempengaruhi hidup mereka dalam banyak aspek, seperti kultural, ilmiah, sosial, ekonomis, demokratis, dan kreativitas individu.

Selain dari jumlah penerbitan buku maupun media cetak yang dibaca, rendahnya minat baca masyarakat Indonesia juga terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Di setiap tempat, mulai halte bus, stasiun kereta, bandara, taman dan area bublik lainnya kita jarang sekali melihat ada orang yang membaca, mereka lebih banyak ngobrol, asik dengan HP atau duduk melamun. Kondisi ini sangat berbeda dengan masyarakat Jepang. Di Jepang kita akan mudah melihat dan menemukan orang membaca di stasiun kereta api, terminal bus atau antrean calon penumpang taksi. Bahkan tidak sedikit yang tetap membaca sambil berjalan dengan langkah-langkah cepat. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat kita lebih dekat dengan budaya tutur (oral tradition) daripada budaya baca.

Rendahnya budaya membaca pada siswa SD pun terkait erat dengan budaya tutur masyarakat Indonesia pada umumnya. Budaya tutur yang sudah menjadi tradisi masyarakat kita sejak dulu semakin menguat dengan datangnya teknologi audio visual yang menyajikan berbagai macam hiburan yang tidak saja dapat didengar tetapi juga dapat dilihat. Kondisi ini tentu saja makin menjauhkan masyarakat terhadap budaya baca. Hal ini karena semakin menguatkan anggapan bahwa menonton dan mendengar jauh lebih mudah dan lebih menyenangkan dari pada membaca. Terjadinya lompatan budaya menonton dari budaya tutur tidak saja bisa melemahkan budaya baca tetapi juga menghilangkan sensitifitas masyarakat terhadap bacaan dan ini sama artinya dengan terjadinya penguatan yang menjebak masayrakat Indonesia dalam budaya tutur.

Derasnya arus teknologi dan stagnasi budaya tutur masyarakat kita tentu tak boleh dibiarkan menggerus budaya membaca. Harus ada solusi untuk meningkatkan rendahnya minat membaca masyarakat kita.

Perbaikan terhadap budaya baca masyarakat kita secara umum tentu saja dapat kita mulai dari membudayakan membaca di sekolah. Pembudayaan membaca di sekolah dasar merupakan salah satu upaya meletakkan fondasi dasar menanamkan kebiasaan ke arah pengembangan budaya baca sejak usia dini.

Transformasi Budaya Tutur sebagai Strategi Kultural

Seperti telah dipaparkan sebelumnya bahwa masyarakat kita lebih dekat dengan budaya tutur (oral tradition) dari pada budaya membaca, maka kebiasaan ini bisa dijadikan sebagai strategi untuk membangun budaya baca. Budaya tutur yang telah turun-temurun menjadi budaya yang menguat dalam masyarakat kita dapat dijadikan sebagai sebuah solusi yang efektif untuk melakukan transformasi dari budaya lisan/tutur ke dalam budaya baca.

Budaya tutur yang dapat dijadikan sebagai strategi kultural dalam menumbuhkan budaya baca adalah mendongeng. Mendongeng adalah aktivitas budaya masyarakat kita yang telah dilakukan sejak dahulu. Dongeng adalah sebuah akar budaya yang ada pada masyarakat kita. Dongeng seharusnya masih mengalir dalam darah kita. Oleh sebab itu, dongeng sebagai bentuk tuturan lisan dapat dijadikan sebagai pintu untuk memasuki dunia membaca.

Beragam upaya bisa menjadikan dongeng sebagai pintu untuk memasuki dunia membaca. Pertama, dongeng bisa dijadikan sebagai bahan untuk menstimulus siswa SD kelas rendah agar mau membaca. Untuk lebih merangsang minat membaca, siswa kelas rendah bisa dibacakan dongeng oleh gurunya setiap hari. Kegiatan mendongeng, selain menyenangkan bagi anak-anak juga merupakan sumber teladan dalam pembiasaan membaca yang baik. Jika dalam budaya tuturan lisan, pendongeng menceritakan lisan tanpa membaca, sementara untuk upaya transformasi budaya tutur menuju budaya baca, sang pendongeng (guru) menceritakan dongeng dengan membacakan buku tersebut.

Kegiatan ini dapat merangsang rasa ingin tahu siswa untuk membaca buku yang dibacakan oleh gurunya. Kegiatan mendongeng ini pun bisa menjadi contoh yang baik dalam mendekatkan buku kepada para siswa.

Kedua, Membacakan dongeng bisa juga dilakukan oleh siswa kelas tinggi di SD (kelas 4-6) kepada adik kelasnya di kelas rendah (kelas 1-3) pada jam-jam istirahat. Aktifitas pembiasaan seperti ini akan mempercepat transformasi dari budaya tutur menjadi budaya baca melalui strategi kultural masyarakat yang sudah kita kenal.

Ketiga, secara berkala bisa juga mendatangkan pendongeng ke sekolah. Ajak semua warga sekolah untuk mendengarkan dongeng. Ini dilakukan untuk menumbuhkan kecintaan kepada dongeng. Dengan cinta dongeng diharapkan siswa akan membaca buku dongeng yang ada.

Keempat, adakan lomba menulis dongeng. Lomba ini pada gilirannya akan melahirkan keinginan untuk membaca dongeng lain sebelum menulis dongeng.

Hal lain yang perlu dilakukan untuk memperkuat strategi kultural membangun budaya membaca adalah menciptakan berbagai event yang memiliki keterkaitan dengan membaca. Sekolah dapat menyelenggarakan lomba resensi buku, lomba menulis surat, lomba bercerita, lomba diskusi buku, dan lomba lainnya. Selain lomba, kegiatan yang lain yang dapat dilakukan sekolah misalnya menuliskan cerita rakyat setempat, menuliskan aktifitas sehari-hari, memiliki buku harian, mendiskusikan pengalaman membaca, dan membangun perpustakaan mini di setiap sudut sekolah (dekatkan buku pada anak-anak).

Strategi transformasi budaya tutur menjadi budaya baca yang diuraikan di atas sangatlah sederhana dan mudah dilakukan. Bahkan hal ini sudah dilakukan di berbagai sekolah dasar. Namun yang diperlukan sekarang adalah konsistensi berlanjutan pembiasaan membaca tersebut hingga akan mendorong para siswa Sekolah Dasar menggemari membaca. Jika kebiasaan ini dipelihara secara terus menerus, maka akan muncul kebiasaan membaca yang baik serta melahirkan generasi yang literat.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kitalah Pegiat Literasi itu..

10 Oct
Balas



search

New Post