Rudianto, M. Pd.

Rudianto, M.Pd. pernah menjadi guru SMP dan SMK. Pernah menjadi Tentor Primagama. Pernah menjadi Dosen. Pernah bergabung dengn USAID Prioritas sebagai fasilitat...

Selengkapnya
Navigasi Web
MENJAGA WIBAWA GURU

MENJAGA WIBAWA GURU

MARAKNYA video pelecehan profesi guru oleh siswanya sendiri perlu menjadi perhatian serius. Ada gejala apakah ini? Apa penyebab semua itu terjadi? Tentu ini harus segera diatasi karena bertentangan dengan hakikat guru sebagai pendidik. Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan, dan identifikasi bagi para peserta didik dan lingkungannya.

Untuk menjadi seorang pendidik yang paripurna, seorang guru harus memiliki standar kualitas pribadi tertentu, yang mencakup tanggung jawab, wibawa dan disiplin. Berkaitan dengan tanggung jawab guru harus bertanggung jawab atas segala tindakannya dalam pembelajaran di sekolah dan dalam kehidupan bermasyarakat. Kemudian berkenaan dengan wibawa seorang guru harus mempunyai kelebihan dalam merealisasi nilai spiritual, emosional, moral, sosial dan intelektual dalam pribadinya. Sedangkan disiplin, bahwa guru harus mematuhi berbagai peraturan dan tata tertib secara konsisten, karena guru bertugas untuk mendisiplinkan para peserta didik di sekolah terutama dalam pembelajaran. Oleh karena itu dalam menanamkan disiplin guru harus memulai dari diriya sendiri, dalam berbagai tindakan dan perilakunya.[1]

Guru memang menempati kedudukan yang terhormat di masyarakat. Kewibawaanlah yang menyebabkan guru dihormati, sehingga masyarakat tidak meragukan figur guru. Masyarakat yakin bahwa "gurulah yang dapat mendidik anak didik mereka agar menjadi orang yang berkepribadian mulia."[2] Syaiful Bahri Djamarah mengatakan bahwa anak didik lebih banyak menilai apa yang guru tampilkan dalam pergaulan di sekolah dan di masyarakat, daripada apa yang guru katakan. Tetapi baik perkataan maupun apa yang guru tampilkan, keduanya menjadi penilaian anak didik.[3]

Jadi apa yang guru katakan harus guru lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya guru memerintahkan kepada anak didik agar hadir tepat waktunya, bagaimana anak didik bisa mematuhinya sementara guru sendiri tidak disiplin dengan apa yang pernah dikatakan. Seorang guru menjaga disiplin di dalam kelas, dengan tujuan menciptakan suasana yang memungkinkan untuk belajar. Namun, ini bukan berarti bahwa siswa harus selalu diam dan tidak boleh berbicara sedikitpun. Yang pokok adalah "suasana kelas yang sedemikian rupa sehingga guru dapat mengajar dengan penuh konsentrasi dan siswa dapat belajar dengan tekun."[4]

Tugas guru dalam kelas sebagian besar adalah membelajarkan siswa dengan menyediakan kondisi belajar yang optimal. Kondisi belajar yang optimal dapat dicapai jika guru mampu mengatur siswa dan sarana pengajaran serta mengendalikan dalam suasana yang menyenangkan untuk mencapai tujuan pelajaran. Bila pengaturan kondisi belajar (pengelolaan kelas) dapat dikerjakan secara optimal, maka proses belajar mengajar berlangsung secara optimal pula. Tetapi bila tidak disediakan secara optimal tentu saja akan menimbulkan gangguan terhadap belajar mengajar. Gangguan dapat bersifat sementara sehingga perlu dikembalikan lagi ke dalam iklim belajar yang serasi (kemampuan mendisiplinkan) akan tetapi gangguan dapat pula bersifat cukup serius dan terus menerus sehingga diperlukan kemampuan meremidi.[5]

Seorang pendidik yang ingin berhasil dalam tugasnya, selain ia harus dapat memilih materi yang sesuai dengan tingkat kemampuan anak-anak yang dihadapi, ia harus pula memahami metode dan prosedur pendidikan dan pengajaran di sekolah, dan juga harus mampu memilih dan melaksanakan metode khusus pada pengajaran agama tersebut.

Metode mengajar dipandang penting bukan saja bagi para calon guru, melainkan juga bagi para guru yang telah berpengalaman mengajar. Para guru, baik yang bertugas pada institusi pendidikan jenjang pendidikan dasar maupun jenjang pendidikan menengah, dengan sendirinya pernah menggunakan sejumlah metode mengajar. Seperti metode ceramah, tanya jawab, dan sebagainya. Tidak satupun metode mengajar yang dapat dipandang sempurna dan cocok dengan semua pokok bahasan yang ada dalam setiap bidang studi. Karena setiap metode mengajar pasti ada keunggulan-keunggulan dan kelemahan-kelemahan yang khas.

Kemampuan guru sendiri dalam penguasaan terhadap berbagai metode adalah merupakan faktor yang menentukan efektif tidaknya penggunaan metode yang dipilih. Apabila guru tidak lancar dalam berbicara, maka janganlah menggunakan metode ceramah, melainkan menggunakan metode lain yang tidak memerlukan banyak bicara yaitu dengan "menggunakan keaktifan kepada murid itu sendiri, misalnya metode diskusi."[6]

Media pengajaran adalah "segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan atau isi pelajaran, merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemampuan siswa, sehingga dapat mendorong proses belajar mengajar."[7]

Peranan guru sebagai "mediator (penghubung/perantara) antara pengetahuan dan ketrampilan dengan siswa yang membutuhkannya, sangat berpengaruh pada hasil proses belajar mengajar."[8] Misalnya intelektual guru, kecakapan ranah, karsa guru seperti tingkat kefasihan berbicara, tingkat kecermatan menulis dan memperagakan ketrampilan-ketrampilan lainnya dan usia guru. Hal ini berhubungan dengan tugas yang diemban. Misalnya pengajaran yang berorientasi pada penanaman budi pekerti akan lebih cocok bila dilakukan oleh guru yang berusia relatif lebih tua dari guru-guru lainnya.

Jadi media pengajaran dapat berguna untuk perantara seorang guru dalam menyampaikan materi pelajaran, sehingga materi yang disampaikan lebih menarik dan merangsang pemikiran peserta didik, sehingga proses belajar mengajar menjadi lebih berkualitas dan sesuai tujuan yang diharapkan.

Evaluasi adalah penilaian terhadap tingkat keberhasilan siswa mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam sebuah program. Program evaluasi ini dimaksudkan untuk melihat sejauh mana kemajuan belajar para siswa telah tercapai dalam program pendidikan yang telah dilaksanakannya.

Evaluasi yang berarti pengungkapan dan pengukuran hasil belajar itu, pada dasarnya merupakan proses penyusunan deskripsi siswa, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Namun kebanyakan pelaksanaan evaluasi cenderung bersifat kuantitatif, lantaran penggunaan simbol angka atau skor untuk menentukan kualitas keseluruhan kinerja akademik siswa dianggap sangat nisbi.

Setelah bekal untuk beraksi di kelas memadai, untuk menjadi guru yang berwibawa perlu sentuhan lainnya. Sentuhan itu adalah pertama, penampilan yang meyakinkan. Guru akan disegani, dihormati, dan berwibawa di depan siswa kalau berpenampilan meyakinkan. Penampilan meyakinkan ini mulai dari tata rambut, pakaian yang dikenakan, sepatu, peralatan yang dibawa ke dalam kelas, sampai kendaraan yang digunakan. Kalau penampilan guru di bawah standar, bersiaplah guru tersebut untuk ditempatkan dan diperlakukan di bawah standar juga.

Kedua, guru harus disiplin. Disiplin ini mulai disiplin waktu, disiplin kerja, disiplin aturan, sampai disiplin berpakaian/berpenampilan.

Ketiga, guru harus menyenangkan bagi siswa. Berbagai cara bisa dilakukan untuk membuat siswa senang dalam pembelajaran. Hal ini sudah dibahas di atas.

Keempat, guru harus memiliki inovasi. Siswa akan menyukai guru yang setiap saat menawarkan pembaharuan kepada mereka.

Kelima, guru harus cerdas. Guru yang berwibawa adalah guru yang cerdas. Tetapi kecerdasan yang dimiliki oleh guru harus ditunjukkan kepada orang lain, minimal kepada siswa.

Untuk mewujudkan kelima hal di atas, diperlukan modal. Pertanyaannya: Sudahkah penghasilan guru cukup untuk memenuhi kebutuhan profesinya seperti hal di atas?

Nah, jadi kalau masih ada guru yang dibuli oleh siswanya, apakah ini murni kesalahan guru. Atau sistem pendidikan di negara kita yang belum berpihak kepada guru sebagai salah satu profesi?

Penulis adalah pengawas SMP Dinas Pendidikan Kabupaten Cirebon mengajar di STIKES Muhammadiyah Cirebon.

[1] Mulyasa, Menjadi Guru Profesional, Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, (Bandung: Rosdakarya, 2005), 37-38

[2] Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak didik Dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), 31

[3] Ibid., 35-36

[4] W. S. Winkel, Psikologi Pengajaran, (Jakarta: Gramedia, 1989), 113

[5] J.J. Hasibuan dan Moedjiono, Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), 82

[6] Patoni, Methodologi, 108

[7] Asnawir dan Basyiruddin Usman, Media Pembelajaran, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), 11

[8] Syah, Psikologi, 134

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post