Rudianto, M. Pd.

Rudianto, M.Pd. pernah menjadi guru SMP dan SMK. Pernah menjadi Tentor Primagama. Pernah menjadi Dosen. Pernah bergabung dengn USAID Prioritas sebagai fasilitat...

Selengkapnya
Navigasi Web

PEREMPUAN DI MATA WAN ANWAR

Ini tahun kedelapan Wan Anwar atau Wawan Anwar atau Moh. Wan Anwar meninggalkan alam ini. Dalam kehidupan terakhirnya, dia adalah Dosen Untirta Serang, Mahasiswa S-3 Pascasarjana UI, Redaksi Majalah Horizon, penyair yang luarbiasa, dan teman yang baik.

Ada sedikit catatan tentang beliau semasa hiupnya. Penggila Chairil Anwar ini selalu meniru gaya Chairil anwar dalam bersastra. Chairil selalu merasakan langsung hal-hal yang dia ucapkan dalam puisinya. Demikian juga Wan Anwar (selanjutnya disebut WA). Puisi-puisi awal WA lebih banyak berbicara wanita, cinta, luka, dan patah hati. Maka dalam perjalanan berpuisi, WA harus bergelut dengan semua itu.

Wanita dan cinta terpaksa harus digelutinya. Ini sungguh pekerjaan yang berat baginya. Dengan wajah yang bisa dibilang kurang ganteng, dia harus barpetualang dalam dunia wanita dan cinta. Tapi inilah bekal dan amunisi dia untuk membuat puisi.

Beberapa kali saya diajak berpetualang dalam urusan wanita dan cinta ini. Saya sering mencegah dia untuk mendekati beberapa wanita yang dia incar. Alasan saya cukup sederhana, wanita-wanita yang dia incar terlalu cantik untuk ukuran WA. Sebut saja Widaningsih, Dewi Herniyanti, Rina Pujaningsing, Sri Alit, Neng Ageung, Neni Resmini, Juleha (mohon maaf kepada yang bersangkutan). Nama-nama itu adalah perempuan yang pernah dicintai oleh WA. Tentu saja yang bersangkutan tidak pernah tahu.

Beberapa kejadian akan saya sampaikan di sini. Tetapi tidak akan ada nama yang saya sebutkan.

***

Sebagai mahasiswa yang “ngontrak”, hari minggu adalah saatnya rapel mencuci, bersih-bersih kamar, makan enak, dan rapel tidur. Tetapi tidak untuk hari minggu ini. Saya sudah di pesan oleh WA untuk menemani dia ke Ciroyom. Dengan malas saya pun ikut. Bis kota adalah angkutan kami. Dan kegialaan WA sudah dimulai di Bis kota. Dia selalu ngajak ngobrol sok akrab dengan penumpang lain di Bis itu. Tentu saja penumpang bis itu kebingungan karena WA menempatkan penumpang bis seolah-olah sudah mengenalnya. Kalau bisa, dia ajak ngobrol semua penumpang di bis itu. Dan gilanya hal itu ditiru oleh Kang Eful (Saeful Komar) kalau kami berjalan bareng. Tukang baso, tukang siomay, tukang cowet, semuanya dia sapa dengan akrab. Tentu saja tukang-tukang itu menjawab dengan kebingungan karena sebenarnya mereka tidak kenal dengan Kang Eful.

Tak terasa bis sudah sampai daerah Ciroyom. Kami turun dan berputar-putar mencari alamat yang tidak jelas. Saya mulai kesel. Apa yang WA cari? Ternyata dia mencari rumah teman sekelas kami di IKIP Bandung. Tentu saja teman itu perempuan dengan wajah eksotis dan kulit hitam manis. Saya sudah mulai berpikir, ini kacau. Dan semuanya terbukti. Dengan bahasa yang berbelit-belit dia menjelaskan maksud kunjungannya. Tentu saja dia berbicara tanpa melepaskan sedikitpun pandangannya kepada wajah eksotis tadi. Moduus pertama berhasil. Selanjutnya puisi pun mengalir dari mesin ketiknya.

***

Minggu sore hujan baru reda. Saya didatangi tamu istimewa, WA. Baru kali ini saya melihat WA mandi, berpakaian rapi, dan tercium parfum dari badannya. Ada peristiwa apa gerangan? Dengan setengan memaksa, dia minta saya menemaninya ke Kopo. Ketika saya tanyakan ada apa, dia menjawab, ikut saja. Sebagai teman yang baik saya ikut.

Kami naik angkot. Menjelang isya kami sampai di Kopo. Setelah diguyur hujan, Kopo masih tergenang banjir. Kami lewati banjir itu dengan gaya yang berbeda. Saya sangat malas sementara WA berjalan penuh semangat. Melihat ini saya mulai curiga, pasti dia akan mengunjungi perempuan. Saya sampaikan protes untuk balik lagi saja karena saya cape.

“Kau tida setia kawan sobat.” Katanya sambil mengisap rokonya.

Akhirnya saya mengalah.

Sampailah kami ke tempat yang dituju. Kekesalan saya bertambah. Saya harus menunggu lebih dari setengah jam. Katanya, orang yang dituju sudah tidur, jadi harus dibangunkan dulu. Wajar, karena suasananya mendukung untuk tidur.

Orang yang dituju muncul. Benar sekali, adik kelas kami di IKIP Bandung. Tentu saja seorang perempuan dengan bodi model dan wajah klasik. Obrolan tidak jelas dimulai oleh WA. Obrolan berakhir setelah perempuan model itu mengatakan bahwa dia ngantuk dan mau tidur.

Sepanjang perjalanan WA tidak seperti biasanya. Dia diam. Saya coba tanya.

“Kenapa, Wan?”

“Dia sangat cantik, Rud.” Katanya tanpa menoleh.

Dan selanjutnya semalaman dia tidak tidur. Entah berapa puisi dia hasilkan malam itu.

***

Saat itu musim hujan. Tepat pukul 10 malam WA mengetuk pintu kamar kontrakanku.

“Rud, antar aku ke jalan Wastukencana!” katanya begitu pintu dibuka.

“Mau apa Wan? Sebentar lagi hujan.” Kata saya.

“Cepetan sebelum hujan!”

Akhirnya saya hidupkan Vespa saya. WA pun ngebut bersama Vespaku menembus gelapnya malam dan dinginnya Ledeng. Begitu sampai di Wastukencana saya bertanya,

“Mau kemana?”

“Toko bunga.” Jawabnya.

Mau apa lagi dia, pikirku. Karena sedikit ngantuk dan kedinginan, saat ini saya tidak banyak protes. Saya lebih suka mengamati dia dari jauh sambil tetap duduk di motor.

Karena suasana malam semakin sepi, obrolan WA terdengar sampai ke tempat saya duduk.

“Saya mau beli ros merah yang paling bagus yang terbungkus plastik.” Kata WA.

“Ok. Yang ini!” kata Tukang Bunga sambil menyodorkan ros merah berbungkus plastik yang besar dan segar.

“Berapa?” tanya WA.

“Tujuh ribu rupiah.” Jawab tukang bunga.

Tanpa berpikir dan tanpa menawar WA langsung membayarnya. Saya sedikit heran. Biasanya bunga seperti itu paling mahal harganya tiga atau empat ribu. Selisih tiga sampai empat ribu saat itu cukup lumayan bisa untuk makan dua sampai tiga hari.

“Tapi, persetan amat.” Pikirku. Saya sudah tidak sanggup menahan kantuk.

Vespa yang kami tunggangi seera menembus dingin dan malam yang sepi meninggalkan Wastukencana menuju Ledeng. Begitu masuk Jalan Sersan Bajuri, saya ancang-ancang belok kiri untuk memasuki kamar kontrakan.

“Lurus dulu, Kawan!” perintah WA.

“Mau kemana?” tanya saya sambil mengikuti perintahnya.

Saya ikuti petunjuk WA. Akhirnya saya sampai pada suatu tempat.

“Kau tunggu di sini, Kawan!” lalu dia berjalan mendekati bangunan asrama perempuan.

Jam sudah menunjukan 23.25. apa yang akan dilakukan WA. Sementara di arah Tangkuban Parahu kilat sudah bersambaran penanda hujan akan segera turun. Tidak berapa lama hujan turun, makin lama makin deras. Saya berteduh mendekati WA berdiri. Dia berdiri di tempat terbuka. Hujan telah membasahi seluruh tubuhnya. Jam sudah menunjukkan 23.55, dia belum beranjak.

Tepat pukul 00.00 dia berjalan mendekati sebuah pintu.

“Perempuan mana lagi yang akan jadi korban pada dini hari ini.” Pikir saya.

WA mengetuk daun pintu. Agak lama, kencang, dan berulang barulah lampu kamar menyala.

“Siapa di luar?” suara perempuan di dalam kamar bertanya.

“Saya.” Jawab WA.

“Saya siapa?” tanya perempuan tadi.

“ Kang WA.” Jawab WA.

Segera pintu terbuka.

“Masa Allah! Ada apa Kang?” dia mahasiswi tingkat satu berperawakan langsing dari Majalengka.

“Hari ini saya belum mengucapkan selamat pagi, siang, ataupun sore kepadamu. Maka kuucapkan, Selamat malam adikku.” WA berkata sambil menyerahkan bunga ros merah.

Setelah itu WA pergi begitu saja. Perempuan langsing itu berdiri di pintu, bengong, heran dan sebagainya. Lalu kami pulang berbasah kuyup. Besoknya WA bilang harus ke Cianjur dalam keadaan demam. Saya tahu dia sakit. Lalu entah berapa puisi tentang cinta dan romantisme bunga ros merah terlahir setelah itu.

***

Itu memang gila. Tetapi jangan salah, kegilaannya itulah yang telah melahirkan puisi yang luarbiasa. Ketika dia jatuh cinta, dibuatnya puisi. Ketika dia merindu, lahirlah puisi. Lalu diungkapkanlah rasa cinta itu kepada yang bersangkutan. Tentu saja mereka semua menolaknya. Saat itulah dia menulis puisi tentang patah hati.

Ada satu hal yang lebih gila. Kelakuan yang sama ditiru oleh Dody Ahmad Fauzy dengan mencintai Desi Ratnasari. Dody Ahmad Fauzy pernah sampai kemping di depan istana Desi Ratnasari di Sukabumi hanya sekedar ingin menemuinya. Mimpi yang gila.

Hanya dua orang teman kami yang cintanya waras yaitu Deden Abdul Azis dan Kang Eful.

Penulis adalah alumni KKL (Kucing-kucing Liar) di Rumah Kita Pentagon (Alm) IKIP Bandung

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Bagus sekali kisah memoarnya. selamat bernostalgia!

12 Oct
Balas

Terima kasih kasih.

12 Oct

Ternyata akang-akangku jago berpetualang demi sebuah karya yang luar biasa. Ah, jadi kangen IKIP ini teh

12 Oct
Balas

Lumayan untuk menghilangkan rindu

12 Oct

Penulis reportase ini, apakah mengikuti kegilaan yang sama juga?

10 Oct
Balas

hanya jadi korban

10 Oct

mantap...tulisan Pak,sy mau belajar

12 Oct
Balas

Alhamdulillah. Pernyataan yang terbalik, Bu Hajjah

12 Oct

keren, benar-benar gila

10 Oct
Balas

Sayapun dulu pernah di kiriminya puisi, ketika itu di tahun 2007, tepatnya Agustus 2007, kami ada kegiatan Apresda di hotel Mars Bogor. WA adalah salah satu pemateri, bersama Kang Agus R. Sarjono, Hamsad Rangkuti, Mustafa Bisri dan Mas Suminto A Sayuti. Dll. Akh.. sungguh saya jadi ingat almarhum dg membaca catatan pendek ini. Semoga Beliau tenang di alam sana. Aaamiinn yra.

14 Oct
Balas

Duuh. Kang Rudi. Reportase yang menghibur. ... tapi juga memilukan. Kakak-kakakku terhormat dan tercinta di Diksatrasia IKIP Bandung.

11 Oct
Balas

Penuh dengan cerita yang luarbiasa

12 Oct



search

New Post