TG5 Merenovasi Sistem Pendidikan Indonesia
Berubahnya kurikulum 2013 ke kurikulum Merdeka seolah kembali menguatkan opini nyinyir publik. Yah, opini jadul yang mengatakan bahwa ganti menteri berarti ganti kurikulum.
Pada kenyataannya, banyak sekolah yang siap mengimplementasikan Kurikulum Merdeka dengan jargon merdeka belajarnya. Namun, kita juga tidak boleh menafikan bahwa pemerataan belajar saja masih menyisakan banyak PR. Sejujurnya, sebagai pendidik sekaligus abdi negara, penulis tidak begitu mempermasalahkan kondisi tersebut. Hanya saja, dalam berbagai kesempatan, banyak teman pendidik yang mengeluh terkait perubahan kurikulum yang terjadi lagi dan lagi. Learning loss yang belum sepenuhnya teratasi, pemerataan belajar yang belum sempurna terpetakan, penguatan kualitas guru yang belum sempat terlaksanakan menjadi agenda-agenda prioritas yang harusnya diatasi justru terabaikan. Perubahan kurikulum tentu mempunyai efek domino yang sedikit banyak menyulitkan beberapa pihak.
Dari sudut pandang guru, tentu banyak perubahan dan strategi pembelajaran yang harus dipersiapkan. Masalahnya, tidak semua guru mempunyai kapabilitas dan kapasitas untuk cepat beradaptasi dengan perubahan. Tipikal generasi Z yang serba instan menyebabkan mereka tak bisa menunggu. Ironisnya, guru yang tak mempunyai skill akan kalang kabut menghadapi kemampuan generasi serba digital yang cerdas. Akibatnya, tentu mudah sekali dipetakan. Iklim pembelajaran yang berjalan apa adanya. Outputnya pun tentu bisa diprediksi dengan jelas.
Belum lagi dari paradigma berpikir orang tua. Ganti kurikulum akan berakibat pada perubahan materi ajar. Efeknya tentu bisa ditebak. Yap, pergantian buku pelajaran secara total. Padahal, buku era kurikulum 2013 masih mencantumkan brand revisi. Ujung-ujungnya, yang muncul adalah revisi tiada henti. Ganti buku setiap kali. Tentu tak sedikit budget yang harus disiapkan pemerintah untuk mengatasi segala kondisi ini.
Yang paling penting dari perubahan ini adalah para pembelajar. Siswa yang hanya ingin menuntut ilmu. Bamun, mereka mau tak mau menjadi korban dari sebuah sistem pendidikan yang tak juga menemukan titik kemapanan.
Jujur, jika saja sistem pendidikan di negeri ini berjalan dengan baik, tentu siapapun nakhoda yang memimpinnya tak akan menimbulkan sengketa apalagi dilema. Sistem yang berjalan dengan baik, tak perlu digonta-ganti. Hanya tinggal dievaluasi dan direvisi untuk lebih sempurnanya.
Entahlah, harus mengeluh kemana lagi. Toh keluhan juga tak memberi solusi. Akhirnya, mari berbesar hati menjalani semua perubahan kondisi di negeri ini.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keresahan yang dirasakan masyarakat luas ini laksana gunung es, hanya karena dipaksa oleh sistemlah nampaknya di permukaan banyak sekolah yang siap, aslinya ? Wallahu-alam. Tak sedikit guru penulis yang menuliskan sikap dan pandangannya, sebagian besar masih gamang menghadapi perubahan ini. Salam literasi
Ijin share di medsos, sebagai penguat banyaknya pendapat para guru tentang perubahan kurikulum, dan sebagai tambahan informasi bagi teman-teman medsos saya, terima kasih swbwlumnya.
Saya siap membaca sekaligus mencoba memahami. Jika ada yang saya tidak tahu, pasti saya tanya ya Pak.
Maaf typo. Bunda maksud saya.