Rury Ariyani

Mother Writer Teacher Traveller...

Selengkapnya
Navigasi Web
Mendung Bergayut di Bur Telege
Mendung Bergayut di Bur Telege

Mendung Bergayut di Bur Telege

🍁 Mendung Bergayut di Bur Telege🍁

By : 4121X13

Bagi Irsyad, secarik kenangan tentang Hilwa tak akan pernah terhapus, meski ia hanya sekedar mengatupkan kedua matanya. Kenangan itu sangat merasuki relung hati yang terdalam, bahkan menusuk alam bawah sadarnya, yang selalu menganggap Hilwa masih ada. Kenangan itu mengoyakkan ruang rindu yang ada dalam hatinya. Irsyad percaya rindunya sudah terkunci dalam diam yang tak terperi.

Aku sedang sendiri di tepian Danau Laut Tawar, danau terbesar di Aceh, menyesap kopi Gayo di salah satu kafe yang berada di kampung one one (lucu nama kampungnya, bacanya bukan wan wan kayak bahasa inggris, memang penyebutan aslinya kampung One One).

Cara menikmati kopi Gayo memang berbeda setiap orang, ada yang langsung diseduh dan dicampur gula, ada yang dicampur dengan telur. Tapi aku suka aroma kopi yang khas, menunggu setengah dingin, lantas mengaduknya secara perlahan. Aku menyebutnya bagian dari seni menikmati kopi.

Usai satu jam aku menyendiri sambil menikmati kopi, kuarahkan sepeda motorku menuju destinasi wisata nan eksotik di Bur Telege. Bur dalam bahasa Gayo berarti gunung. Telege, tempat penampungan air, atau sumur. Bur Telege, gunung telaga, berada di punggung Desa Hakim Bale Bujang (HBB), berada di ketinggian 1.450 meter di atas permukaan laut (MDPL). Bur Telege, menjadi salah satu tempat wisata paling viral di Tanah Gayo Aceh Tengah, menyimpan pesona istimewa.

Menyusuri jalanan menuju Bur Telege sangatlah mendebarkan, belokan curam sampai 360 derajat belokannya, ditambah jalannya cukup dilalui satu mobil saja (ga bisa dibayangkan kalau pas papasan dengan kendaraan laen), seru dan menegangkan, padahal hanya sekitar 15 menit saja dari kampung One One itu. Bagi orang dari luar Takengon, disarankan untuk tidak melewati areal ini, ada jalan lain yang lebih mudah menuju Bur Telege selain jalan ini.

Sayangnya sampai di sana, mendung mulai bergayut di Bur Telege, aku tidak sempat memasuki areal wisata ke atas, karena hujan gerimis kecil mulai turun. Dan kabut yang menutupi sebagian jalanan sudah nampak.

"Hai, kamu Irsyad kan ? Masih ingat denganku ? Aku Safna, teman Hilwa, yang pernah diajaknya ke Buntul Rintis. Saat itu kami berempat dengan teman Hilwa yang lain. Apa kabarmu ?"

Ah, aku jadi terhenyak menatap gadis mungil di depanku sambil mencoba mengingat semua teman-teman Hilwa. Lantas aku hanya bisa terdiam, kenangan bersama Hilwa sekelebat menurunkan konsentrasiku. Sudah kucoba mengalihkan ingatanku, tetap saja dimanapun tempat seakan berteman dengan Hilwa.

"Alhamdulillah kabarku baik. Kamu ?" tanyaku kepada gadis itu. Dia tidak sendiri, ada dua orang gadis lain yang bersamanya, mereka sedang asyik memainkan gawainya, tanpa menghiraukan kehadiranku, dan aku tidak mengenalnya. Mungkin hanya gadis yang berbincang denganku teman dekat Hilwa.

"Kami juga biasa kemari bersama Hilwa dulu," ucap Safna sambil melihat ke arah hamparan kota Takengon di bawah sana.

Aku menggigit bibirku, sambil menahan pedih di dada. Kembali ruang ingatanku mengingat kenangan semua tentang Hilwa.

"Sebenarnya sebelum Hilwa meninggal, ia merasa sedih, seolah akan pergi. Tanda-tanda itu jelas, ketika satu persatu barang kesayangannya diberikan kepadaku sahabat terdekatnya." Safna berkata sambil menunjukkan gelang khas Aceh yang biasa dikenakan Hilwa.

Mata Safna terlihat berkaca-kaca saat mengutarakan kisah tentang Hilwa. sedangkan aku, hanya terpaku mendengar semua hal baik tentangnya.

"Kadang kita merasa perjalanan masih panjang, sehingga masih juga kita dalam kelalaian. Kadang kita masih mengira, mampu melakukan apa saja yang kita ingin lakukan, seperti menyakiti oranglain dengan lisan kita. Padahal kita tak tahu, sampai kapan usia kita berakhir. Itu pesan terakhir yang diucapkan Safna kepadaku," tuturnya sambil terisak.

Lalu Safna beranjak menuju jalan setapak menuju ke sebuah sepeda motor yang terparkir di sisi kanan, dan membuka bagasinya.

"Hilwa sempat mengatakan kepadaku, agar aku menyerahkan titipan ini kepada calon suaminya, yaitu kamu. Maaf baru sekarang kita jumpa setelah setahun lamanya Hilwa tiada, karena baru kuterima setelah seminggu Hilwa tiada. Aku berusaha mencarimu, tapi tak jua bertemu," lanjutnya dengan raut muka sedih.

Aku terkejut menerima sebuah kotak berwarna biru itu. Sementara Safna berbalik menghampiri dan mengajak pulang kedua temannya, karena mendung semakin bergayut di atas Bur Telege.

"Kami pulang ya ? Kalau ada perlu tentang Hilwa, nomor Hp Hilwa ada sama Safna. Hubungi saja nomor itu," pesannya. Kemudian mereka pun berlalu dari hadapanku.

Aku pun segera memasukkan kotak biru itu ke dalam bagasi dan menaiki motorku, pulang.

Dalam rintik gerimis di jalanan, aku berteriak memanggil nama Hilwa sekuat mungkin

"HILWAAAAA...."

Tak ada yang menjawab teriakanku, hanya suara kumbang penunggu hutan yang mendengar suaraku. Hujan dan petir pun bersahutan. Tubuhku basah dan airmataku menetes deras, sederas hujan. Aku ingin melupakannya, tapi ternyata di setiap sudut semua berisi kenangan tentangnya.

========= Penasaran dengan kotak biru milik Hilwa ? Masih pengen baca cerpen tentang bagaimana Irsyad melupakan Hilwa ? Tunggu dua hari lagi ya ======

#MendungBergayutdiBurTelege

#Cerpen

#TantanganMenulisGurusiana

#TMG_HariKe4

#4121X13

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post