Modal Nol Dapat Jempol -05 (Tak Ada Rupiah, Mungkinkah Sekolah?)
Matahari yang telah condong ke barat masih memancarkan sinarnya dengan panas dan garang, hanya awan stratus tipis yang tak mampu menutupi sengatan sinarnya di bulan Juni yang sedang kemarau, aku duduk terpekur di gubuk tengah sawah mengehela napas panjang, aku memang dinyatakan lulus SMP, tapi tak sedikitpun rasa senang hinggap di hatiku, merenungi nilai hasil belajar selama tiga tahun yang rerata hanya 6.
Di depanku 4 ekor kambing gemuk2 peliharaanku tengah asyik, merengut rumput, sambil sesekali mengeluarkan suara, “Mbeeeek.” Tiupan angin di tengah kemarau seperti ini sedikit mengurangi panas di kulit, tetapi begitu angin bergesekan dengan jalan berdebu yang belum pernah tersentuh aspal, menerbangkan debu2 yang dapat memedihkan mata, pohon2 mahoni, akasia, flamboyan, tampak seperti pohon dan ranting saja karena daunnya meranggas, mempertahankan diri agar tetap hidup di tengah penguapan air yang tinggi. Tanah2 sawah mulai bengkah2 tak dapat jatah irigasi, debit air surut.
Aku menyesali suramnya nasibku, walaupun sebenarnya kelahiran sesorang merupakan ketetapan Tuhan. Aku terlahir sebagai anak ke 6 dari enam bersaudara, dari keluarga petani yang memiliki beberapa bidang tanah dan ternak, cukup sejahtera untuk ukuran orang desa, Namun seiring kelahiranku pelahan tapi pasti panen sering gagal, sementara kebutuhan sandang, pangan dan sekolah kakak-kakakku semakin banyak, terutama kakak sulungku yang sedang kuliah di Kesehatan.
Dan usai pulang sekolah ketika aku menyerahkan STTBku ke Bapak sembari menyampaikan aku ingin sekolah SMA, Bapak hanya bilang; “Kalo tidak diterima di sekolah negeri, tidak usah sekolah!” demikian ucapan Bapak. Dan ucapan ini pernah saya dengar ketika gagal masuk SMP Negeri. “Kalo nggak ada uang, mana mungkin bisa sekolah?”
Masa depanku gelap, aku tak bisa melanjutkan sekolah, nggak ada rupiah, dan juga buruknya nilaiku, betul2 modal nol untuk sekolah. Teringat Wali kelasku membisikan dengan hati-hati ketika membagi ijazah, Nak, Kamu peringkat 39. Tapi alhamdulillah lulus. Oh Tuhan, Sebodoh inikah diriku? Di sekolah swasta yang tidak bonafidpun ’underdog’ Aku malu pulang ke rumah, pasti telingaku akan mendengar dasar anak pembawa sial! Oh tuhan ini salah siapa?
Matahari masih menyengat, kulihat bayangan Gubuk condong ke Timur kira-kira sama dengan tinggi gubuk itu, itu tanda waktu ashar telah tiba. Di sini tak pernah terdengar suara Adzan menggema dari masjid, karena listrik belum menyentuh desaku waktu itu. Jadi kata guru ngajiku hanya berpatokan pada alam, bayangan pohon kira-kira sama panjang dengan tingginya, karena selama tiga tahun aku selalu menghabiskan sore di sawah, maka aku sangat paham akan hal itu. Ku ambil air wudu dari air sungai yang hampir mengering tak jauh dari gubuk. Meskipun hampir kering aku melihat sekelompok ikan wader masih berseliweran dekat kakiku.
Selepas pulang sekolah, aku lebih banyak sendiri, tak banyak teman yang menggembala sepertiku di desa, hanya sekitar 4 anak, tapi di musim seperti ini jarang ketemu bersama, karena masing-masing mencarikan tempat gembalaan yang banyak rumputnya. Kami sibuk dengan binatang gembalaan sendiri, hanya sesekali ketemu mereka di hari libur untuk main bola di lapangan desa pagi hari.
Kesedihanku menatap keinginan melanjutkan ke sekolah terbawa sampai ke sholat, Aku sholat ashar sambil menangis. Doa yang kubacapan tersendat-sendat. Inilah doa dari guru ngajiku yang selalu kucupkan saat-saat pilu;
“Oh Tuhanku, Aku ingin melanjutkan sekolah, tapi tak ada uang, tapi aku yakin engkau maha pengasih Ya Rohman, dan engkau Maha Penyayang ya Rohim. Jika rupiah itu masih di langit, maka turunkanlah. Jika uang itu masih di bumi, maka keluarkanlah. Jika uang itu masih jauh, maka dekatkanlah. Jika uang itu masih haram, maka halalkanlah. Jika uang itu belum ada maka adakanlah. Aku ingin melanjutkan sekolah”
Ada perasan ringan usai air mata berlinang. Hati tentram. Sehingga pikiran tenang dan terjadi percakapan hati,: Bukankah engkau selama ini sering membantu PR temanmu? Bukankah itu berarti kamu tidak bodoh? Bukankah kamu menggembala kambing, tiap tahun beranak pinak, bukankah selama ini sesungguhnya engkau juga sudah turut membiayai sekolahmu? Bukankah engkau pulang menggembala membawa kayu bakar untuk memasak, bukankah itu juga sesungguhnya menunjukkan engkau bisa cari uang sendiri? Bukankah engkau selepas subuh juga mengambil air si sumur untuk kebutuhan minum keluargamu? Bukankah itu modal untuk mandiri? Pertanyaan2 itu mendewasakannku dan menguatkanku.
-------000----------
Libur lebaran tiba, Hatiku gembira, gembira bukan karena hari raya saja, melainkan di rumahku kedatangan tamu dari kota yang mudik, sedang mencari orang untuk bekerja menjaga warung. Dan setelah aku mengutarakan niatku, tidak perlu menggajiku yang penting aku bisa sekolah aku akan senang.
Gayung bersambut, sang tamu menyetujui keinginanku, tetapi dengan perjanjian aku bekerja setahun dulu, baru tahun depan bisa melanjutkan sekolah. Meskipun berat aku terima tawaran itu, aku bersyukur titik terang cita-citaku sudah dapat jalan.
Kegiatanku di tempat baru dari ranjang ke ranjang sangat padat dan melelahkan. Jam 4.00 pagi bangun dari ranjang, membuat gorengan hingga waktu subuh, gorengan di titipkan ke warung-warung seputar komplek perkantoran. Selepas subuh pergi ke pasar belanja sayur mayur untuk dijual di warung. Pulang dari pasar mempersiapkan diri jaga warung, hingga malam pukul 21.00 dan kembali ke ranjang untuk tidur.
Berita gembira tiba, melihat ketekunanku dan kejujuranku warung makin maju dan omzet naik drastis dari Rp. 27.000,- per hari bisa menjadi Rp. 273.000 per hari. Tuan rumah memutuskan bahwa tidak perlu menunggu setahun untuk menabung, tapi senin depan aku boleh sekolah, oh alhamdulillah Ya Allah. Akhirnya aku sekolah.
Tanggal 2, Bulan Juli tahun 1983 aku benar-benar berseragam putih abu-abu, aku anak SMA. Ternyata meskipun Swasta sekolahku cukup ternama, teman2ku banyak berkulit kuning bersih dan bermata sipit, tapi aku tak peduli, yang penting aku sekolah.
Hari pertama kegiatan belajar tiba, Guru matematika menulis judul ‘Bilangan eksponensial.’ Beliau memberi pendahuluan mengajar, “jika 103= berapa? Teman2 menjawab “seribuuu,” Ibu guru Muda dan cantik itu “mengacungkan 2 jempolnya, bagus.” Ia melanjutkan, “jika 102 = berapa? Kembali teman2 serempak menjawab “seratus.”. Guru itu menatap dengan mata berbinar, “benar,” Ia pun kembali bertanya: “10o = berapa? Tak ada siswa yang menjawab, diam, Aku mencoba menjawab: “Satu Bu.” Semua teman memandangku, “Pintar.” Sebuah pujian yang saat itu seperti korek api membakar bensin, aku bahagia dan bangga sekali, apalagi pujian itu dari seorang guru yang konon katanya killer. Tapi menurut mataku anggun dan berwibawa.
Pembukaan pelajaran itu ditutup dengan pertanyaan, “siapa bisa membuktikan bahwa 100 = 1.” Karena tidak ada yang tunjuk jari, maka aku memberanikan diri maju, dan menulis di papan tulis seperti ini. Menurut aturan matematika , jika bilangan berpangkat dibagi bilangan berpangkat, maka pangkatnya dikurangi, jadi 10a – 10b = 10a-b contohnya =103-3 = 100 = 1. Demikian jawabanku ragu, “Jawabanmu Betul.” Puji guru tulus, “Kamu memang anak pintar.” Entah kenapa pujian kecil itu terus membakar semangatku untuk terus berupaya semaksimal mungkin. Dan hasilnya ketika pembagian kelas Aku masuk IPA 1. Kelas terbaik di sekolah yang baik. Demikianlah prestasiku naik, hingga lulus dengan predikat terbaik umum di sekolah itu, masa sekolah yang amat menyenangkan selama hidupku.
Di tengah klas 2 SMA ada kejadian mengharukan, aku dapat surat dari Kepala SMPku dulu, yang isinya memohon maaf telah terjadi kekeliruan nilai, ternyata nilaiku yang buruk di SMP itu bukan milikku, tetapi milik temanku yang sudah drop-out dan namaku mengisi di kolom nama anak yang keluar itu, astagfirullah, alhamdulillah aku kecewa berat tapi juga bahagia. Kecewa, seandainya dulu nilai ku di ijazah rata-rata bukan 6 tapi (7,9). Niscaya aku masuk SMA negeri, tapi apa hendak dikata nasi sudah menjadi lontong, ...eh bubur, aku tetap bersyukur atas usaha sekolah memperbaiki kekeliruannya. Alhamdulillah.
Terus terang masa di SMA itu menjadi waktu terbaik seumur hidupku, karena selalu dapat pesan positif dari guru2 yang hatinya lembut, “kamu anak pintar, anak pandai, anak baik, anak rajin, anak penurut.” Yaaah tak kurang dari 180 pesan positif yang aku terima dari guru-guru SMAku dulu. Semangat belajarku berkobar, hingga diterima masuk perguruan tinggi lewat jalur PMDK kedoketran, APDN, AKPER, Akademi Pimpinan Perusahaan. Tapi aku memilih D-II Fisika, karena dapat ikatan dinas, dapat beasiswa dan sudah sholat istikharoh.
-----0000------
“Fakultas MIPA,” suara Mc membuyarkan lamunanku “kepada para wisudawan Pasca Sarjana MIPA dimohon berdiri. Aku berdiri bersama teman-teman seangkatan, senyum mengembang di bibir para wisudawan. Termasuk diriku, lulus dari perguruan tinggi ternama berlogo Gajah bukanlah mudah, apalagi tanpa rupiah, beasiswa penuh. Aku telah menapaki studi D-III, S1, semuanya beasiswa, dan ini pembuktian aku bukan anak pembawa sial, meskipun bukan pohon yang menjulang tinggi dan banyak buahnya, setidaknya aku menjadi ilalang yang membawa udara segar penuh oksigen, Alhamdulillah.
Jika engkau bertanya ya Tuhan.
”Maka, nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan?”, maka akan ku jawab.
“tidak ada.”
“Tidak akan pernah ada,”
Karena Aku telah memaknai perjuangan ini dengan:
Doa
Cinta
Dan air Mata
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Cerita yang bagus Pak.. Maaf kalau boleh usul penulisan kata ulang sebaiknya jangan disingkat..gemuk2 sebaiknya ditulis gemuk-gemuk, debu2 sebaiknya ditulis debu-debu, pohon2 sebaiknya ditulis pohon-pohon....Supaya lebih baik dalam penulisannya...Terima kasih. Barakallah...
Alhamdulillah, semoga membawa spirit, terimakasi masukan yang sangat baik. insya Allah tulisan berikutnya akan Saya perbaiki. semoga sukses menjadi milik Bu Rini.
"Pembawa sial,"omongan yg sangat pedas ya pak. Tapi sekarang berobah menjadi berkah, mambangkik Batang tarandam, kebanggaan keluarga. Allah Maha mendengar .terharu saya pak
"Pembawa sial,"omongan yg sangat pedas ya pak. Tapi sekarang berobah menjadi berkah, mambangkik Batang tarandam, kebanggaan keluarga. Allah Maha mendengar .terharu saya pak
Ya Bunda, seperta kerang yang menelan kerikil, menyakitkan kata-kata seperti itu, tapi Alhamdulillah kata-kata itu telah dibalut menjadi indah, seindah mutiara walau semula seperti kerikil yang tajam. terima kasih sudah mampir, semoga Bunda sukses selalu.
Sehabis gelap terbitlah terang, sebuah perjalanan hidup yang menginspirasi dan banyak hikmah yang dapat saya ambil, apalagi saya baru selesai melaksanakan UN dan akan melanjutkan pendidikan. Ditunggu cerita² berikutnya
selamat berjuang sdr stive, hambatan pasti akan menghadang, namun yakinlah dengan keteguhan hati, Tuhan akan mengantarmu ke cita- citamu, bila telah bulat tekad. semoga sukses selalu untukmu
Cerita yang bagus semoga dapat menginspirasi pembaca.alhamdulillah banyak hikmah dari cerita tersebut yang dapat diambil jadi teladan, perlu perjuangan untuk menggapai asa.
Betul Bu Guru, bak pepatah bilang, tak ada mawar tanpa duri. untuk memperoleh hasil kita dihadapkan pada kesulitan, seperti mawar yang i dah mewamgi selalu diliputi duri-duri