Saeful Hadi

PROFILE PENULIS Laki-laki bernama lengkap Saeful Hadi, S.Sos. ini lahir di Tasikmalaya pa...

Selengkapnya
Navigasi Web
Jika Peninggalan itu yang Kau Inginkan
Jika Peninggalan itu yang Kau Inginkan

Jika Peninggalan itu yang Kau Inginkan

Jika Peninggalan itu yang Kau Inginkan

Saeful Hadi

“Pokoknya kau atur data yang sudah saya susun ini dan jangan banyak tanya, Ris! Nanti saya kasih tamu tips!” Dermon mengingatkan kepada Risti, sang sekretaris untuk mengerjakan semua instruksinya sambil menyerahkan map yang ada di meja kerjanya. Tanpa basa basi lagi, Dermon pun menyuruh Risti keluar ruangan dan segera mengerjakan tugasnya. Tentu saja sebagai bawahan, Risti tak berani menolaknya dan bergegas keluar ruangan direktur untuk mengerjakan semua yang diperintahkan atasannya.

“Duh, Boni, ini kok aneh datanya tak logis dan mark up nya sungguh tak masuk akal, bagaimana aku mengerjakannya, jangan-jangan aku dianggap….!” Risti tak nyaman dengan data yang disodorkan manajernya karena apa yang diperintahkan menurutnya tidak logis dan menyimpang.

“Sudahlah, Ris, tak usah kau protes, kita ini bawahan, nggak usah melawan, kerjakan saja, nanti bos marah, kau tahu rasa!” Boni pun mengingatkan agar Risti tidak perlu banyak berkomentar dengan data yang disodorkan manajernya serta semua rangkaian perintah yang diberikan kepadanya.

“Tapi, Bon…!” Risti mencoba kembali meminta tanggapan Boni. Namun Boni malah segera beranjak pergi meninggalkan Risti dan tak mau tahu dengan urusan yang dihadapi oleh rekan kerjanya tersebut.

Jangka waktu satu minggu mengerjakan rangkaian laporan keuangan yang diperintahkan manajernya seakan terasa cepat. Jika sebelumnya Risti mengerjakan hal-hal yang normatif dan logis, namun kali ini benar-benar di luar kewajaran. Sungguh sebuah kondisi yang dilematis baginya.

“Kenapa melamun, Sayang! Ada masalah di tempat kerjamu? Kok nggak segera makan?” Tiba-tiba Faqih, suami Risti, menegur isterinya yang belum juga mengambil sajian makan malam padahal sudah lengkap. Dua anak mereka pun ikut menegur ibunya, namun segera ditenangkan oleh asisten rumah tangga dan meminta kedua anak untuk melanjutkan makannya.

“A..a..ku nggak bisa tenang Mas, ada hal yang mengganggu pikiranku di tempat kerja dan tugas yang harus aku kerjakan! Mas boleh ya aku resign dari tempat kerja dan ngurus Tata dan Domi saja ya!” Perkataan Risti membuat kaget sang suami dan segera menghentikan makannya. Lama Risti dipandang oleh sang suami.

“Lo ada apa Ris? Kau mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan kah di kantormu?” Faqih tentu saja penasaran dengan sikap isterinya yang tidak biasanya. Kondisi makan malam mereka pun menjadi terkesan hambar, hanya kedua anak mereka saja yang tetap fokus dengan makannya dan setelah selesai makannya, keduanya pun segera masuk kamar ditemani asisten rumah tangga. Inilah momentum bagi Risti untuk mengungkapkan kegelisahan hatinya pada sang suami dan dia pun akhirnya menjelaskan semuanya.

“Waduh, bahaya itu! Itu sudah mengarah pada manipulasi data dan tidak akuntabel untuk membuat laporan yang sebenarnya, jangan dilakukan, Risti!” Faqih mengingatkan bahwa apa yang dihadapi oleh Risti adalah peluang untuk melakukan sebuah tindakan korupsi.

“Nah itulah, Mas! Aku tak bisa menolak, kecuali aku harus resign! Aku akan dipermasalahkan jika tidak mengerjakan karena yang memerintahkan adalah manajerku langsung! Sampai dua hari ini aku belum mengerjakan perintahnya sementara jangka waktu yang Pak Dermon berikan adalah seminggu ini! Apakah sebaiknya aku mundur saja, Mas?” Bagaimana pun suami adalah pemimpin dalam keluarga, pendapat dan restunya sangatlah penting bagi Risti agar keputusan yang diambilnya tepat dan tidak keliru.

“Nanti malam sebelum tidur agar salat istikharah, Ris! Aku juga berdoa, agar Allah memberikan petunjuk yang benar! Aku pun tidak akan mempermasalahkan kau mundur, walaupun mungkin pendapatan kita jauh berkurang, tapi aku yakin jalan Allah adalah jalan terbaik!” Penjelasan Faqih yang bijaksana tentu saja menenangkan pikiran Risti dan dia pun patuh dengan saran dan petunjuk dari sang suami.

Malam itu sepertinya menjadi sebuah langkah penting apa yang akan dilakukan oleh Risti dengan situasi pekerjaan yang dihadapinya. Sejak memutuskan menikah dengan Faqih, mereka berdua sudah berkomitmen tidak akan melakukan perbuatan yang mengarah kepada korupsi atau kolusi, karena mereka berdua yakin, makan dari uang hasil perbuatan tersebut adalah haram dan bisa menjadi masalah besar bagi keluarganya.

“Ah, bodoh dia! Duit sebanyak ini tidak mau, justru keputusannya mundur membuat aku dapat durian runtuh! Aku bakal kaya nih, he..he..he..!” Boni terkekeh-keneh senang bukan main, bahwa tugas yang tadinya diserahkan ke Risti, kini dia yang mengerjakan setelah Risti menyatakan mundur dari perusahaan.

“Wah, Bon, bagi-bagi dong! Jangan pelit kau!” Ponim tampak ikut senang dengan job yang diterima Boni dan dia pun meminta kawannya jangan melupakan dirinya.

“Tenang.. Tenang.. Beres! Pasti kau dapat, Ponim, asalkan kau bantu nanti urusan ini itunya! Kita berdua saja ya yang tahu dan si Bos Dermon!” Boni mengingatkan Ponim dengan rencana mereka berkaitan dengan laporan proyek fiktif yang diperintahkan manajernya.

Perusahaan mitra pemerintah untuk proyek pembangunan dibuat kaget dengan berita anak sulung Boni, salah seorang karyawan mereka yang ditemukan dalam kondisi bunuh diri. Anak perempuan yang masih kuliah tersebut, ternyata dalam kondisi hamil tiga bulan dan melakukan bunuh diri karena kekasihnya tidak mau bertanggung jawab atas kehamilannya. Tentu saja hal tersebut membuat duka mendalam bagi isterinya Boni dan kemudian jatuh sakit.

Selang beberapa minggu, kali ini anaknya Ponim yang masih duduk di kelas sebelas Sekolah Menengah Atas meninggal pula setelah mengalami sakit selama dua minggu dan didiagnosis dokter penyakitnya kanker dengan stadium tinggi. Hanya hitungan seminggu kemudian, isteri Boni pun meninggal dunia setelah tak sanggup lagi menahan depresi akibat syok setelah meninggal anak sulungnya. Kepiluan mendalam bagi perusahaan dengan meninggalnya beberapa anggota keluarga dari karyawan mereka.

“Ris… Ris… Segera kesini dan tinggalkan dulu dagangannya, biarkan Bi Marni yang nungguin, nih dengar berita korupsi di televisi?” Sore itu Faqih heboh setelah menyimak sebuah liputan berita di salah satu stasiun televisi swasta. Dia pun memanggil-manggil Risti.

“Ada apa sih, Mas? Heboh banget! Ah berita korupsi mah biasa, nggak aneh di Indonesia!” Risti tampak kalem saja dengan kehebohan suaminya. Sang suami pun segera meminta isterinya melihat sosok yang tampak memakai rompi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi di layar televisi.

“Astagfirullah, bukankah itu Pak Dermon, mantan manajerku, Ya Allah astagfirullah.. Innalillahi.. !"Berbagai bacaan ayat Al-Qur’an keluar dari mulut Risti menyikapi pemberitaan kasus di sebuah stasiun televisi swasta.

“Allahu Akbar! Allah menyelamatkan kau, sayang! Keputusanmu mundur dari perusahaan tempatmu bekerja dulu adalah tepat dan kau tidak melanjutkan memenuhi perintah atasanmu ternyata benar adanya! Mantan bosmu itu kini jadi tersangka KPK sebagai mitra bisnis oknum pegawai pemerintah yang melakukan korupsi, Ya Allah terima kasih Kau sudah memberi petunjuk untuk menyelamatkan kami dari jeratan haram korupsi!” Faqih bersama isterinya kemudian sujud syukur dengan realita yang mereka hadapi. Keputusan Risti mundur dari perusahaan, kemudian membuka usaha kuliner di depan rumahnya dan ternyata keputusan tersebut tepat karena terhindar dari jeratan kasus korupsi di perusahaan tempatnya bekerja dahulu.

Saat Risti dan Faqih ramai dengan pemberitaan di sebuah stasiun televisi swasta berkaitan dengan kasus korupsi yang menjerat mantan manajer tempat kerja Risti dahulu, tiba-tiba telepon seluler Risti berdering.

“Ris, maaf aku Boni, mau meminta keleraan kamu menolongku, ini anak keduaku mau dioperasi, kemarin didiagnosis oleh dokter lambungnya sudah rusak, aku.. aku .. sudah tak punya uang lagi, setelah mengurus anak sulungku dan isteriku sampai pemakamannya, Ris..tolong aku, hiks…hiks!” Suara pilu terdengar dibalik telepon seluler sambil menangis, Boni menceritakan kondisinya kepada Risti. Risti sejenak tertegun dan segera berdiskusi dengan suaminya. Risti pun akhirnya bersama sang suami menuju rumah sakit tempat anak Boni mau melaksanakan tindakan operasi medis.

Ambruk Boni dihadapan Risti dan Faqih dengan menangis tersedu-sedu. Disampingnya ada anak bungsungnya yang masih duduk kelas empat sekolah dasar ikut berlutut sambil menangis. Risti dan suaminya walaupun merasa tidak tega, tetapi tetap berupaya dengan lembut mengingatkan Boni atas perilakunya.

“Dulu aku pernah katakan padamu saat kita masih satu pekerjaan, jejak apa yang akan kita tinggalkan kelak, Bon! Inilah jahatnya uang hasil korupsi kita makan! Kami hanya bisa membantu alakadarnya karena kebetulan anak kami yang besar besok mau masuk pesantren dan butuh biaya besar! Jika dirimu masih sayang pada kedua anakmu, segeralah bertobat dan kalau perlu kau mundur dari tempat kerja jika akhirnya menyeretmu pada tindakan korupsi! Mohon ini diterima sebagai bentuk rasa empati kami atas kondisi anakmu!” Risti pun menyerahkan amplop putih sebagai bagian dari empati keluarganya membantu kondisi anak kedua Boni yang akan memasuki meja operasi.

Berulang kali Boni menyampaikan ucapan terima kasih. Sambil berurai air mata, dia pun menceritakan bagaimana sulitnya mencari tempat pemakaman untuk anak sulung dan isterinya, karena beberapa warga masyarakat menolak akibat mereka tahu bahwa Boni dianggap melakukan korupsi dengan kondisi yang tiba-tiba kaya mendadak. Masyarakat banyak yang tidak percaya dengan status karyawan Boni yang pegawai rendahan dan latar belakang keluarga biasa-biasa, namu tiba-tiba hidup mewah dengan bergelimang materi.

Pulang dari rumah sakit tempat dirawat anak kedua Boni, pasangan Risti dan Faqih pun berbincang ringan di perjalanan tentang hikmah yang mereka dapatkan hari itu. Keduanya pun berulang kali mengucapkan syukur dengan langkah mereka untuk terus menghindari perilaku korupsi. Tiba-tiba mereka melihat ada warga yang membawa keranda jenazah tanpa ada yang mengantar. Risti dan Faqih heran karena biasanya ada keluarga atau tetangganya yang mengantar ketika jenazah mau dimakamkan. Isengnya Faqih kemudian bertanya saat menjalankan motor mendekati pembawa keranda jenazah tersebut, mengapa hanya mereka berempat yang membawanya tanpa ada warga lain yang mengantarnya.

“Nggak ada yang mau, Pak! Warga banyak yang menolak, untung saja ada yang bersedia memandikan dan menyalatkan jenazah ini! Almarhumah meninggal di hotel karena over dosis bersama selingkuhannya!” Ucapan sang pembawa keranda jenazah membuat Faqih langsung menghentikan sepeda motornya dan tanpa dikomando bersama Risti menguncapkan, “Nau’zubillah min dzalik!”

*TAMAT*

Cineam, Kabupaten Tasikmalaya, 3 Juni 2023

Sambil menunggui ibu

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren pisan Kang. Pesan moralnya nendang pake banget... Sekarang realitanya orang tidak peduli bagaimana cara mendapatkan harta kekayaan walaupun dengan korupsi,, yang penting bisa hidup mewah dan harta berlimpah,,, hehe.. Semoga kita semua terhindar dari hal-hal tersebut. Sukses selalu

03 Jun
Balas

Hehe.. Alhamdulillah, bisa berolah imajinasi dan menebarkan pesan moral. Semoga kita terhindar dari perilaku haram tersebut. Aamiin. Hatur nuhun. Salam sukses selalu untuk Kang Mas Burhani.

04 Jun



search

New Post