PENGENDALIAN SOSIAL MENURUT SOSIOLOGI (BAGIAN I)
PENGENDALIAN SOSIAL MENURUT SOSIOLOGI (BAGIAN I)
TANTANGAN MENULIS HARI KE-21
#TantanganGurusiana
Mari terus semangat untuk belajar sosiologi! Dua episode berikutnya termasuk tulisan kali ini adalah bertema tentang pengendalian sosial. Materi ini sangatlah erat kaitannya dengan perilaku menyimpang. Setiadi dan Kolip (2011) menjelaskan bahwa tindakan yang sesuai dengan norma-norma yang diterima oleh masyarakat banyak atau norma umum disebut dengan istilah konformis. Tindakan ini merupakan gambaran perilaku yang benar atau konformitas. Lalu apakah dengan begitu saja, individu atau manusia taat dengan aturan atau norma yang berlaku dan disebut konformis?
Tentu saja tidak dan harus ada mekanisme atau sistem yang mendorong atau mewujudkan anggota masyarakat agar taat hukum dan norma yang berlaku sehingga selalu berusaha untuk tidak melakukan perilaku menyimpang. Mekanisme tersebut disebut dengan pengendalian sosial. Menurut Joseph S. Roucek (dalam Setiadi dan Kolip, 2011) pengendalian sosial adalah sebagai suatu istilah kolektif yang mengacu pada proses terencana maupun tidak untuk mengajar individu agar dapat menyesuaikan diri dengan kebiasaan dan nilai kelompok tempat mereka tinggal. Sedangkan menurut Soerjono Soekanto (dalam Soekanto dan Sulistyowati, 2014) menjelaskan pengendalian sosial adalah suatu proses, baik yang direncanakan atau tidak direncanakan yang bertujuan untuk mengajak, membimbing atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku. Lalu seberapa penting pengendalian sosial harus dilaksanakan dalam masyarakat?
Tentu siapa yang tidak ingin kehidupan masyarakat berjalan dengan aman, tenteram dan tidak ada gangguan. Oleh karena itu, pada prosesnya pasti ada suatu upaya yang ideal dari warga masyarakat untuk menciptakan kondisi sosial yang teratur dan minimal sedikit warga masyarakat yang melakukan penyimpangan. Pada perspektif sosiologi hal tersebut disebut dengan pengendalian sosial. Adapun ciri-cirinya menurut Qomariyah (2008) adalah sebagai berikut:
1. suatu cara atau metode atau teknik tertentu terhadap masyarakat
2. bertujuan untuk mencapai keserasian antara stabilitas (kemapanan) dengan perubahan-perubahan yang terus terjadi di dalam suatu masyarakat.
3. dapat dilakukan oleh suatu kelompok terhadap kelompok lainnya atau oleh suatu kelompok terhadap individu
4. dilakukan secara timbal balik meskipun terkadang tidak disadari oleh kedua belah pihak.
Rincian tersebut kemudian memunculkan dua bentuk pengendalian utama dalam berjalannya proses tersebut yaitu adanya sanksi (punishment) dan incentive positif (reward). Sanksi baik fisik, psikologik dan ekonomik dapat menjadi sebuah senjata “membuat takut” atau mendorong kesadaran warga untuk tidak melakukan perilaku yang menyimpang. Adanya hukuman jika yang bersalah dan penghargaan bagi yang konsisten dalam berbuat baik, maka akan mempermudah berjalannya sebuah proses pengendalian sosial. Lalu bagaimana cara-cara umum yang biasa dilakukan untuk mendukung sistem pengendalian sosial tersebut?
Menurut Horton dan Hunt (1999) menguraikan ada tiga cara dalam melaksanakan sistem pengendalian sosial ini yaitu melalui sosialisasi, tekanan sosial dan kekuatan. Pengendalian sosial melalui sosialisasi maksudnya adalah seseorang menginternalisasikan (menghayati) norma-norma, nilai-nilai, dan hal-hal yang belum diketahui oleh warga masyarakatnya. Biasanya aparatur/lembaga pengendali yang berperan di bagian tersebut, misalnya tingkat warga ada Rukun Tetangga. Pada pengendalian seperti ini bisa bersifat informal (non institusi) melalui keluarga dan tokoh-tokoh masyarakat, serta formal (institusi) melalui peran aparatur yang secara persuasif menjelaskan kepada warga masyarakat tentang aturan yang berlaku. Sistem pendidikan dengan penyelenggaraan proses belajar mengajar di sekolah dapat dimasukkan dalam cara pengendalian sosial melalui sosialisasi.
Kemudian pengendalian sosial melalui tekanan sosial, maksudnya adalah dalam kehidupan kelompok, anggota kelompok biasanya “menyesuaikan diri” dengan segala aturan kelompok jika ingin diakui identitasnya di kelompok tersebut. Tekanan dengan aturan kelompok dapat secara efektif memengaruhi perilaku anggotanya agar selalu melaksanakan norma kelompok dan jika tidak dilaksanakan dia akan merasa bersalah. Sifat pengendalian sosial seperti ini umumnya informal yang dilakukan kelompok informal primer seperti keluarga, kelompok kekerabatan dan kelompok bermain terdekat. Tetapi juga tidak menutup kemungkinan sifatnya formal yaitu melalui lembaga resmi atau institusi, misalnya lingkungan kerja yang “memaksa” seseorang untuk selalu disiplin agar bisa efektif melaksanakan pekerjaan karena institusi tersebut sudah terbiasa dengan norma disiplin tinggi.
Pengendalian sosial dengan sosialisasi dan tekanan sosial bisa dilakukan dengan informal dan formal. Untuk cara yang ketiga yaitu pengendalian sosial melalui kekuatan adalah suatu proses pengendalian sosial yang mutlak dilakukan oleh lembaga resmi atau institusi formal yang diakui untuk mengatur dan menata stabilitas keteraturan masyarakat. Misalnya pihak kepolisian dalam rangka mengamankan jalur lalu lintas dengan tegas menetapkan berbagai aturan mulai dari surat-surat kendaraan bermotor, mematuhi rambu-rambu lalu lintas, sampai aturan penggunaan helm. Walaupun mungkin sebagian masyarakat ada yang tidak sejalan atau terpaksa, cenderung cara ketiga ini lebih efektif karena dari sudut pandang sanksi bersifat tegas dan sangat mengikat.
Penjelasan terakhir dalam episode pertama pengendalian sosial ini adalah bagaimana proses tersebut bisa berjalan efektif? Menurut Qomariyah (2008) ada empat proses penting dalam pengendalian sosial, yaitu:
1. Persuasif. Yaitu pengendalian sosial yang dilakukan dengan tidak menggunakan kekerasan atau tindakan fisik, tetapi melalui ajakan, tuntunan, bimbingan supaya yang melakukan penyimpangan menyadari kekeliruannya. Misalnya seorang ibu mengajak anaknya untuk rajin melaksanakan ibadah salat atau menegur halus anak yang kurang sopan.
2. Koersif. Yaitu pengendalian sosial yang dilakukan dengan tegas bahkan melakukan paksaan atau kekerasan fisik agar situasi dapat dikendalikan dan yang melakukan penyimpangan mendapatkan hukuman yang setimpal. Contoh memberikan hukuman kepada pelaku kejahatan dengan hukuman penjara melalui putusan pengadilan agar dia bisa sadar dan perilakunya tidak dicontoh warga masyarakat lainnya.
3. Kompulsi. Yaitu menciptakan kondisi yang mendorong seseorang untuk berperilaku tidak menyimpang, biasanya melalui teguran atau sapaan, misalnya terus memberikan arahan dan bimbingan kepada siswa mulai dari cara berpakaian, berperilaku sopan kepada guru, dan sebagainya.
4. Pervasi. Yaitu menyampaikan sosialisasi terus-menerus dan berkelanjutan tentang sesuatu yang dapat menyadarkan warga masyarakat untuk tidak berbuat menyimpang. Misalnya penyuluhan bahaya minuman keras, narkoba dan seks bebas atau HIV-AIDS. Umumnya dilakukan pihak-pihak baik formal maupun informal yang sangat perduli dengan sebuah masalah sosial agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat.
Qomariyah (2008) juga menjelasankan ada dua sifat pengendalian sosial yaitu preventif dan represif. Preventif merupakan bentuk proses antisipasi atau pencegahan supaya seseorang tidak melakukan tindakan menyimpang. Misalnya pemakaian sabuk pengaman saat berkendaraan roda empat, memakai helm untuk roda dua, tindakan razia miras dan penyuluhan bahaya narkoba. Kemudian yang kedua yaitu Represif yaitu suatu langkah untuk menciptakan ketertiban dengan tindakan-tindakan yang tegas terhadap peristiwa yang sudah terjadi sehingga situasi kembali lagi normal. Misalnya penertiban parkir liar, menindak tawuran pelajar, dan menghukum pelaku kejahatan.
Nah menarik bukan? Masih ada satu episode lagi berkaitan dengan pengendalian sosial ini. Pasti lebih menarik! Mengapa? Ya karena contohnya banyak terjadi di lingkungan tempat tinggal Anda atau berbagai berita di televisi! Jangan dilewatkan! Terus belajar sosiologi agar Anda mengerti bagaimana hidup yang lebih ideal dan bermanfaat!
Salam sosiologi ! Salam literasi !
Ruang Literasi Pribadi, Langensari, 4 Februari 2020
Selesai beres-beres rumah dan prepare berangkat ke sekolah!
Saeful Hadi, S.Sos.
Member MediaGuru No. 20190808-000037
Sumber Referensi :
Horton, Paul B dan Hunt, Chester L. 1999, Sosiologi, Jilid 1, Edisi 6, Jakarta: Erlangga.
Qomariyah, Puji. 2008, Teori Ringkas, Latihan Soal dan Pembahasan Sosiologi SMA Kelas : X, XI, XII, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Setiadi, Elly M. dan Kolip, Usman. 2011, Pengantar Sosiologi, Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi dan Pemecahannya, Jakarta : Kencana Prenada Media Grup.
Suyanto, Bagong dan Narwoko, J. Dwi (ed.). 2007, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta : Kencana Prenada Media Grup.

Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keren
Terima kasih!! Salam hangat! Salam Literasi!