Mudik itu bukan sekadar pulang kampung, tapi juga ritual tahunan penuh cerita. Setiap tahun, jutaan orang berbondong-bondong meninggalkan kota demi satu tujuan: berkumpul dengan keluarga di kampung halaman. Ada yang naik motor dengan tas segede gaban, ada yang berburu tiket kereta sejak jauh-jauh hari, dan tak sedikit yang memilih jalur darat dengan mobil pribadi, siap menghadapi macet yang bikin iman diuji.

Buat banyak orang, mudik adalah perjalanan penuh haru. Bayangkan bertemu kembali dengan orang tua, kakek-nenek, dan sanak saudara setelah sekian lama terpisah jarak. Pelukan hangat, hidangan khas lebaran yang menggoda, dan nostalgia masa kecil membuat semua lelah di perjalanan langsung terbayar lunas.

Tapi di balik kehangatan itu, mudik juga punya dramanya sendiri. Tiket yang mendadak mahal, jalanan yang berubah jadi lautan kendaraan, dan tentu saja, pertanyaan sakral dari keluarga: "Kapan nikah?" atau "Udah naik pangkat belum?"—pertanyaan yang sukses bikin banyak perantau deg-degan lebih dari macet di tol.

Meski begitu, mudik tetaplah momen spesial. Rasa lelah hilang begitu sampai rumah, melihat wajah bahagia orang-orang tercinta. Karena pada akhirnya, mudik bukan cuma soal perjalanan, tapi tentang rindu yang akhirnya menemukan pelabuhannya.