Di sebuah warung kopi sederhana di pinggir jalan, beberapa guru dan kepala sekolah tengah menikmati kopi hangat dan pisang goreng sambil berbincang santai. Obrolan mereka pagi itu tak jauh-jauh dari kabar terbaru tentang perubahan kebijakan pendidikan. Pak Uj, seorang guru senior, mengangkat topik yang cukup menggelitik, bahwa Program Pendidikan Guru Penggerak (PGP) akan diganti dengan Pendidikan Kepemimpinan Sekolah (PKS), dan Program Sekolah Penggerak (PSP) resmi dihentikan. Bu St, guru sekolah dasar, spontan menimpali dengan kekhawatiran tentang nasib Balai Guru Penggerak (BGP) yang selama ini menjadi tempat pelatihan guru.

Mas An, kepala sekolah muda yang mengikuti perkembangan kebijakan, menambahkan bahwa kemungkinan besar BGP akan dialihkan untuk melatih kepala sekolah, bukan lagi fokus pada guru. Hal ini memicu kegelisahan, sebab jika hanya kepala sekolah yang mendapat perhatian, guru-guru yang masih ingin berkembang bisa kehilangan wadah pembelajaran yang selama ini mereka manfaatkan. Pak Ujang menghela napas panjang, mengingat betapa seringnya kebijakan pendidikan berubah sebelum benar-benar memberikan dampak. Bu St mengangguk setuju, menambahkan bahwa tanpa BGP, pelatihan guru bisa semakin sulit diakses, apalagi jika semuanya bergeser ke model pembelajaran daring yang kurang interaktif.

Sambil menyeruput kopinya, Pak Uj berkomentar bahwa perubahan kebijakan memang hal biasa, tapi yang penting adalah kejelasan arah dan manfaatnya bagi dunia pendidikan. Mas An mengangguk, berharap agar kebijakan baru benar-benar dipikirkan matang, bukan sekadar pergantian program tanpa kesinambungan. Obrolan mereka terus berlanjut, diiringi aroma kopi yang semakin menyatu dengan pagi yang penuh tanda tanya. Bagi mereka, pendidikan adalah harapan, dan harapan itu tak seharusnya digoyahkan oleh kebijakan yang terus berubah tanpa kepastian. red