Dekadensi Moral Generasi Milenial dalam Perspektif Nilai-Nilai Etika Wayang Purwa
Dekadensi Moral Generasi Milenial dalam Perspektif Nilai-Nilai Etika Wayang Purwa
Oleh:
Safandi Mardinata*
Pada zaman milenial seperti sekarang ini pertumbuhan teknologi semakin pesat dan berkembang. Hal ini tentu saja menimbulkan banyak dampak. Salah satu dampak adalah berkurangnya minat membaca. Lebih dari itu, mudahnya informasi dan akses teknologi saat ini menyebabkan remaja mulai malas belajar. Mereka lebih senang untuk bermain dengan gawainya daripada membaca buku. Bahkan, tak sedikit remaja malah lebih asyik bermain game daripada membuka buku pelajaran sekolah. Ironisnya, waktu pun habis dan terbuang sia-sia. Mereka rela membuang berjam-jam waktunya untuk nongkrong di warung kopi yang menyediakan sarana free wifi. Keadaan ini membuat segala sesuatunya cair. Di warung, batas sosial antara anak-anak, remaja, bahkan orang tua menjadi suatu yang di luar keniscayaan. Walaupun tidak semua remaja generasi milenial melakukan ini, namun lambat laun sikap penurunan etika akan sangat terasa.
Fenomena seperti ini sebenarnya sudah dicontohkan dalam kisah-kisah dalam dunia pewayangan warisan nenek moyang kita. Pada dasarnya ada banyak sumber yang bisa memberikan teladan sikap luhur di masyarakat Indonesia, yaitu agama, karya seni yang mengandung ajaran ketuhanan, filsafat, dan etika. Salah satunya adalah wayang purwa atau wayang kulit Jawa.
Wayang bukanlah salah satu sumber pencarian nilai-nilai luhur yang sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup bangsa, tetapi wayang juga merupakan wahana atau alat pendidikan watak yang baik. Berkaitan dengan dekadensi dapat kita runut dari diingkarinya nilai-nilai keutamaan yang dimiliki oleh manusia yang ksatria dalam wayang purwa yaitu sifat keutamaan yang pernah diungkapkan oleh Kresna Sutarsa yaitu; 1) sudira (berani bertindak secara tatag/ kuat mental), titis (tepat sasaran), dan tanggon (tangguh), 2) anoraga: ingat asal-usul tubuhnya (Tuhan), 3) susila: dapat menempatkan diri di semua tempat dan keadaan, 4) sambegana: bijaksana, dapat membaca keadaan dan waktu dengan menggunakan kedewasaan berpikir.
Teknologi yang semakin pesat tak pelak mengakibatkan hilangnya ruang privasi remaja. Mereka senang mengekspos kepribadiannya di media sosial, mencoba untuk menunjukkan jati dirinya, dan mudah terbawa arus trend teknologi yang berkembang kian capat. Hal ini cukup memprihatinkan, remaja terlalu disibukkan dengan dunia maya. Alhasil mereka menjadi pribadi yang apatis terhadap lingkungan. Kurang empati, andhap asor, bahkan bukan tidak mungkin berujung pada tindakan-tindakan yang amoral. Hal ini dapat kita temui dalam cerita Raden Sumantri yang bercita-cita menjadi prajurit di kerajaan Mahespati yang dipimpin oleh Prabu Arjuna Sasrabahu. Sumantri merupakan seorang pemuda yang tampan dan sempurna fisiknya, ia memiliki adik yaitu Sukrasana yang wujud fisiknya sangat mengerikan, bahkan ada yang menyebut bahwa Sukrasana ini adalah raksasa kecil (Buta Bajang), namun di luar semua itu Sukrasana memiliki kesaktian yang pilih tanding. Sumantri yang berhasil menjadi prajurit di Mahespati semakin menanjak karirnya, semakin menonjol jati dirinya, menjadi pujaan gadis-gadis. Namun, semua itu ternyata masih belum cukup untuk menunjukkan jati diri seorang Sumantri. Ia ingin memperistri Dewi Citrawati yang akan diperistri oleh Prabu Arjuna Sasrabahu. Sang prabu yang mengetahui gelagat itu menantang Sumantri untuk memindahkan Taman Sriwedari dari kahyangan Dewa Wisnu. Hal itu adalah sesuatu yang mudah bagi Sukrasana sang penjaga taman, adik kandung Sumantri. Namun apakah yang didapatkan Sukrasana? Kematian di tangan Sumantri. Kematian yang disebabkan oleh gengsi Sumantri jika orang lain mengetahui bahwa keajaiban yang dilakukannya selama ini adalah berkat campur tangan Sukrasana, adiknya yang buruk rupa.
Generasi milenial yang belum memiliki kedewasaan berpikir lebih cenderung mengakses budaya-budaya pop yang menyuguhkan kemewahan, hedonisme, pergaulan bebas daripada memperdalam kecintaan terhadap budaya bangsa yang mengajarkan nilai-nilai keutamaan. Mereka lebih mengagumi kepopuleran bintang-bintang korea dan segala tindak-tanduknya. Mereka tidak mengenal watak-watak ksatria, watak andhap asor punakawan yang tetap merendah walaupun sebenarnya memiliki kemampuan yang luar biasa, meskipun wayang dapat dengan mudah diakses melalui dunia maya. Ironisnya, beberapa generasi milenial Jawa mengalami kesulitan dalam berbahasa Jawa, kesulitan dalam mencerna atau menginterpretasi nilai-nilai budaya Jawa, yang berujung pada penurunan etika mereka kepada generasi yang lebih terdahulu.
Kebanyakan remaja hari ini tak mampu mengambil manfaat perkembangan teknologi dengan baik. Bagaimana tidak, segala kemudahan yang ada dalam teknologi inilah yang terkadang membuat penggunanya menjadi dilema. Bagi yang tak bijak menggunakan teknologi maka bisa berakibat fatal. Selain menurunnya etika pada diri remaja milenial yang berdampak pada sikapnya dalam kehidupan sehari-hari, tidak berlebihan jika hal-hal yang berkaitan dengan kemajuan teknologi juga menjadi sebab terjadinya tindakan-tindakan amoral generasi milenial. Misalnya, tawuran antar sekolah yang tidak jarang memakan korban jiwa, narkoba, tindakan asusila, dan tindakan kriminalitas lainnya. Sejatinya, teknologi bersifat fungsional. Artinya, memiliki segudang manfaat. Namun permasalahannya hanya terletak pada sisi pengguna dan bagaimana cara penggunaanya. Maksudnya, bila digunakan untuk hal yang baik maka ia akan bermanfaat. Begitu pula sebaliknya. Penggunaan teknologi dalam hal yang tidak baik akan berdapak negatif pula bagi penggunanya.
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa diperlukan titik persinggungan antara budaya tradisional yang membentuk karakter unggul masyarakat pendukungnya dengan kemajuan teknologi yang semakin cepat. Selain itu diperlukan dukungan generasi terdahulu terhadap generasai milenial agar mereka mengenal budaya dan memiliki karakter yang unggul, pembentuk generasi yang memiliki jati diri dan bermanfaat bagi kelangsungan hidup bangsa.
* Sedang belajar menulis, tinggal di Bojonegoro
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Semoga wayang selalu hidup dan dilestari di hati rakyat. salam
Terima kasih, aamiin
Semoga nilai luhur wayang dapat di adopsi dalam kehidupan remaja kita agar mereka terbebas dari jeratan smart phone yg menumbuhkan rasa apatis, individual, dan ketergantungan.
semoga Pak Leo, dan generasi milenial semoga juga mau mengenal wayang melalui smartphone mereka