Jejak Menulis di J Hotel

J Hotel. Singkat namanya. Namun tak singkat kumencarinya. Setibanya di Ngurah Rai, kumenunggu Bude sekitar 35 menit. “Sik Nduk…siang gini macet,” katanya saat menghubungiku. Maklum aku mendadak memberitahukan keberangkatanku. Tepatnya, saat di ruang tunggu, aku baru meneleponnya.

Bertemu Bude adalah bonus bagiku. Kunjungan ke Pulau Dewata kali ini, selain akan mendapat banyak ilmu, juga dapat silaturahmi. Selama tiga kali Idul Fitri, aku tak bersua dengan beliau. Hanya berkomunikasi by phone aja. Sampai-sampai, beliau menawariku, “Ayo, selesai bimtek, mau keliling kemana, tak anterin, mumpung di Bali,” ungkapnya melepas kerinduan.

Hampir sekitar seperempat abad tinggal di Kuta, tak membuat Bu De hafal seluk beluk kota tujuan wisata ini. Kami sudah lewati Haris Hotel dua kali bolak balik belum ketemu juga. Tanya sana sini belum cukup. Yah, mbah Google lagi jadi referensi. “Walah, tiba’e ndik kene,” kelakarnya saat menemukan hotel ini.

Di antara rombongan Jawa Timur, aku lah yang berangkat sendiri. Bukan maksud apa-apa, karena kebetulan bareng kakak yang mau ke Pulau Dewata juga. Sejak Jum’at, WA tiem buku Jatim dah ramai. Ya, informasi keberangkatan, janjian ketemu di bandara, hatta informasi tentang tunjangan sertifikasi dan impassing. Komplit deh. Bravo, Bu Ana, Ketua IGTKI Provinsi Jatim.

Hingga akhir acara pembukaan, rekan-rekan Jatim belum muncul juga. Kebayang, lelahnya mereka kena delay hampir satu jam katanya. Aku pun sabar menunggu kedatangan mereka di lobby. Tiba-tiba, sebuah taksi parkir. Satu per satu turun. “Ibu, darimana?” sapaku. “Malang,” jawabnya dengan ramah. Tebakanku tak meleset. Welcome, East Java’s team are coming.

Mengikuti brainstorming saat pembukaan bimtek literasi, membuatku berkesimpulan sederhana, “Kuterjebak jadi penulis,” batinku. Hadeuh… bagaimana caranya. Sama sekali tak punya pengalaman menulis populer, apalagi menulis buku. Tapi, ku tak perlu melanjutkan keluhan. Yah, justru, itu jadi alasan mengapa aku berada di sini. Berada di sekitar para penulis sekelas Bu Atik Ngawi, yang sudah punya 12 buku, duuh ciutnya nyaliku. Tampaknya, wise word “All Beginning is difficult,” sangat pas buatku saat ini. But, what should I do? Jawabannya muncul tadi pagi. Video Pak Tjandra sungguh menggugah hatiku. Pantas, peribahasa “Guru Mati Meninggalkan Buku,” disematkan padanya.

Video inspiratif kedua, seekor monyet yang awalnya penuh keraguan untuk melompat, akhirnya berhasil memotivasi anjing yang ketakutan di belakangnya menjadi survivor. “Lompatan,” itulah yang menurutku kunci kesuksesan. Kubertanya pada diriku sendiri, “Sejauh apa lompatan apa yang bisa kulakukan? Kuniatkan dalam hati, kubulatkan dalam tekad, dan akan kuwujudkan dalam karya. Pemateri-pemateri sangat antusias menjadikan kami menjadikan guru plus. Guru plus penulis. Semoga aku istikamah di jalur ini.

J Hotel awal kumenulis. Judul asliku mengawali tulisan ini. Aku ‘pasrah’ bila Mas Eko, Sang Pemimpin Redaksi Media Guru, akan mengubahnya menjadi lebih menarik. Tepatnya, aku bersyukur dan berterima kasih telah mengedit tulisan amatir ini. Tapi jujur, aku deg-degan, entah seberapa besar “dosa-dosaku” sebagai penulis pemula akan terungkap.

Well, whatever will be, kusampaikan terima kasihku pada P4TK & PLB juga IGTKI. So special occation. Dapat ilmu, teman, dan layanan. Gratis lagi, pulang pergi. Untuk rekan-rekan baruku semua, selamat berkarya! Salam Literasi!