safitri

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Nyanyian Secangkir Gerimis

Nyanyian Secangkir Gerimis

Nyanyian Secangkir Gerimis

Catatan Subuh 06.00 WIB tepat 3 hari sebelum vaksin

Orang-orang menjadi aneh di sekelilingku, dadanya terdapat tanda silang berwarna merah dan di wajahnya berbekaran bunga-bunga kamboja. Daunnya gugur seperti ketika terakhir kali aku menziarahi nisan ayahku sendiri. Waktu seperti berhenti berdetak lalu membuat peta nasib di sekeliling garis pantai ini. Seorang Bugis kulihat merapatkan kapalnya lalu menjauh dari matahari yang sebentar lagi akan menjadi bola api raksasa barangkali akan tenggelam ke dalam larutan logam yang maha luas. Kemana orang-orang itu, agaknya, mereka semakin merapat untuk meyatukan garis-garis muka mereka.

“ Sebentar lagi langit akan meruntukan hujan, menghujam pantai ini, hujan akan menjadi beling-beling yang akan menancapi setiap tapakmu, lekaslah nak…!”

“ Menjauhlah dari pantai ini…!” seru seorang tua kepadaku, aku menurut saja wajahnya seperti tergambar wajah seorang ayah menggumpalkan rindu kepada anaknya.

Malam merambat, orang-orang seperti mengucapkan selamat tinggal, melambaikan tangannya yang penuh lambang dan warna-warni kepada senja yang terpenggal lalu jatuh sendirinya. Aku tahu tidak lebih dari setahun lagi akan ada vaksin gratis. Celakanya lagi orang-orang tersebut seperti menuding aku, penghianat terbaca dari mulutnya. Apa mereka tidak tahu bahwa aku juga punya nenek moyang yang sama dengan mereka. Dalam paru-paruku cendawan semakin beranak pinak, nafasku sesak, obat pemberian dokter terakhir untuk membunuh cendawan tersebut telah habis dua hari yang lalu. Pucuk-pucuk cendawan menjalar melalui batukku, lalu putik-putik bunganya gugur di mulutku.

“ Hei, sudahkah kau menyerahkan NIK untuk divaksin??” Tanya seseorang yang tiba-tiba saja sudah berdiri di depanku. Aku kaget bukan kepalang.

“Ini hari terakhir pendaftaran bung, besok tutup. Kalau mau segera isi formulir ini, lalu syarat-syaratnya boleh menyusul besok atau lusa ditunggu paling lambat seminggu lagi!”

Aku diam mematung, paru-paruku semakin rimbun saja oleh hutan cendawan, akarnya menyerobot mencengkram tanah-tanah, terasa ada yang meliliti ulu hati dan jantungku tapi aku tak peduli. Seseorang di depanku menyerahkan sebuah formulir entah dari mana aku jelas tidak tahu. Aneh seperti ada sebuah perintah gaib yang menyuruh tanganku untuk menerima kertas yang sodorkannya itu. Sungguh itu di luar kehendakku sendiri, aku tak memerintahkan tanganku untuk menerimanya, sekali lagi maaf, ini bukan kehendakku.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen cerpennya, Bunda. Salam literasi

22 Jul
Balas

I receive that form. Cerpen yang luar biasa.

23 Jul
Balas



search

New Post