Senyum Hitam Si Cipa
Ia bernama lengkap Rifa Maulia Rahmi. Itulah nama yang disebutnya sewaktu memperkenalkan diri di depan kelas. Ia berasal dari Pasilihan, sebuah kampong yang jauh di ujung timur kota ini dengan letak yang sulit di akses dan ditempuh. Semua kelas riuh, mendengar namanya yang indah itu. Memang nama itu merupakan nama aslinya, tetapi aku atau kami sekelas lebih senang memangilnya cipa. Singkat, mudah diingat, mudah juga mengucapkannya dan tentu lebih akrab di telinga. Ia hanya melemparkan senyum tipis ketika nama kecilnya itu kami sematkan. Wajahnya bulat oval, berjilbab dengan kulit sawo nya yang bersih. Penampilan fisiknya kontras dengan teman-teman sekelasku yang lain yang berwajah melayu. Ia cukup kikuk dan malu di hari pertamanya itu, sungguh ia menjadi pusat perhatian semua mata di kelas kami.
Sudah sebulan lebih ia menjadi bagian di kelas kami, tidak ada tanda-tanda kemajuan dari temanku itu. Ia masih menutup diri asyik dengan dirinya sendiri. Barangkali cuma senyumnya yang tak pernah lekang tertuju manis ke arahku. Aku kikuk dibuatnya. Aku membalas senyumnya, lagi-lagi cuma membalas, tak ada sedikitpun keberaniannku untuk menyapanya, apalagi sampai ngobrol dengannya. Aku berusaha mencari-cari kesempatan lain dan bahan obrolan yang menarik dengannya, tetapi lagi-lagi aku belum mampu, perjuanganku masih belum berhasil.
* * * * *
Senin minggu kedua di bulan Agustus, upacara pagi terasa lain. Aku ingat, hari itu sekolah kami menggelar prosesi peringatan kemerdekaan. Aku melihat semangat nasionalisme yang menyala-nyala di matanya, cipa temanku. Ia begitu menghayati setiap pelaksanaan prosesi upacara. Beberapa anak usil berusaha menggodanya tetapi ia sama sekali tidak menggubrisnya. Ketika detik-detik pengibaran bendera merah putih dan paduan suara sekolah mengumandangkan lagu Indonesia Raya, air matanya jatuh. Aku semakin penasaran dan juga seperti ikut merasakan keharuan.
Upacara yang khidmat itu tiba-tiba saja ternoda akibat oleh ulah sekelompok anak-anak nakal yang berbaris di ujung barisan kelas kami. Mereka tetawa cekikan, berkelakar dan jelas-jelas menganggu kosentrasi yang lainnya. Pak Harman guru Bahasa Indonesia kami dan beberapa guru lainnya berusaha mengamankan kegaduhan kecil itu. Lagi-lagi anak-anak itu tak peduli. Aku memperhatikan cipa geram akan tingkah pongah anak-anak itu. Ujung matanya terus dengan tajam memperhatikan anak-anak nakal itu. Nafasnya semakin sesak turun naik, Wajahnya memerah, tangannya mengepal kuat-kuat, urat-urat tangannya mengeras. Aku tahu ia pasti benci sekali dengan ulah anak-anak itu.
Menjelang upacara usai tiba-tiba saja Cipa maju ke depan podium, merebut pengeras suara. Semua mata tertuju padanya tanpa ada yang bisa berbuat apa-apa, termasuk guru-guru kami, kejadian itu begitu cepat, tanpa ada yang dapat mencegahnya.
“Kalian tahu ini tidak main-main, sunguh keterlaluan kalian!” Ia menunjuk ke arah anak-anak yang meribut tadi. Ia merebut perhatian semua mata.
“Kalian tahu ibuku, ayah dan kakakku mati demi membela merah putih ini, banyak saudaraku yang gugur demi merah putih ini, aku rela kawan. Tapi aku tidak rela jika merah-putih dan upacara ini diolok-olokkan. Jika kalian masih saja berolok-olok lagi, aku Rifa Maulia Rahmi demi darah ayahku, demi darah ibuku, aku tidak akan segan-segan memberi pelajaran untuk kalian!” Nadanya meninggi dan mengancam sambil telunjuknya menghunus ke arah anak-anak yang rebut tadi. Nyali mereka terlihat kecut.
Ya anak baru kemaren sore itu, si anak baru itu ternyata membuat ciut nyali setiap siswa. Semua mulut terkunci, semua mata tertegun. Semuanya hening, terpukau dengan kata-katanya. Temanku Ical yang semula tiada pernah dikenal sekarang mendadak menjadi pusat perhatian, menjadi bahan pembicaraan di sekolahku, bahkan menjalar santer ke sekolah tentangga.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kisah yang sangat menginspirasi sebuah pengorbanan diri yang tak akan terbayar oleh apapun....salam literasi dan sukses selalu bunda Safitri
Basionalisme yang kuat. Luar biasa cerpennya.