Safrida Lubis

Seorang yang belajar dari membaca dan mendengarkan...

Selengkapnya
Navigasi Web
Awal Kisah Sang Pendamping Haji Lansia #8
Ka'bah, impian semua muslim agar dapat menuju kesana

Awal Kisah Sang Pendamping Haji Lansia #8

Bukan menjadi suatu mimpi, saat saya harus dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa Allah masih memberi saya kesempatan untuk dapat kembali ke tanah air bersama dengan orang tua (mamak) setelah melaksanakan haji dan umrah pada tahun 2016. Karena sebelum keberangkatan, saya telah mengikhlaskan diri ini apabila dapat tinggal di dua kota suci itu walaupun hakikatnya tidak lagi bernyawa.

Memiliki kenangan dalam melaksanakan ibadah haji, menjadikan relung hati saya bercahaya dan selalu mengingatnya serta berbagi cerita kepada mereka yang bertanya. Akan tetapi, manakala saya teringat akan sebuah goresan “Yang terucap akan lenyap, yang tertulis akan abadi,” maka hati saya kembali bimbang, apakah tetap menyimpan kenangan ini untuk sendiri atau akan saya bagikan kepada orang lain? Dan, dari sinilah keberanian itu muncul.

Butuh keyakinan besar untuk saya mulai menuliskan paragraf demi paragraf. Perasaan was-was selalu muncul manakala saya telah menata kalimat yang akan saya goreskan di depan komputer, rasa takut kalau-kalau tulisan ini nanti terkesan menggurui, atau apalah yang menjadikan niat itu padam dan saya kembali membiarkan halaman yang telah terbuka dalam keadaan mandul. Hingga akhirnya setelah meminta restu dan doa dari mamak atas apa yang ingin saya lakukan, pada tanggal sembilan maret, empat bulan setelah kepulangan dari perjalanan haji itu, maka saya memulai dan terus menulis hingga tulisan itu rampung di bulan yang sama pada tahun berikutnya.

Inilah sambungan tulisan itu...

8. Masa Pemantapan

Ruangan aula tempat dilaksanakan kegiatan manasik haji dan umrah itu belum terisi penuh. Beberapa peserta atau mungkin panitia masih memilih berdiri di depan pintu. Sebagian dari mereka ada yang berdiri dan beberapa orang terlihat duduk sambil bercerita.

Setelah menyerahkan surat undangan kepada salah seorang panitia, saya menggenggam jemari mamak dan menuju ke dalam.

“Ida, jangan di depan ya. Kita pilih tempat duduk di belakang aja!” bisik mamak sambil sedikit mengeratkan genggamannya.

Saya hanya menoleh dan kembali memperhatikan kursi-kursi yang masih kosong di bagian belakang. Setelah berjalan melewati beberapa lorong, kami kemudian duduk pada kursi deretan keempat dari belakang.

Saya membuka lembaran jadwal yang baru saja diberikan. Tertera jelas di sana bahwa kegiatan ini akan berlangsung selama tiga puluh kali pertemuan. Materi manasik yang akan diberikan adalah kebijakan pemerintah, dasar hukum pelaksanaan ibadah haji dan umrah, macam-macam umrah, miqad, rukun, wajib dan sunat haji dan umrah, pengertian ihram, niat dan larangannya, tawaf umrah, Hajar Aswad, rukun Iraqi, rukun yamani, rukun sami, makam Ibrahim, Hijr Ismail, Multazam, Sa’i, tahallul, wukuf di Arafah, mabit di Muzdhalifah, mabit di Mina, melontar jumrah Ula, Wustho dan Aqobah, tawaf Ifadha, tawaf wada’….” belum selesai saya membaca semua materi yang akan di berikan pada tiap pertemuan, seorang panitia telah memberikan salam pertanda kegiatan akan segera di mulai.

Sebagian besar kursi hampir terisi penuh. Seorang panitia menghampiri mamak membawa daftar hadir yang harus di tandatangani. Saya mengambil lembaran tersebut dan melihat kepada bapak yang tadi membawanya. “Mamak saya tidak bisa menandatanganinya pak, mata mamak tidak nampak, saya aja yang absen boleh kan pak?” kata saya yang langsung di balas anggukan beliau.

Setelah panitia tersebut menjauh dari deretan kursi kami, mamak memiringkan wajahnya kekiri dan bertanya, “Ngapain bapak itu Da?” tanya mamak.

“Kasi lembaran absen untuk ditandatangani mak,” jawab saya yang kemudian membuat posisi duduk mamak kembali seperti sediakala.

Tidak banyak hal yang dapat saya lakukan selain duduk dan mendengar penjelasan dari para tutor yang menyampaikan materi. Begitu juga dengan mamak dan peserta lainnya. Sesekali secara bersamaan dengan para peserta lainnya, saya mempraktekkan bacaan-bacaan do’a untuk memperlancar dan berusaha untuk mengingat.

“Haji itu adalah sebuah ibadah kepada Allah. Ibadah haji sudah di laksanakan dari ajaran nabi Ibrahim. Akan tetapi seiring waktu dan masa terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaannya. Tujuan tawaf yang dahulu diajarkan oleh nabi Ibrahim lillahi ta’ala, berpaling maknanya menjadi lillatta dan Uzza yang merupakan berhala-berhala sembahan kafir Quraisy. Salah satu diutusnya Rasulullah adalah untuk memperbaiki kesalahan pelaksanaan haji yang telah berlangsung sekian lama. Perjalanan haji Wada’—haji perpisahan, oleh Rasulullah adalah tuntunan yang selanjutnya diriwayatkan sebagai tata cara/manasik haji.”

“Rasul bersabda: ‘Ambil olehmu tata cara/manasik haji dariku’ dengan demikian para sahabat yang ikut pada haji Wada’ bersama Rasulullah dan meilhat pelaksanaannya, menuliskan serta meriwayatkan tata cara haji yang dilaksanakan Rasulullah,” kata Ustad Thabri—salah seorang tutor menjelaskan.

“Selain itu juga, ibadah haji mempunyai tiga syarat yang harus dipenuhi, yaitu sehat, memiliki harta yang halal; ada yang di bawa dan ada yang ditinggalkan, serta memiliki ilmu. Pelaksanaan ibadah haji semata-mata hanya karena Allah, sehingga memiliki makna bahwa amal ibadah yang kita lakukan adalah sebagai hadiah kepada Allah guna mendapatkan keampunanNya, kesucian dari jiwa kita dan mengharap keridhaan Allah SWT. Ridha Allah adalah do’a yang harus dilaksanakan dengan jiwa dan tubuh yang bersih, dan juga ibadah yang sempurna. Hati yang bersih itu jauh dari sifat angkuh, sombong, takabbur dan riya. Jadi Bapak/Ibu jangan bawa TAS ketika berangkat haji nanti ya! Kecuali tas yang akan diberikan pihak penerbangan. Apa itu TAS Bapak/Ibu? yaitu: Takabbur, Angkuh dan Sombong,” pesannya kemudian yang di sambut gelak tawa peserta manasik.

***

Labbaikallaa hummalabbaik…

Labbaikalaa syariikalakalabbaik…

Innalhamda wanni’matalakawalmulk laa syariikalak

Gema talbiyah, sawalat dan doa merambat disetiap dinding ruangan. Keteduhan suara yang sarat makna merontokkan keangkuhan setiap hati yang ingin kembali kepada Allah. Beberapa bulir air mata menggelinding di pipi kemudian meluncur pecah berserakan di lipatan jilbab hitam yang saya kenakan. Saya membiarkan pipi saya tetap basah dan menatap wajah mamak di samping. Dalam pandangan yang sedemikian dekat ini, saya tidak perlu khawatir mamak akan memperhatikan laju air mata saya yang menganak sungai, karena pandangannya tidak akan nampak. Terlihat di pipinya yang mulai disinggahi lipatan pada kulit, air mata mengalir dengan pelan disana.

Ini adalah pertemuan yang kesekian kali, sehingga saya tidak perlu lagi melihat tulisan dari bacaan-bacaan talbiyah, salawat dan do’a. Menyelami makna dari apa yang terucap menambahkan getar tersendiri di sanubari.

Setelah beberapa saat kemudian, kembali seorang Ustad menyampaikan materi. “Bapak/Ibu yang di rahmati Allah, dalam pelaksanaan ibadah haji ini ada tiga panggilan yang menjadi dasar seseorang melaksanakan perintah tersebut, yaitu: yang pertama panggilan nabi Ibrahim ‘alaihi salam, yaitu panggilan untuk melaksanakan ibadah secara sempurna sebagaimana yang dikehendaki nabi Ibrahim ‘alaihi salam, hal itu mengarahkan kita kepada pendekatan diri kepada Allah sesuai dengan firmanNya dalam An-Nur ayat 40, yaitu menjalankan perintah Allah sesuai dengan petunjuk dan cahayaNya. Sedangkan pelaksanaannya harus di lengkapi dengan tubuh yang suci dari hadas dan najis serta pakaian halal lagi baik. Yang kedua, adalah panggilan syaitan, yaitu panggilan yang tetap dikerjakan, akan tetapi melenceng dari panggilan Allah dan RasulNya, karena dalam pelaksanaannya ada terselip dusta, sombong karena banyaknya harta dan angkuh karena jabatan, dan panggilan syaitan ini yang membuat haji kita tertolak atau hajinya mardud. Yang ketiga, adalah panggilan Allah, kita memposisikan diri sebagai tamu Allah, sehingga segala hawa nafsu yang membuahkan dosa akan mampu sekuatnya kita redam. Kesalahpahaman, tidak enak tempat atau makanan atau hal lain selama menjalankan ibadah, tidak akan mengurangi persentase kita untuk terus meningkatkan ibadah kepada Allah SWT.”

Kemudian Ustad tersebut menjelaskan beberapa keadaan jika keberangkatan terjadi pada gelombang pertama dan gelombang kedua sampai waktu jeda untuk beristirahat diberikan oleh pendamping dari tutor pembicara.

“Dek, sebenarnya lebih enak kalau kita berangkat pada gelombang pertama lho!” kata seorang Ibu di samping kiri saya sambil memasukkan sedotan pada minuman gelas yang telah disediakan panitia.

Saya hanya diam, mencoba mencerna pemahaman beliau tentang kata ‘enak’ tersebut sambil menikmati kue.

“Udah lima tahun ini Aceh terus dapat keberangkatan gelombang yang kedua, mungkin tahun ini kita juga akan dapat gelombang kedua,” jelasnya kembali.

“Memangnya kenapa kak, kalau gelombang kedua?” tanya saya memuliakan beliau yang telah memanggil saya adek lebih dahulu.

“Iya, kita jadi terburu-buru, tidak santai, karena sudah dekat musim haji. Gelombang kedua kan langsung ke Mekkah! Seperti kami dahulu. Sedangkan yang berangkat gelombang pertama turunnya di Madinah.”

“O, kakak udah pernah berangkat ke haji ya!” tanya saya.

“Alhamdulillah sudah, beberapa tahun yang lalu! Ini pergi yang kedua kalinya.”

Saya mengangguk-angguk kecil dan mencoba menghabiskan kue pada gigitan terakhir. Seorang ibu di depan membalikkan badannya dan bergabung dalam pembicaraan saya dan kakak di sebelah saya.

“Betul Ri, gelombang pertama yang berangkat punya waktu lebih untuk ibadah di Masjidil Haram, karena saat terbang langsung menuju Madinah, disana selama sembilan hari lalu berangkat menuju Mekkah dimana kloter ­lain belum ada yang sampai, pasti Ka’bahnya sepi, jadi enak sekali kalau kita tawaf.”

“Kloter itu apa kak?” tanya saya yang memang belum mengerti.

“Itu lho dek, kelompok terbang, tergantung pesawatnya, ada yang tiga ratus orang atau empat ratus orang sekali terbang. Kalau pesawat Boeing lebih banyak lagi muatannya dek, sampai sembilan ratus lebih,” jelas kakak di sebelah kiri saya yang di panggil Ri.

Saya menyeruput air mineral dan tenggelam dalam lamunan. Riuh rendah suara para peserta dan panitia manasik mengapung di permukaan gendang telinga dan menghilang. Bila nanti berangkat pada urutan gelombang pertama, maka setiap jamaah calon haji nanti akan mempunyai banyak kesempatan untuk melaksanakan ibadah, bertaubat dengan mendekatkan diri kepada Allah, memperbanyak shalat-shalat sunat dan menggaungkan dzikir dan do’a di hati sebelum musim haji tiba, baik di Mekkah maupun Madinah. Tapi, ah.. sama saja, gelombang kedua juga mempunyai waktu yang cukup untuk melaksanakan seperti halnya jamaah gelombang pertama, hanya saja waktunya sedikit terburu-buru memang untuk persiapan umrahnya.

Setelah menimbang-nimbang hal yang mengganggu pikiran, saya mendapati bahwa ada hal yang dapat kita selesaikan sendiri masalahnya dan ada juga yang tidak pernah kita temui titik ujungnya kecuali menunggu sampai kepastian itu datang dengan sendirinya. Pada ujung hal yang demikian, kembali dinding hati bertalu-talu menyeru sang pemilik ‘Ya Allah, mudahkanlah urusanku, pilihkanlah keadaan yang terbaik menurutMu bagi diriku. Apakah berangkat pada gelombang pertama atau harus berangkat pada gelombang kedua.’

***

Minggu ini adalah jadwal praktek kedua dari enam praktek yang telah dijadwalkan. Pakaian dan jilbab putih menghiasi para jamaah calon haji yang telah memenuhi sebuah tempat manasik yang dilengkapi dengan Ka’bah dan tempat sa’i buatan.

“Da, mamak duduk disini aja ya!” pinta mamak saat panitia mengarahkan semua peserta manasik untuk mengambil posisi berada di dalam baris kelompoknya masing-masing.

“Iya,” jawab saya sambil melirik kesana kemari mencari sosok tua lain yang tidak bergabung juga untuk melaksanakan praktek tawaf dan sa’i bersama para jamaah. “Mamak duduk di situ aja mak, sama Ibu itu,” saya menunjuk seorang ibu yang bersandar tidak jauh dari tangga menasah.

Setelah membantu mamak bangun dan mendekati seorang ibu yang saya tunjuk, maka saya bergegas menuju kelompok yang telah berbaris dari tadi.

“Mamaknya tidak ikut jalan?” tanya seorang jamaah kepada saya.

“Enggak Bu! Mamak tidak sanggup kalau berjalan jauh,” kata saya yang membuat Ibu tadi menggangguk pelan.

“Tapi disana nanti mamaknya harus ikut jalan dek, jalannya pun jauh-jauh lho! Atau dorong pakai kursi roda aja. Mamak berangkatnya sama siapa?”

“Insyaallah sama saya, tapi belum pasti juga, karena saya diusulkan sebagai pendamping,” jelas saya pelan.

“Iya, mendingan di dorong pakai kursi roda aja!”

Saya hanya tersenyum hambar. Merencanakan apakah mamak harus pakai kursi roda atau tidak memang sudah terlintas di benak saya. Tetapi, ketidakpastian posisi keberangkatan saya mendampingi mamak menjadikan saya tidak berani merencanakan sesuatu secara berlebihan. Walaupun sudah terlintas, jika memang nanti saya bisa berangkat, maka kursi roda akan saya siapkan sesampainya di sana saja.

Panitia sudah menyerukan kelompok satu untuk berjalan sambil bertalbiyah diikuti dua, tiga dan seterusnya. Kata panitia, kelompok ini masih bersifat sementara, disebabkan data keberangkatan yang sesungguhnya belum sepenuhnya valid. Saya melihat satu persatu anggota kelompok pada regu dimana nama saya dan mamak ada di dalamnya, ada beberapa orang anggota kelompok yang berusia di atas lima puluh tahun dan semuanya masih sanggup berjalan kecuali mamak.

Matahari mulai meninggi manakala putaran tawaf telah kami selesaikan satu persatu. Bagaimana nanti kalau mamak tawaf ya? Apakah saya mampu membawa beliau mengelilingi Ka’bah dengan situasi orang yang tidak sedikit?. Saya terus membatin disela lantunan do’a yang diajarkan saat melakukan tawaf.

“Disana nanti kita mana bisa lihat buku dek! Orang-orangnya padat sekali, bisa-bisa kita jatuh tersungkur. Kalau udah jatuh, kita tidak akan bisa bangun lagi. Malah kita bisa terinjak-injak,” jelas seorang Ibu yang melintas tanpa saya tanya.

Saya melirik jamaah lain yang masih dalam putaran tawafnya. Masing-masing mereka sama seperti saya, memegang sebuah buku catatan pemberian panitia dan terus melafazkan do’a untuk tiap putarannya.

Sambil terus mengikuti arus gerakan jamaah yang berkeliling dengan Ka’bah di sebelah kiri, saya tersenyum dan berkata kepada si Ibu, “Kita coba aja dulu Bu, kita mohon pada Allah semoga dimudahkan apa yang akan kita perbuat, karena saya harus lihat buku, biar bacaanya sesuai dan saya lupa dengan putaran keberapa yang sudah di jalani, tapi kalau saya lihat buku, disana sudah tertulis putaran keberapa, jadi tinggal kita ikuti saja.”

“Pakai biji musabah juga bisa dek, atau pakai karet gelang,” jelas Ibu itu kembali.

Saya hanya tersenyum. Saya tidak ingin memperpanjang perdebatan untuk hal yang nyata kebenarannya, terlebih lagi untuk hal yang saya belum ketahui hakikatnya. Biasanya saya lebih memilih untuk diam. Maka, kembali hanyut dalam bacaan tawaf adalah pilihan selanjutnya.

***

“Mamak ada tanya sama ibu Arifin kemarin Da, katanya susah kali disana kalau kita udah tua, karena kemana-mana jalannya jauh-jauh, naik turun tangga lagi,” kata mamak saat saya menjenguknya.

Berjalan jauh adalah hal yang mustahil bisa mamak lakukan mengingat kondisinya sekarang. Sudah hampir lebih sepuluh tahun mamak mengkonsumsi obat rematik karena kedua kakinya sudah sulit untuk dibawa jalan. Selama ini hanya berjalan beberapa meter saja, beliau harus kembali memegangi kedua lututnya dan kemudian mencari tempat untuk duduk sebentar. Setelah beristirahat sejenak menahan sakit, baru kemudian bangun dan berjalan kembali. Seperti itulah selanjutnya.

Ibu Arifin adalah tetangga mamak yang tahun kemarin baru pulang dari haji. Mungkin pengalaman beliaulah yang diceritakan kepada mamak saat mereka bertemu.

“Tapi nanti insyaallah mamak pakai kursi roda, jadi tinggal didorong aja!” kata saya.

“Iya, siapa yang dorong? Ida? Huh… Ida kan anak perempuan. Itulah ya, mamak maunya Bang Mul—abang saya yang kedua, yang dampingi mamak berangkat, tapi dia sendiri belum nyetor uang haji!” keluh mamak yang membuat saya terdiam lama.

“Atau mamak tunda aja Da, nggak usah berangkat, nanti aja tunggu berangkat sama-sama dengan Zakir!” kata mamak kemudian.

“Iya mak, kalau nanti mamak masih panjang umur, kalau tidak! Rugi kan, seperti yang dibilang sama Pak Nardi. Jadi sekarang ini memang udah jatah mamak untuk berangkat, yang lain nggak usah dipikirin. Masalah Ida yang bisa dampingi mamak, terima aja, tapi do’akan Ida biar kuat menjalaninya nanti.”

“Mamak khawatir aja, apa Ida sanggup! Soalnya Ida perempuan, berapalah besar tenaganya,” jelas mamak kembali.

“Masalah sanggup atau tidak sanggup, Ida juga nggak bisa menjawab mak!” jawab saya dengan kalimat yang tertahan di kerongkongan.

Ah… mamak, dahulu juga seperti ini. Mendapati bahwa diam adalah pilihan saya dalam banyak hal, menjadikan mamak harus terburu-buru berucap sesuatu sesuai dengan apa yang dipikirkannya.

Padahal, pilihan diam yang saya ambil adalah karena pembelajaran yang diajarkan oleh keadaan. Usia sekolah yang saya kecap dimulai lebih dari tujuh tahun, menjadikan saya ditolak beberapa sekolah dasar dengan alasan sudah lewat usia dan memiliki postur badan yang besar. Usaha almarhum ayah saya yang mencari sekolah selanjutnya yang mau menerima saya untuk menjalani indahnya pembelajaran akhirnya berhasil. Mungkin karena puasnya masa bermain, maka dikala telah masuk dalam kegiatan belajar, saya semakin mencintai kegiatan tersebut. Ada guru, ada buku, ada hal baru yang bisa saya jumpai, menjadikan saya lebih memilih memperhatikan sesuatu. Terlebih lagi didalam keluarga, hanya saya anak mamak satu-satunya yang mendapatkan pendidikan berkelanjutan dari dasar sampai dengan sarjana. Berbeda dengan anak mamak yang lainnya. Berbagai faktor menghampiri sebagai alasan bagi mereka untuk tidak sekolah. Dari keterbatasan ekonomi sampai permintaan sendiri yang memang tidak mau melanjutkan sekolah lagi.

Mendapati sifat saya yang diam dan tidak banyak bertutur sapa, suatu saat pernah mamak mengemukakan perasaannya, “Kalau Ida seperti ini, mana mungkin mamak mau tinggal sama Ida saat mamak tua nanti!” jelasnya kala itu.

Mendengar mamak bernada tinggi, seperti biasa saya diam dan membatin, “Ya Allah, pilihkanlah keadaan yang terbaik bagi diriku.” Karena saya memang tidak mengetahui bagaimana keadaan saya dimasa yang akan datang.

Beberapa tahun kemudian, kehadiran Ibu suami saya yang pulang pergi dari rumah saya selama bertahun-tahun menjawab pinta saya, bahwa ini keadaan yang terbaik. Kehadiran mamak mertua, Allah pilihkan untuk menepis perasaan mamak. Dan, kehadiran waffa kecil menjadikan mamak saya bersama-sama tinggal di rumah yang sama dalam kurun waktu tertentu.

Allah maha halus, bila kita meminta padaNya dengan kelembutan dan kita menjauhkan diri dari rasa angkuh mengetahui hakikat akan sesuatu hal, maka Dia akan mendengarkan.

Mendengar kecemasan mamak akan kelemahan diri saya untuk mendampingi beliau berangkat haji, kembali hati ini membatin, “Ya Allah, Kalau benar aku yang engkau pilih untuk mendampingi orangtuaku, maka mudahkanlah urusanku dan berilah aku kekuatan untuk menjalaninya.”

***

“Filosofi dan hikmah dalam pelaksanaan haji diantaranya adalah kain ihram dan tawaf. Kain ihram yang berwarna putih merupakan warna evose yaitu sebuah titik awal yang bermakna menihilkan segala sesuatu. Setelah memakai pakaian ihram, maka pangkat yang disandang dan jabatan yang melekat pada diri semuanya tidak ada sama sekali, hal itu menandakan bahwa kita bukan apa-apa dan juga bukan siapa-siapa di hadapan Allah. Seorang bayi yang baru lahir dikatakan berada pada titik evose, demikian juga bagi tubuh manusia dalam keadaan mati, sudah menjadi mayat. Jadi, tujuan atau orientasi kehidupan yang sebenarnya adalah mencari ridha Allah bukan lagi sebuah prestise sebagai harga diri secara sosial di masyarakat.”

“Filosofi yang kedua dari sebuah kain ihram adalah menunjukkan kepasrahan total kita kepada Allah. Sebuah kepasrahan selayaknya sebagaimana kita baru dilahirkan, belum bisa mencari makan dan minum sendiri dan hal lainnya. Akan tetapi karena kasih sayang Allah yang dipancarkan melalui ayah dan ibu sehingga timbul kasih sayang merawat anak dan sebagainya. Adapun wujud kasih sayang yang ditampilkan tersebut tiada terbatas.”

“Para Jamaah yang dimuliakan Allah, filosofi yang ketiga dari sebuah kain ihram bermakna bahwa dalam menjalankan ibadah, kita tetap fokus diri dan meletakkan hal-hal yang berbau duniawi serta menekan sifat egoisme dan sangat di tuntut kesabaran yang luar biasa dalam menghadapi cobaan-cobaan yang datang selama berihram. Bukankah cobaan-cobaan yang besar akan melahirkan nila-nilai besar dalam diri kita?” kata seorang ustad pemateri menjelaskan.

“Bagaimana halnya dengan tawaf? Mengelilingi Ka’bah dari titik Hajar Aswad ke rukun Iraqi, rukun Syami, rukun Yamani dan kembali ke Hajar Aswad, merupakan aplikasi dari teori genggaman ibu jari, dimana sebuah ibu jari menunjukkan arah gaya pada pelaksanaan tawaf sementara keempat jari lainnya adalah arah dari orang-orang yang melaksanakannya. Jadi Bapak/Ibu, kegiatan orang yang melaksanakan tawaf adalah melahirkan energi cahaya di dalam diri manusia itu sendiri. Demikian lagi halnya dalam jumlah tawaf yang harus dikerjakan, yaitu tujuh kali putaran mendeskripsikan bahwa jumlah tersebut sudah mencapai batas maksimal, karena dalam tradisi bahasa arab, tujuh adalah bilangan tertinggi dari seluruh bilangan.”

“Lalu bagaimana dengan keberadaan posisi Ka’bah yang selalu berada disebelah kiri? Dalam ilmu fisika, arah gerakan dari tawaf adalah berlawanan arah dengan jarum jam. Gerakan yang berlawanan arah dengan arah jaruh jam akan menghasilkan energi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan arah sebaliknya. Posisi Ka’bah di tengahnya yang sekarang ini diketahui sebagai pusat medan magnet bumi juga mengartikan bahwa ada penyebutan dalam alquran tentang pintu-pintu langit dalam pengertian jamaknya adalah beberapa atau banyak pintu, akan tetapi terdapat sebuah pintu di bumi, hanya satu pintu dan pintu itu adalah Ka’bah. Jadi, apabila di ‘Arsy malaikat tawaf, maka di bumi tawaf itu berada di Mekkah, yaitu di Ka’bah.”

“Para jamaah yang dirahmati Allah, filosofi tawaf selanjutnya bermakna bahwa islam mengajarkan agar umatnya hidup dalam keadaan yang dinamis atau terus bergerak. Pergerakan yang dilaksanakan tidak terlepas dari Allah sebagai tujuan. Intinya, setiap gerak yang dilakukan selalu dihiasi dengan dzikrullah, ingat kita akan Allah SWT. Secara hakikat, dinamis juga bermakna mencapai sebuah keseimbangan secara sempurna, terpenuhinya semua hak-hak hamba, yaitu hamba kepada Allah dan hamba kepada hamba.”

Saya mendengar penjelasan dari pemateri hari ini dan berpetualang dengan pikiran terhadap apa-apa yang telah disampaikan. Sekilas saya memperhatikan para peserta yang tenggelam dalam dunianya masing-masing. ‘Ah, mungkin ini bukan hal yang baru menurut beberapa dari mereka. Pertemuan yang hampir berjalan dua bulan memberi saya pengetahuan tentang sebagian mereka yang telah melaksanakan ibadah haji, dan perjalanan haji bulan Dzulhijjah nanti adalah perjalanan yang kedua, ketiga atau bahkan ada yang ketujuh kalinya,’ saya berkata di hati.

Akan tetapi, berada diantara mereka semua, merupakan kebahagiaan tersendiri karena saya berada diantara orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar saat berada di dunia ini, yang mendapatkan panggilan untuk bertamu mengunjungi Baitullah, Ka’bah di Mekkah. Bertemu dengan para tamu Allah yang terpanggil hatinya untuk kembali mengunjungi Ka’bah karena kerinduan yang besar, mengingatkan saya kepada penjelasan seorang tengku pada pengajian yang saya ikuti.

“Dalam beribadah tidak ada istilah tunggu-menunggu, yang diperintahkan Allah adalah bersegera kepada ampunan dan rahmat yang disediakan Allah bagi orang-orang yang kembali kepadaNya. Contohnya shalat, apabila telah masuk waktunya dan azan berikut iqamah telah dikumandangkan, maka shalat wajib untuk segera dilaksanakan walaupun hanya seorang imum sendirian saja yang berada di dalam Mesjid. Tidak ada istilah imum itu tunggu beberapa saat lagi, siapa tau ada orang lain yang datang sebagai temannya shalat. Iya kalau ada yang datang, kalau tidak! Demikian juga dengan ibadah haji, tidak ada istilah larangan ‘si polan jangan pergi lagi menunaikan ibadah haji, nanti orang lain tertunda keberangkatannya!’ hal tersebut sebenarnya tidak perlu dilakukan! Menahan keinginan ibadah seseorang dengan alasan apapun adalah tidak benar dalam agama. Seorang presiden sekalipun, apabila terlambat dalam shalat dan mengharuskan dia untuk berdiri pada shaf paling belakang, maka dia harus rela, tidak ada istilah memberikan jalan kepada presiden tersebut untuk posisi shaf terdepan dengan cara merusak seluruh bagian shaf yang lainnya,” kata tengku tersebut dengan tegas.

Saya kembali melirik seorang bapak yang berada dibangku depan dan terpisah dua baris dari tempat saya duduk. Berbeda lagi halnya dengan beliau yang mengikuti manasik haji ini sebagai persiapan untuk dirinya yang belum tau entah kapan jatah keberangkatannya. Akan tetapi karena keinginannya yang kuat untuk segera berangkat haji, maka sudah beberapa kali beliau terus mengikuti manasik haji walaupun statusnya tidak jelas. Rasa lelah tidak terbias di wajahnya, walau selama mengikuti manasik, beliau selalu ditemani tongkat penyangga tubuhnya yang digunakan setelah terserang penyakit stroke.

“Ya Allah, sungguh! NikmatMu yang manakah yang sanggup aku dustakan,” saya berucap lirih.

Terima kasih telah membaca : )

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post