Safrida Lubis

Seorang yang belajar dari membaca dan mendengarkan...

Selengkapnya
Navigasi Web
Kisah Sang Pendamping Haji Lansia #12
Tunggu kaki ini di sana...

Kisah Sang Pendamping Haji Lansia #12

Sebelumnya saya telah menceritakan tentang persiapan kami, dan kini... silahkan di nikmati kelanjutannya!

2. Batas penantian

Manasik umrah dan haji telah berakhir minggu lalu. Walau beberapa kali regu yang telah dibagikan mengalami pergantian nama-nama, tapi saya tetap merasa senang, karena hampir semuanya saya kenal. Hal ini juga mengingatkan saya bahwa hanya mamak peserta yang dalam keadaan sakit.

Keperluan untuk keberangkatan haji mamak juga sedikit demi sedikit sudah terpenuhi, demikian juga dengan perbekalan saya. Walau terasa lampu merah masih menghadang di depan jalan, tetapi kesabaran selalu saya tanamkan agar hati ini tidak mengalami keguncangan.

Allah maha mengetahui segala rencana…

Dikala hati ini belum mengetahui ujung dari sebuah keputusan akan kebenaran saya untuk bisa berangkat mendampingi mamak menunaikan ibadah haji, pekerjaan lain menanti di depan mata. Saya harus menyiapkan segala berkas untuk pengusulan pangkat yang telah tertunda bertahun-tahun dalam waktu yang telah ditetapkan. Tidak bisa ditunda. Terlebih lagi rencana perjalanan haji saya yang belum pasti memberikan efek pada pengusulan masa cuti yang harus segera diselesaikan.

Berlapis-lapis persoalan yang berkunjung dikehidupan saya belum menemukan titik terang. Akan tetapi kehadiran bulan Ramadhan beberapa hari lagi mendinginkan suasana hati.

Ya Allah, Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah, berkahilah segala usahaku dalam menjalani kehidupan didunia ini,’ bisik saya lirih.

***

Matahari belum bersinar. Selepas sahur, saya shalat subuh dan bersiap mengerjakan urusan hari ini. Ramadhan hampir berada dipertengahan. Dan sepagi ini belum ada aktivitas yang berarti di kantor manapun, termasuk di Puskesmas yang menjadi rujukan berdasarkan wilayah tempat saya bermukim. Kendaraan saya terparkir di halaman Puskesmas, dan hanya sepeda motor saya disana.

Sambil bersandar pada bangku di ujung ruangan didepan poli umum, saya memejamkan mata. Terbayang kemarin saat menerima telepon masuk dari Pak Nardi untuk segera melangkah kekantor. Pembicaraan yang terjadi telah menggugurkan kecemasan saya, setidaknya lampu merah yang menghadang telah berganti menjadi kuning untuk sementara waktu.

“Ini tolong difoto kopi dahulu, terus ke Bank untuk melakukan pelunasan setoran dan bawa ini untuk cek kesehatan dan juga segera buat paspor!” jelas Pak Nardi.

Saya menerima bahan yang diserahkan dengan hati berbunga-bunga. Sungguh Tuhan! NikmatMu manakah yang sanggup aku dustakan?

Tanpa banyak bertanya lagi, dalam keberkahan bulan Ramadhan, saya membawa sepeda motor memecah angin mengunjungi beberapa kantor untuk menyelesaikan urusan. Dan hari ini, saya melanjutkan rencana pada tujuan yang terakhir, Puskesmas.

Sesaat saya membuka mata dan melihat satu dua petugas sudah hadir dan memasuki ruangan tempat mereka bertugas.

“Cepat kali kakak datangnya?” kata Eva—perawat yang beberapa waktu lalu bertugas membawa mamak melakukan cek kesehatan, tersenyum dan sambil berlalu.

“Iya,” jawab saya datar.

“Sebentar ya kak,” kata Eva dan kemudian menghilang di balik pintu.

Pak Nardi sudah memberitahu pihak Puskesmas bahwa nama-nama pendamping yang diusulkan sudah disetujui dan dikirim untuk segera melakukan cek up. Sehingga, hari ini adalah jadwal yang telah ditentukan untuk saya.

Menatapi bangku kosong dimana tempat itu merupakan tempat duduk mamak saat menunggu antrian sebelum pemeriksaan, kembali membangkitkan kecemasan hati saya. Masih terbayang beberapa waktu lalu saat giliran mamak diperiksa, seorang perawat bertanya, “Ibu perginya sama siapa?”

“Sama anak saya,” kata mamak sambil tersenyum.

“Sama kakak ya!” tebak perawat tadi melihat saya sambil terus melilitkan alat pengukur tensi ke bahu kanan mamak.

“Insyaallah iya,” jawab saya.

“Kakak belum diperiksa?”

“Belum, saya belum ada perintahnya,” jelas saya.

“Kakak tidak dalam kondisi hamil kan kak?”

Saya berpikir sejenak mengingat jadwal haid dan gejala lainnya, “Tidak, saya tidak hamil,” jawab saya mantap.

“Tapi kalau nanti pas keberangkatan ternyata positif hamil, tidak akan diizinkan untuk berangkat kak!” jelas sang perawat.

Deg… ‘Ya Allah… Apa lagi ini! Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, selama ini tidak ada yang aku lakukan sebagai usaha untuk menunda kehamilan, semuanya berjalan apa adanya. Pada kenyataannya, kehadiran anak pertama juga berbilang tahun. Tapi, masih ada tiga bulan kedepan sebelum keberangkatan dan hal-hal diluar jangkauan mungkin saja bisa terjadi jika Allah mengizinkan. Aduh, kenapa banyak sekali yang harus aku pikirkan dalam waktu bersamaan?’ keluh saya dalam hati.

Eva keluar dari ruangan, “Kak, sini!” panggilnya sambil melambaikan tangan.

Dengan tergesa saya melangkah mengikuti Eva menuju sebuah ruangan. ‘Alhamdulillah, saya dijumpakan dengan orang-orang yang baik dan membantu apa yang menjadi keperluan saya. Baik dari kantor urusan haji, panitia manasik, petugas Bank untuk pelunasan, pengurusan paspor sampai petugas kesehatan yang dipilih, mereka semua sangat besar hati untuk menolong. Semoga Allah juga mempermudah segala urusan mereka,’ doa saya di dalam hati.

***

Ramadhan memang bulan penuh berkah. Bulan turunnya Alquran dan sejuta kelebihan lain dibandingkan dengan bulan lainnya.

Banyak penantian dari usaha yang telah saya jalani membuahkan hasil yang tidak terduga. Mungkin ini merupakan hadiah dari apa yang telah saya jalani dengan sungguh-sungguh. Bukankah banyak kisah dari orang-orang dibelahan dunia yang mendapatkan hasil memuaskan atas kerja keras mereka yang tak kenal lelah? Para sahabat Rasul dengan kepribadian diri yang tangguh, tokoh-tokoh wanita yang mengubah dunia dari sejarah hidup yang telah diukirnya, juga para tokoh ilmuwan dengan beragam penemuan, mereka semua merupakan inspirasi tiada akhir bagi saya untuk terus berusaha sesuai kekuatan yang saya miliki.

Walaupun saya menyadari, apa yang telah saya peroleh sedikit sekali memberikan pengaruh kepada orang lain, akan tetapi keberhasilan atas pekerjaan yang saya lakukan sesuai dengan usaha saya terhadap pekerjaan itu. Kenaikan pangkat saya berjalan lancar dan pengurusan cuti juga tidak ada kendala, semuanya selesai sebagaimana selesainya pengurusan keberangkatan haji saya.

***

Ramadhan telah separuh bulan berlalu, hujan deras yang mengguyur kota menjadikan para jamaah yang telah selesai menyelesaikan shalat isya dan tarawih lebih memilih berdiam diri didalam mesjid dan menunggu hujan reda.

Beberapa jamaah masih terlihat berdiri dibawah tenda yang disiapkan panitia mesjid, sebagian dari mereka mendekapkan kedua tangannya didada dan beberapa orang menutupi kepalanya menggunakan sajadah sambil mengambil langkah siap berlari menembus kawanan hujan yang belum menunjukkan keadaan akan reda.

Disela kesibukan mereka, seketika gelak tawa mereka pecah saat melihat seorang anak kecil yang tadinya sedang berlari-lari dengan beberapa anak seusianya kini mematung pada pancuran air dibawah tenda menahan derasnya air hujan yang kini telah membuat seluruh badannya basah kuyup. Ekspresi riang menerima kucuran air yang deras ditunjukkan sambil memamerkan kepada teman-temannya yang kini mematung menatapnya.

“Lihatlah anak itu, Malam-malam main hujan!” kata seorang ibu sambil menunjuk anak kecil yang kembali berlari-lari diluar tenda dengan riangnya.

Dua orang ibu lain yang duduk disampingnya terlihat tertawa. Salah seorang lalu berkata, “Mungkin orang tuanya nggak tau itu, anaknya udah basah.”

“Iya, anak siapa ya?” tanya ibu yang membuka awal pembicaraan tadi.

Saya tersenyum dan menoleh kepada ibu yang tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaannya yang tepat duduk disebelah saya. Sekilas saya mulai menyapu pandangan pada kawanan jamaah laki-laki di bawah tenda dan mendapati suami saya sedang tertawa juga.

“Sudah lama kali anak itu main hujan, nanti bisa sakit dia,” kata seorang ibu dengan nada mulai cemas, “Anak siapa ya?” tanyanya lagi.

Ada kegembiraan dihati ini bahwa pada tempat yang jauh dari rumah, anak kecil yang kini menjadi bahan pembicaraan mereka masih mendapat perhatian dari orang-orang yang peduli.

“Anak saya buk!” kata saya dengan sewajarnya.

Beberapa ibu memalingkan wajah mereka demi memperhatikan saya.

“Nggak takut sakit anaknya nanti?”

“Nggak apa buk, biasanya kalau sehabis mandi hujan saya urut pakai minyak kayu putih,” jawab saya.

Kembali mata saya menatap sosok kecil yang masih tertawa di bawah air hujan yang mulai kehilangan kapasitasnya. Banyak jamaah yang mulai meninggalkan pekarangan mesjid, demikian juga dengan ibu-ibu yang berada di samping saya. Mereka terlihat berdiri.

Kesunyian perlahan menutupi diri saya dan tidak terasa butiran bening membentuk alur tersendiri dipipi. Ada perasaan yang telah dititipkan oleh hujan dihati saya dan itu berkaitan dengan Waffa.###

Terima kasih sudah membaca : )

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post