Safrida Lubis

Seorang yang belajar dari membaca dan mendengarkan...

Selengkapnya
Navigasi Web

Novel Perdana Tentang Perjalanan Haji (# 7)

Di saat harus memilih sebuah keadaan di antara dua hal, pasti terasa sulit dan penuh pertimbangan. Terlebih lagi, harus meninggalkan orang yang kita sayangi yang dulunya sangat diinginkan kehadirannya. Akan tetapi, jalan pilihan itu harus ada!

Sebuah keputusan

Menikmati senja di depan rumah sambil menemani Waffa bermain mengutip kerikil kecil dan melemparkan kembali adalah pemandangan yang membawa kenikmatan tersendiri. Sekadar melepas kelelahan karena beberapa saat yang lalu saya menghabiskan sore sambil membersihkan halaman samping rumah yang ditanami beberapa batang jagung dan tumbuhan kacang panjang.

Menatap tingkah lucunya membawa kesan miris di dalam hati saya. ‘Ya Allah, dahulu saya memohon kehadirannya untuk memenuhi sebagian cerita dalam lembaran-lembaran kehidupanku, tapi kini setelah kehadirannya nyata, Engkau coba kembali diri ini untuk memilih suatu keadaan yang tidak aku ketahui hakikatnya’ bisik hati saya.

“Mamak dapat surat undangan untuk manasik haji tadi pagi bang,” ucap saya sambil terus menatap tingkah Waffa yang terus bermain dalam dunianya.

“Berarti tahun depan mamak berangkat ya!” suami saya yang baru saja pulang dari kantor dan mengambil tempat untuk duduk di samping saya masih bersandar pada tempat duduknya sambil sedikit menoleh.

“Iya. Siang tadi adek udah jumpai Pak Nardi, katanya adek bisa ikut manasik haji dan umrah terus, siapa tau bisa di usulkan berangkat sama mamak.”

“Ada tanya abang, bisa diusulkan juga apa tidak?”

“Ada, tapi kasus abang nggak bisa diusulkan, karena sekarang ini bukan jatah adek yang berangkat,” saya menjelaskan. “Gimana abang?”

“Apanya?”

“Boleh adek ikut manasiknya?” tanya saya menanti kepastian.

“Boleh, ikut aja, sambil antar mamak, kan perginya bisa sama-sama,” jelas suami saya lagi. “Kapan mulai manasiknya?”

“Udah dari minggu kemarin. Sepertinya kemarin itu pembukaan, seterusnya pertemuan berikutnya tiap hari minggu sampai bulan Mei tahun depan,” saya kembali terdiam. Pikiran saya kembali menerawang jauh, teringat akan lembaran kehidupan yang telah terisi dalam rentang usia yang tak pernah kembali. “Abang, nanti kalau memang adek jadi berangkat haji menemani mamak, Waffa bagaimana?”

“Waffa, ya sama abang.”

Saya berpaling dan terpaku pada sosok wajah disamping. “Nanti, kalau abang ada tugas keluar kota gimana?”

“Ya abang bawa!” suami saya bangun dari duduk dan mendekati Waffa yang berjalan mendekat. “Iya kan nak! Nanti kita pulang kampung berdua waktu hari Raya, pergi ke Banda Aceh, jalan-jalan, kita aja! karena kita sama-sama laki-laki kan!”

Waffa yang terdiam karena di hadang, menatap saya penuh tanya. “Ummi nggak ikut? Nanti Ummi sayang tinggal sendiri,” tatap Waffa yang hampir menangis.

Saya berusaha menjawab pertanyaan Waffa, terhalang oleh suami saya yang kembali memeluk Waffa sambil berkata, “Ummi nggak usah ikut, karena perempuan, nanti kita pulang kampung lihat sawah, tidur di rumah kita yang kecil, wah.. enaknya!” kata suami saya yang langsung di jawab Waffa dengan nada senang, “Iya Abu ya! Nanti Waffa main sama bang Rezki, adek Ufa lagi..” kekehnya senang seketika, berlawanan dengan beberapa menit yang lalu, saat wajahnya menunjukkan kesedihan.

Saya tersenyum dan tidak berniat merubah situasi seperti sekarang ini. Tawa suami saya bersama Waffa merupakan pandangan yang selalu membuat hati ini sejuk. Waffa, ah.. tau apa dirimu nak! tentang keadaan yang sedang Ummi hadapi. Walau pada hakekatnya Abumu mencoba menyenangkan hatinya sendiri dan mengalihkan segala hal yang akan membuatnya lemah dengan cara yang bisa ditempuhnya sebagai laki-laki, tapi Ummi tau ada hal yang pasti mengganggu pikirannya.

***

“Abang, nggak apa kalau adek yang dampingi mamak pergi haji?” tanya saya lagi menyakinkan diri.

“Memangnya kenapa?”

“Kalau adek pergi juga, adek nggak ada mahramnya.” jelas saya singkat.

Suami saya menurunkan letak buku yang ada di genggamannya dan menoleh. “Adek semestinya bersyukur, ada kesempatan yang diberikan oleh Allah menemani mamak untuk pergi berhaji. Niatkan aja bahwa kepergian adek nanti untuk ibadah kepada Allah, membantu orangtua yang sudah uzdur, karena masih ada kesempatan yang diberi. Kalau seperti abang, nggak ada kesempatan lagi berbuat baik kepada orangtua untuk berhaji, karena mamak abang udah lebih dahulu di panggil sama yang kuasa.”

Ada lapisan air yang menghiasi kedua bola mata dan dibendung keruntuhannya oleh suami saya.

“Tapi adek nanti tinggalin abang dan Waffa, gimana?” tanya saya.

Sekali lagi, suami saya menghela nafas berat. “Nggak apa, insyaallah abang ikhlas, adek doakan aja kami sehat nanti. Yang penting, sekarang adek belajar dulu ilmu manasik dengan sungguh-sungguh, karena kalau tidak ada ilmu, rugi aja pergi haji nanti. Insyaallah, untuk mamak dan Abu abang, hajinya nanti di badalkan saja. Abang juga sedang mencari informasi yang pasti tentang badal haji. Karena kalau menunggu abang yang badalkan, belum jelas kepastiannya. Hmm… kalau ada rezeki lebih, adek bisa dari sekarang bilang sama mamak, biar almarhum ayah juga di badalkan hajinya,” kata suami saya.

Saya kembali terdiam. Dentingan jam sangat jelas terdengar mengisi ruangan tengah ini pada malam yang merangkak ke puncaknya. Perlahan saya melangkah ke dalam kamar, menyingkap kelambu dan terpaku menatap wajah teduh Waffa yang terlelap dalam tidurnya. Desahan nafasnya saya biarkan mengusik pipi ini dalam waktu yang lama. Sesaat tubuhnya menggeliat dan berbalik arah kemudian kembali tenang.

Saya merebahkan diri dan menutup mata. ‘Pergi haji…., Ya Allah! Karena kalau tidak ada ilmu, rugi aja pergi haji nanti!’ kata-kata itu terus terngiang di telinga saya. Saya menyadari bahwa diri ini belum sedikitpun mempelajari bab haji secara tuntas. Latar belakang saya yang bukan merupakan santri tetap salah satu pasantren modern atau tradisional sekalipun, menjadikan saya menanam niat yang dalam pada pelaksanaan manasik ini. ‘Saya akan mengikutinya dengan sungguh-sungguh,’ bisik hati saya.

***
DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Lanjut Bu, nanti kita bisa berbagi saya juga sdang membuar buku memoar dengan judul Catatan Hati Menuju Tanah Suci. Salam kenal

31 Jan
Balas

Terima kasih ibu, salam kenal kembali

09 Mar

Keren bunda..salam kenal

31 Jan
Balas

Terima kasih bunda, salam kenal kembali

09 Mar



search

New Post