Kasih Yang Tak Terganti
KASIH YANG TAK TERGANTI
Kisah ini dimulai sejak usiaku menginjak lima tahun. Nasib, umur, dan jodoh memang hanya Tuhan yang tahu. Kita tak kan tahu kapan datangnya kematian, dan begitu pula dengan nasib kita. Tidak akan ada orang yang bisa mengatakan dengan tepat apa yang akan terjadi pada diri kita, bagaimana nasib kita besok, atau sepuluh tahun yang akan datang.
Tak pernah sekalipun terbersit dalam pikiranku bahwa dalam usia yang masih sangat kecil aku harus kehilangan sesosok ayah yang sangat aku sayangi. Betapa cepatnya Tuhan merubah nasib manusia, sampai terkadang aku berpikir bahwa Tuhan tidak adil terhadapku, karena nasibku yang sangat buruk.
Aku terlahir sebagai anak kedua dari dua bersaudara. Kakakku adalah seorang laki-laki yang sangat menyayangiku ( adik perempuannya). Meskipun aku terlahir dari keluarga yang tergolong miskin, tetapi aku merasa bahwa kehidupan keluarga kami sangat bahagia. Begitulah menurut penilaianku. Rasa persaudaraan antara aku dan kakakku sangatlah erat, karena itulah yang selalu ditanamkan oleh orang tuaku sejak kami masih kecil. Usiaku dengan kakakku terpaut hanya tiga tahun. Kakakku lebih tua tiga tahun usianya dariku.
Setiap hari kami lalui dengan saling menyayangi antara satu dengan yang lain. Tak pernah ada rasa iri antara aku dengan kakakku. Semua merasa mendapat perhatian dan kasih sayang yang sama dari ayah dan ibu. Memang, terkadang terjadi perselisihan kecil diantara kami, tapi itu tidak menjadikan hubungan kami semakin jauh. Malah sebaliknya, hubungan kami semakin erat saja.
Masa kanak-kanak aku lalui dengan penuh kebahagiaan bersama keluarga kecilku. Meskipun kami tinggal di sebuah rumah kontrakan yang sangat kecil dan sangat sederhana sekali, tapi kami selalu bersyukur dengan nikmat yang telah Tuhan anugerahkan kepada keluarga kami. Ayahku adalah seorang buruh kebun. Setiap hari ayahku bekerja menoreh getah karet di kebun orang. Dengan mendapat upah setengah bagian dari hasil penjualan getahnya. Sementara ibuku, dia adalah seorang ibu rumah tangga yang sangat pandai dalam mengatur dan memperhatikan kami semua.
Kebahagiaan yang aku rasakan dalam keluarga ternyata tidak berlangsung lama. Aku yang masih berusia lima tahun harus kehilangan sosok ayah yang sangat aku sayangi, seorang ayah yang menjadi pelindung dan penopang keluarga kami. Ayah yang sangat aku cintai, kenapa dia harus meninggalkan kami semua dengan cara yang sangat tragis.
Kala itu, senja hampir tenggelam dalam peraduan. Ayahku baru pulang dari kebun demi mengais rizki untuk keluarganya tercinta. Sesaat setelah sampai di rumah, setelah ayahku minum kopi yang disediakan oleh ibuku, ayahku bergegas pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badannya yang terlihat kucel dan sangat lelah. Baru sebentar ayahku masuk ke kamar mandi, aku lihat dia keluar lagi dan bicara pada ibuku. “ Bu..kenapa airnya tidak keluar? “ Tak tahu pak, dari tadi ibu nyalakan juga tidak mau keluar airnya. Mungkin mesinnya rusak”. Demikian jawab ibuku. “ Coba aku lihat dulu ke sumur ya bu? “ Sudah sore pak, hari sudah hampir maghrib, itu kan masih ada air di bak mandi, bapak mandi sajalah dulu, besok pagi saja dilihat ke sumur”. Saran ibuku kepada bapakku. “ Biarlah bapak lihat dulu sebentar, nanti kalau aku panggil ibu, tolong sambungkan aliran listriknya ya bu? “ Iya pak” Jawab ibuku.
Selang beberapa waktu terdengar suara ayahku memanggil-manggil ibuku dari sumur yang letaknya sekitar duapuluh meter dari belakang rumahku. “ Bu...bu...” Ibuku yang mendengar suara teriakan ayahkupun langsung berlari menyambungkan aliran listrik pada mesin air, sesuai pesan ayahku tadi. Sekitar sepuluh menit lamanya ibuku memanggil-manggil ayahku karena tak ada lagi suara teriakan dari ayahku. “ Pak..Bapak...gimana udah nyala belum airnya? Kata ibuku dari belakang rumah. Karena tak ada jawaban dari ayahku, ibukupun langsung berlari melihat ke sumur. Dan seketika terdengar suara jeritan dan tangisan ibuku dari samping sumur tersebut. “ Bapaaaaaaaaaakkkkkk....” Suara tangis pilu ibuku pecah, memecah heningnya suasana senja itu. Mendengar tangisan ibuku, segera aku dan abangkupun ikut berlari melihat ke belakang rumah. Dan disitu..ternyata aku lihat tubuh ayahku sudah kaku tersengat aliran listrik. Serentak para tetangga yang mendengar tangisan kami datang untuk menolong ayahku. Entah siapa saat itu yang memutuskan aliran listrik dari rumah, sehingga jasad ayahku segera dapat diangkat dari samping sumur tersebut.
Ayahku sayang...ayahku malang...kenapa kau pergi meninggalkan kami dengan cara tragis seperti itu. Kala itu, kami semua menangis...aku yang waktu itu usianya baru menginjak lima tahunpun merasakan kepedihan yang sangat. Betapa pilu hatiku saat itu. Masih terngiang suara ayah berkata kepadaku “ Ul..kita ini orang miskin, ayah tak bisa mewariskan harta benda pada U’ul dan abang, tapi ayah akan berusaha sekuat tenaga agar U’ul dan abang Dani bisa bersekolah yang tinggi. Ayah ingin kelak ketika U’ul dan bang Dani sudah besar, kalian berdua menjadi anak yang sukses, tidak seperti ayah dan ibumu”. Demikian pesan yang ayah berikan kepadaku. Ya...ayahku selalu memanggilku dengan panggilan kesayangannya U’ul, yang sebenarnya nama panjangku adalah “ Lutfiatu Solihah”
Bersambung.............
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar