Saat anak semata wayang sudah lelap tidur , Umar membiasakan diri duduk menyendiri di teras rumah. Sambil ditemani secangkir kopi dan tiga potong roti, ia diam memandang redup lampu teras rumah tetangga. Merenung dan mengingat kembali aktifitas tadi siang, bekerja sebagai pegawai kasar di proyek pembangunan apartemen. Tiba-tiba kursi tempat dia duduk bergoyang keras, menggugah lamunannya, dan hampir saja terpental.

Tak berselang lama terdengar suara dentuman keras. “Grobyak, Krak, Boom”. Sayup-sayup terdengar teriakan minta tolong, dan jeritan ketakutan. Suara itu menghilang tertimbun puing. Umar semakin panik, bangunan sebelah rumah sudah hampir rata dengan tanah, listrik padam. Gelap mencekam. Saat ia hengkang beberapa langkah dari teras, tiba-tiba rumahnya roboh . Ia berdiri kaku, shok. “Anakku!” teriaknya.

Dengan sekuat tenaga mengangkat bongkahan runtuhan tembok. Berusaha mendapatkan anaknya yang telah tertimbun puing bangunan. Upayanya berhasil walau hanya menemukan salah satu tangan anaknya. Masih bergerak merintih kesakitan. Berharap agar bongkahan besar yang menimbun badannya segera diangkat. “Tolong-tolong, anakku,” berkali-kali ia teriak meminta tolong. Kira-kira seperempat jam bantuan datang. Tangan Umar masih memegang erat tangan anaknya. Badanya sudah terbebas timbunan. Namun tubuhnya sudah tidak bernyawa.