(Tagur ke-28)

Aku memilih duduk ke ruang tengah. Aku tak ingin melanjutkan perdebatan itu. Aku juga tidak punya niat untuk membujuk Ana. Biarkan dia tenang dulu, baru aku akan bicara dari hati ke hati dengannya.

Aku ingat kembali apa yang disampaikan ayahku sebelum aku berangkat merantau. "Seberapa kaya atau melarat pun engkau kelak, orang tua dan saudaramu jangan pernah engkau abaikan. Jika engkau punya rejeki, berbagilah dengan ibu dan saudara-saudaramu. Terlebih jika Ayah sudah tiada!" Demikan kata ayahku.

Pernyataan ayah itu sangat sesuai dengan sikap yang beliau tunjukkan sehari-hari. Walaupun ayah harus memikirkan biaya pendidikanku pada waktu itu, namun ayah tetap membantu Etek Dawiyah yang juga menguliahkan dua orang anaknya. Setidaknya, ayah mencarikan jalan keluar untuk masalah yang dihadapi adiknya itu. Aku belum pernah mendengar ibu bertengkar dengan ayah gara-gara membagi uangnya dengan adiknya. Sebaliknya, aku pun sebenarnya diperlakukan sama oleh saudara ibu. Tak jarang mamakku mengirimi aku uang belanja ketika aku masih kuliah.

"Brakkk!" Sebuah suara membuat aku hampir melompat dari kursi. Sumber suara dari pintu kamar yang dibanting Ana. Sepertinya emosi Ana belum surut.

(Bersbung)