(Tagur hari ke-23)

Dengan penuh rasa percaya diri aku mengendarai motorku menyusuri jalan aspal menuju kampung nenek. Sebelumnya sudah tiga jam aku melewati jalan lintas kabupaten. Ini pengalaman pertama, pergi sendiri ke sana. Tak ada jalan lain kecuali jalan lurus di tengah kebun sawit. Jalan ini ternyata sudah bagus kembali. Sebelumnya, ketika aku pulang bersama bapak ibu, dan kakakku, aspalnya terkelupas, bahkan tidak sedikit ditemui lubang-lubang yang berisi genangan air.

Tak terasa aku sudah sampai di pertigaan jalan. Tanpa pikir panjang aku berbelok ke kiri, ke jalan yang lebarnya masih sama dengan jalan yang baru kulewati. Dari sini, rumah nenek berkisar sepuluh menit perjalanan lagi. Di sini aku mesti lebih teliti agar tidak melewatkan simpang blok rumah nenek. Aku ingat dekat simpang itu ada sebuah SD. Aku sedikit memperlambat laju motorku. Akan tetapi, sudah lebih sepuluh menit berlalu aku belum melihat tanda-tanda jalan ke rumah nenek. Aku pun tidak melihat orang tempat bertanya. Perasaanku mulai bercampur aduk, antara cemas, malu, dan takut. Ah, entahlah! Hari pun mendekati senja.

Aku berhenti ketika ponselku berdering. Ternyata panggilan untuk yang ke tiga kalinya dari bapakku. Aku langsung saja menodong bapak, dengan pertanyaan yang membuat beliau heran. "Hah, apa? Kamu lupa jalan ke rumah nenek? Kalau kamu ke kiri, kamu tentu makin jauh. Lagian kenapa kamu tidak nanya orang? Atau kamu pakai hp-mu, buka peta, gitu? Heran Bapak, sudah mahasiswa bisa juga lupa jalan ke rumah nenek!" Dari seberang aku mendengar gerutu bapakku. Hhh...aku malu sendiri. Segera saja aku berputar mengikuti arahan bapak hingga aku betul-betul sampai di rumah nenek.

****