SAMBAS BARA

SAMBAS BARA Guru SDN Sukaluyu III Telukjambe Timur Karawang...

Selengkapnya
Navigasi Web

RIANI

Anak-anak adalah duniaku, setiap hari memperhatikan prilakunya. Setiap saat ada saja yang membuat aku bangga, aku gembira, aku bersedih bahkan bisa sampai menangis. Tapi inilah sebuah romantika yang membuat aku makin betah dengan anak-anak. Mereka bisa bercerita tentang kesenangannya, kekecewaannya, atau yang tidak disukainya.

Aku selalu bertanya pada mereka, “apa yang kalian tidak suka dari yang ibu lakukan?”. Ini yang membuat aku selalu bisa memperbaiki kedekatanku dengan mereka. Mereka tidak segan-segan untuk bertanya, mereka tidak malu-malu lagi bercerita peristiwa yang membuatnya menyenangkan baik itu kejadian di rumah maupun di sekolah. Sehingga aku tidak harus memerlukan waktu satu tahun aku sudah mengenal anak-anak di semua kelas yang jumlahnya lebih dari 300 siswa.

Suatu ketika aku bertanya pada teman-teman sejawatku tentang keberadaan anak kelas enam yang bernama Robin sudah beberapa bulan tidak masuk, hingga mau ulangan umum mid semester belum menunjukan batang hidungnya. Teman-temannya hanya memberikan keterangan bahwa Robin malas sekolah karena selalu ada di rumahnya. Ada lagi yang mengatakan bahwa Robin tidak boleh sekolah oleh orang tuanya. Aku pikir wali kelasnya mungkin akan lebih tahu dari pada informasi yang didapatkan dari teman-temannnya.

“Bu Yun itu bagaimana Robin sampai saat ini belum juga ada kabarnya?”

“Sudah bu Rin.”

“Oh...bagaimana kabarnya?” Aku penasaran

“Itulah....”

“Itulah bagaimana bu?”

“Kemarin siang pulang sekolah saya ke rumahnya dianter bu Lastri. Robin ada di rumahnya, juga bapa dan ibunya juga ada.”

“Terus bagaimana?”

“Awalnya aku hanya bertanya, kenapa Robin ga sekolah-sekolah?, Robin diam saja. Berkali-kali saya tanya, tapi tetep ga mau menjawab. Eh tiba-tiba Bapaknya menjawab. Katanya si Robin mah mau berhenti, biarkan saja supaya bisa membantu di rumah mencari uang buat makan. Sekolah mah ga ada biaya, katanya sekolah sudah gratis tapi harus beli buku juga. Robin ga mau sekolah karena ga bisa membeli buku LKS katanya, malu sama teman-temannya kalau minjem suka diolok-olok.”

“Oh begitu bu Yun.”

“Ah males aja Si Robin mah, da yang lain juga sama ada yang ga punya LKS tapi tetep mau sekolah.”

“Terus bagimana atuh?” Aku makin penasaran ceritanya.

“Si Robin tetep aja ga mau sekolah dibujuk-bujuk juga. Malah bapaknya jadi marah-marah sampai berkata-kata yang kurang baiklah. Apalagi itu di depan anaknya. Harusnya mah memberi semangat, apa ke supaya si Robin mau sekolah, ini mah malah melarang sekolah.”

“Oh,...”

“Udahlah ga usah diurusin, udah anaknya males bapaknya seperti itu. bukan menerima diajak sekolah, eh malah marah-marah.”

“Terus kepala sekolah bagaimana tindakkannya?”

“Ya kalo ga masuk juga nanti pas UTS mau dikeluarkan, supaya ga mengganggu administrasi, daripada nanti ga diluluskan kan bisa menurangi prosentase kelulusan sekolah.”

“Oh begitu yah... kasihan atuh si Robin teh.”

“Ya bagaimna lagi, da ga bisa dikasihani anaknya juga orangtuanya sama saja.”

Mendengar cerita itu aku miris sekali, aku pikir anak-anak itu pasti memiliki cita-cita seperti halnya aku dulu walaupun dengan keterbatasan materi orang tua.

Setelah aku mendengar cerita dari bu Yuyun kemudian menemui kepala sekolah.

“Ibu maaf, itu Robin kelas enam yang tidak masuk sekolah sudah lama bagaimana bu?” Tanyaku ketika di ruangan Kepala Sekolah.

“Ya sudah dikeluarkan saja, anaknya juga sudah ga mau sekolah. Katanya bapaknya juga melarang sekolah.”

“Ibu maaf sekali, kalo bisa mah atuh jangan dikeluarkan dulu, siapa tahu nanti mau ulum mah mau sekolah lagi.”

“Ya mau bagimana lagi bu Rin, udah kita baikin kalau orang tuanya ga mendukung mah ngapain, bikin pegel hati kita aja. Percuma kita perhatikan juga hanya buang-buang waktu aja dan tenaga” Kata ibu kepala sekolah memberikan penjelasan. Aku hanya terdiam, berpikir bagaimana supaya Robin bisa masuk sekolah lagi.

Hari-hari terlalui dengan penuh kegiatan yang makin padat, di sekolah juga di tempat kuliah. Tetapi Robin menjadi pikiranku yang dalam. Bagimana tidak, ternyata Robin memiliki kisah yang hampir mirip dengan yang aku alamu dulu ketika sekolah dasar harus putus sekolah. Wali kelas, kepala sekolah terkesan diam saja, padahal beberapa hari lagi mau UTS semester dua. Kalau aku bertindak sendiri takut disalahkan, tapi kalau aku ga bertindak Robin pasti ga bakalan mau sekolah lagi.

Diam-diam aku konsultasi dengan Kepala UPTD di Kecamatan, karena aku ingin sekali menolong Robin paling tidak ingin memberi semangat. Tapi sepertinya kepala sekolah kurang mendukung. Aku mengemukakan ide-ide bagaimana cara untuk membujuk Robin supaya mau sekolah lagi dan orang tuanya bisa mendorongya pula.

“Itulah pa, Robin perlu dibujuk supaya bisa masuk sekolah lagi sekarang-skarang agar pelajarannya ga terlalu jauh ketinggalan.” Kataku

“Iya bagus Rin, coba ajah mudah-mudahan Riani mah bisa membujuknya.” Kata Pa Aif, belaiu adalah kepala UPTD di kecamatan.

“Trus bagaimana kalo ga didukung kepala sekolah pa? kan Bapa tau sendiri aku hanya guru honorer, jangan-jangan nanti dianggap mau bikin sensasi saja.”

“Ya nanti bapak bantu, supaya kepala sekolah bisa membantu. Kan ini merupakan kegiatan BP yang bisa diterapkan, mudah-mudahan saja ada hasilnya.”

“Iya atuh pa, tolong yah!” Aku memelas.

Pikiranku sudah bulat. Apapun yang akan terjadi akan aku hadapi. Bahkan orang tuanyapun yang sampai marah-marah pada bu Yuyun ketika berkunjung ke rumahnya, akan aku hadapi serendah hati mungkin.

Waktu ada jam kosong aku menghampiri ibu kepala sekolah di ruangan kantornya.

“Bu.. bagaimana kalo kita bujuk Robin supaya mau sekolah lagi.”

“Bagaimana caranya?”

“Udah ibu ikut aku saja yah, biarin nanti aku yang bicaranya. Mudah-mudahan sama kita mah mau. Insya Alloh bu kalo kita ihlas mah pasti ada hasilnya.”

“Iya sok atuh. Mau Kapan?”

“Sekarang aja bu, mumpung akunya lagi kosong.”

“Sok atuh kalau begitu mah.!”

Tak membuang kesempatan, aku terus mengajak Ibu kepala sekolah untuk membonceng motorku. Tak sampai sepuluh menit aku sudah sampai di depan rumah Robin, setelah dua kali menanyakan di perjalanan meuju rumahnya.

Aku hanya tertegun di depan sebuah rumah, belum bisa berkata apapun. Hanya menatap rumah yang terlihat ga ada siapa-siapa di depan rumahnya. Mungkin ga pantas dikatakan rumah, itu hanya sebuah gubuk yang hanya bisa dipakai berlindung dari panas saja. Kalau musim hujan pasti kebocoran. Atapnya sebagian genting, sedangkan lainnya hanya ditutup dengan karpet-karpet yang kelihatan bocor. Begitu pula dindingnya, semuanya bilik bambu yang sudah renyah, depannya ada bale-bale bambu yang bersender pada tiang bambu yang menopang rumah bagian depan yang sudah miring. Aku sangat miris sekali.

“Bu bener ga ini rumahnya gitu?” Kataku pada ibu sepala sekolah

“Iya mungkin. Tapi sepi-sepi aja yah.”

“Assalamulaikum...”

“Assalamualaikum...” Aku mngulanginya lagi.

“Alaikum slam,...siapa?” Terengar ada yang menjawab di dalam rumah walaupun pelan tapi jelas karena suasananya hening.

Tiba-tiba terdengar berdenyit suara yang membukakan pintu bambu.

“Eh Robin...” Aku menatap Robin sambil tersenyum.

“Oh bu Riani.” Kata Robin kemudain masuk lagi. Tak lamu Robin ke luar lagi sambil membawa tikar dan membeberkannya di atas bale-bale bambu.

“Ibu... Silakan duduk.” Kemudian menyalami aku dan ibu kepala sekolah.

“Iya Rob... ada siapa di rumah?”

“Ada ema bu..”

“Bapanya ada?”

“Tadi ke kebun bu.”

“Iya ga apa-apa.” Kata Robin. Tak lama kemudian ibunya ke luar menghampri. Badannya menggunakan selimut dari kain sarung, wajahnya lusuh sekali. Sepertinya lagi sakit.

“Apa kabar bu? Sepertinya lagi sakit yah?” Kataku

“Iya bu, kepala puyeng dan ini badannya lemes banget.”

“Aduh... ibu tiduran aja atuh yah jangan maksain ke luar!”

“Engga apa-apa bu!. Robin bapa suruh pulang dulu yah dibelakang lagi nyangkul, bilangin ada ibu guru gitu.”

“Ya ma...” Kata robin sambil lari ke belakang rumah.

Selang beberapa menit, bapanya Robin datang. Sebelum sempat bicara aku bertanya duluan.

“Bapa lagi kerja yah? menggangu atuh ya?”

“Eh.. ngga bu biasa saja da tidak ada kerjaan lain.” Katanya sambil mengajak salaman.

“Bapak, maaf saya ke sini sama ibu kepala sekolah mau silaturahmi saja sambil melihat Robin. Karena sudah lama Robin ga pernah ketemu saya di sekolah pa.” Kataku agak panjang.

“Bu guru. Apan Robin mah sudah berhenti sekolahnya juga. Kemarin juga hari apa mah ada guru kelasnya ke sini. Sudah saya jelaskan, Robin biarkan membantu saya di rumah, tidak usah sekolah karena ga bisa beli buku dan ongkos jajannya juga bu. Makan di rumah saja sudah susah bu.”

“Iya pa, tapi saya ingin ngajak Robin sekolah lagi kalo bapa mengijinkannya” Kataku sambil menatap robin yang duduk di sebelah bapaknya. Robin hanya terdiam, sesekali melihat ke ibunya yang nyender di dinding bilik seperti merasakan kepalanya yang sakit.

“Robin mau sekolah lagi yah sama ibu?” Kataku bertanya pada Robin. Robian masih terdiam dan menundukan kepalanya.

“Ga punya biayanya bu, lagi pula sudah ketinggalan pelajaran mungkin karena sudah hampir tiga bulan tidak sekolah. Apalagi sekarang mah emanya lagi sakit nanti tidak ada yang nungguin.” Kata bapaknya Robin.

“Pa, saya sangat kasihan sekali pada Robin kalau ga sekolah. Saya dulu pernah merasakannya pa, diberhentikan sekolah oleh orang tuaku. Setiap hari hanya berharap bisa sekolah, dan hanya memperhatikan teman-teman berangkat sekolah. Sedih sekali. Makanya ketika saya mendengar cerita dari bu Yuyun, guru kelasnya Robin saya sangat ingin sekali bertemu Robin. Saya berharap Robin tidak meraskan kesedihan seperti saya. .... (Cerita ada di Riani 3)” Aku menceritakan pengalaman masa kecilku yang sangat memprihatinkan, hingga tak terasa aku menuraikan air mata di hadapan mereka.

“Robin masih mau sekolah kan?” Sambil menatap Robin yang melirik padaku. Robin belum menjawab.

“Apa perlu ibu jemput ke sini Rob setiap pagi?”

“Tidak usah bu... saya mah gimana bapa sajah.” Kata Robin dengan suara iba.

“Ibu guru maaf, saya mungkin salah mendidik anak saya, saya ga bisa apa-apa. Saya orang miskin bu. Kalau bu guru munkin punya saudara kaya yang bisa menyekolahkan, tapi saya ga punya saudara atau siapa-siapa yang peduli yang bisa membiayainya bu. Maafkan bu guru. Saya pun ingin Robin seperti anak-anak yang lain, tapi keadaan seperti ini ibu tahu sendiri.” Katanya sambil menarik napas panjang. Kemudian berkat-kata lagi.

“Kalau nanti juga sekolahnya tamat seperti kakaknya yang hanya SD ga jadi apa-apa, hanya kerja bangunan. Makanya mending ga sekolah aja sekalian da bekerja begitu mah hanya butuh tenaga, seperti saya mencangkul di kebun walau tidak bisa baca nanam singkong mah bisa.”

“Iya pa, tapi kalau kita sungguh-sungguh pasti ada jalannya pa. Maaf bukan saya membanggakan diri pa, sekarang pun saya bisa jadi guru bahkan kuliah lagi supaya jadi sarjana tapi Alhamdulillah rejekinya ada saja pa. Makanya saya ingin mengajak Robin sekolah lagi. Senin mau ulangan tengah semester dua suapaya Robin bisa mengikuti ulangan. Boleh kan pak?” Kataku menatap bapaknya Robin sepertinya mulai mengerti ke mana arah pembicaraanku.

“Iya terserah Robin bu kira-kiranya bisa engganya.”

“Tadi kan kata Robin bagaimana bapak saja. Kalo begitu mah Robin bisa sekolah lagi yah nanti Senin.” Kataku sambil membagi pandangan pa Robin dan bapaknya.

“Saya takut ga bisa bu kalo nanti langsung ulangan mah, dan saya juga malu sama teman-teman.” Kata Robin.

“Begini Bin kalo kata ibu kamu ga usah malu-malu, teman-teman kamu menunggu kamu sekolah karena kan kamu anak yang rajin di sekolah teh. Apa ibu harus bawa ke sini soal ulangannya supaya kamu bisa ngisi? Karena kalo tidak ikut UTS nanti kamu ga bisa ikut ujian sekolah?” Robin hanya diam. Semua terdiam.

Suara angin siang membunyikan daun-daun bambu yang bergesekan menjadi irama yang harmonis mengiringi kicauan burung burung kecil hinggap di bunga jambu mengisap mektar. Perasaan ada yang lega dalam dada ketika semua keinginanku tercurahkan untuk mengajak kembali Robin sekolah.

Hari Senin ulangan tengah semester akan dimulai. Anak-anak berseragam rapi, di dadanya mengenakan pengenal tanda peserta. Aku datang pagi-pagi karena ingin mengecek persiapan UTS takut-takut ada yang kurang. Aku kebagian tugas untuk mengawasi di kelas enam, yaitu kelasnya Robin. Bel dibunyikan, tanda anak-anak harus masuk kelas tapi harus baris dulu di depan kelas. Anak anak disiapkan, setelah rapi bauru ketuanya menyuruh masuk.

Satu per satu anak-anak memasuki ruangan kelas. Aku menatap satu persatu anak yang masuk, tapi sampai siswa yang terakhir aku tidak melihat Robin.

“Kenapa Robin ga datang?” Kata hatiku

Di ruangan kelas anak-anak sudah duduk rapi menepati tempat duduk sesuai dengan urutan nomer peserta yang ada di ujung meja. Pintu ditutupkan supaya tidak terganggu anak-anak ketika melaksanakan ulangan. Aku menatap kembali satu persatu anak-anak yang duduk, ada satu tempat duduk yang kosong. Aku pikir itu tempat duduknya Robin.

“Ternyata sia-sia saja mengajak Robin sekolah. Ke mana kamu nak, padahal kemarin kamu udah janji mau sekolah lagi, kartu peserta pun kan udah ibu berikan. Mungkin harus ku anter nati pulang sekolah soalnya supaya diisi di rumah” Kata hatiku

“Anak-anak sebelum kita melaksanakan UTS ini, silakan pimpin doa dulu oleh ketua kelasnya yah agar mengerjakannya mudah dan nilai hasil ulangannya baik semua.” Kataku membuka pembicaraan untuk melaksanakan kegiatan UTS setelah yakin anak siap dan tidak ada yang masih di luar. Sejenak anak menundukan kepala setelah dikomandoi ketua kelasnya untuk berdoa.

Terdengar pintu kelas ada yang mengetuk ngetuk. Aku ga membukanya hanya mengiyakan saja, mungkin guru piket yang akan mengantar absen pengawas UTS. Tapi tak juga membukanya. Akhirnya aku berdiri membukanya.

“Ya silakan masuk!” Sambil aku buka.

“Maaf bu terlambat, saya tadi disuruh beli obat dulu untuk ema.”

“Robin... Iya ga apa-apa sok masuk yah. Nanti aja ceritanya supaya ga terlambat mengisinya.” Kataku sambil memperhatikan Robin. Pintu kelas aku tutup kembali.

“Alhamdulillah ya Robii.” Aku bersyukur sekali Robin bisa masuk sekolah. Betapa bahagianya hatiku melihat Robin sekolah lagi. Hilang sudah rasa capeku dan terbayarkan. Kemudaian aku duduk kembali sambil memperhatikan anak-anak yang sedang mengerjakan soal-soal UTS.

Anak-anak hening sambil mengerjakan soal. Aku duduk saja sambil mengisi daftar nilai untuk disi nati hasil UTS-nya. Tiba-tiba terdengar pintu ada yang mengetuk lagi. Aku bergegas dan membukanya.

“Eh Bapak UPTD...” Kataku sambil melihat padanya

“Iya gimana bu Rin Robin teh masuk?” Katanya

“Alhamdulillah masuk pak, itu anaknya yang duduk di meja ke tiga paling belakang dari kanan.” Aku memberikan penjelasan. Kemudian Pak UPTD masuk ruangan melihat-lihat anak ayang sedang mengerjakan soal UTS.

“Bagimana bisa mengisinya?” Kata Pak UPTD bertanya.

“Insya Alloh pa..” Anak-anak serempak mejawab.

“Oh iya.... mana yang namanya Robin?” Pak UPTD bertanya lagi. Anak-anak terdiam. Kemudian Robin mengangkat tangannnya.

“Oh... iya. Teruskan Robin yah ulangannya. Maaf kalau bapak menggangu.” Kata Pak UPTD sambil meninggalkan anak-anak.

“Rin nanti istirahat kumpul dulu yah di kantor sebentar.” Katanya

“Iya pa mangga siap.” Kataku.

Hari ini kebagiaanku bertambah satu lagi, walau hanya sekedar dilihat Pak UPTD karena paling tidak usaha yang aku lakukan atas bantuan sarannya Pak UPTD kini hasilnya aku tunjukan.

Riuh anak-anak ketika sedang istirahat dan bercanda ria. Merka melepaskan kepenatannya, kesusahannya menghadapi soal-soal ulangan.

“.... Ibu-ibu dan bapak guru semua yang saya banggakan, saya selaku UPTD di wilayah ini berpesan jangan sampai ada anak yang berbulan-bulan tidak masuk sekolah dibiarkan saja. Coba lakukan hal terbaik supaya kita tahu apa penyebabnya dan bagaimana penyelesaiannya. Apalagi kalau anak tersebut kelas enam. Karena kalau dibiarkan selain akan menggangu administrasi sekolah juga anak itu akan jadi korban tanpa penyelesaian. Ini contohnya Robin kelas enam, tadi saya lihat ada di kelasnya setelah hampir tiga bulan tidak masuk sekolah. Kenapa harus nunggu berbulan-bulan? Di sini kita selaku guru harus menggunakan hati nurani yang iklas ketika melakukan pekerjaan yang hubungannya sesama manusia ya terutama dengan anak didik kita. Insya Alloh tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan kalau kitanya senantiasa mau dan ikhlas. Saya ucapkan terima kasih ni kepada guru yang bisa membujuk Robin untuk bisa masuk sekolah lagi.” Kata Pak UPTD ketika memberikan pesannya saat pembinaan di ruang guru. Aku hanya tersenyum bangga, karena atas dorongan dan sarannya aku mampu bisa membujuk Robin masuk sekolah lagi.

Semua guru terdiam, hening. ***

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

kepedulian perlu digalakkan. Semangat. Sip Pak

27 Nov
Balas

Semangat slalu

30 Jan

Usaha guri memang harus ekstra ....

27 Nov
Balas

Semangat selalu

30 Jan



search

New Post