Ketika membuka WA saya terpaksa membaca puisi ibu Sukmawati Sukarnoputri, juga Facebook, Tidak ketinggalan Twitter. Pun sama ketika membuka chanel TV semua berita nyaris menghadirkan pembacaan puisi ibu yang merupakan putri Proklamator kita. Diluar kontroversi yang hadir, tiba-tiba banyak yang membuat puisi tandingan. Saya bukan budayawan, Saya juga bukan pemerhati puisi. Dan saya juga jarang membuat puisi. Ada beberapa puisi yang saya tulis di buku harian waktu masih 'sendiri'

Peristiwa ini tiba- tiba relevan dengan kita yang berjibaku membuat buku.

Bukalah laman media sosial hari hari ini. Satu puisi ini memantik api penciptaan dan penulisan puisi. Puisi balasan lahir dengan deras. Bahkan tiba-tiba status, komentar berubah memjadi Puisi.

Tahukah kita, jika seseorang memposting puisi di Lini Masa Medsos mereka maka ia menginginkan orang lain membacanya. Jika ada yang memberi tanda 👍Suka pasti hatinya mekar dua milimeter apalagi kalau ngasih tanggapan super ❤ , pasti tambah 'medok' dan membuat hatinya berbunga bunga.

Ternyata diluar sana begitu banyak yang percaya diri bahwa tulisannya akan diapresiasi. Masak kita yang sudah niat menulis untuk membuat buku kalah dengan mereka.

Saya yakin, saar melihat Ibu Sukmawati meminta maaf , Sebetulnya ia berharap mendapat pujian. Tapi apa daya puisi itu malah menyulut marah mengarah ke SARA. Jadi jika bertemu masalah saat menulis lanjutkanlah tulisannya. sampai menjadi buku. Jangn sampai keluar kalimat : Sebel aku berhenti menulis! Jangan.