Shandi Ismail

Mahasiswa Aktif prodi Hukum Ekonomi Syariah di STAI Haji Agus Salim Cikarang. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Kemarau Spiritualitas dan Krisis Keberagaman.

Kemarau Spiritualitas dan Krisis Keberagaman.

Oleh : Shandi Ismail

(Mahasiswa STAI HAJI AGUS SALIM Cikarang)

Hari ini kita semua sedang masuk di masa yang di sebut dengan "kemarau spiritualitas" Agama menjadi kebutuhan bersandar di era postmodern yang semakin menjauhkan manusia dari nilai-nilai yang di percayai mempunyai kekuatan transenden. Itu artinya agama dijadikan semacam "pelarian" ditengah keterasingan zaman seperti sekarang ini. Orang-orang beramai-ramai, rusuh, riuh dan rendah dalam beragama. Kebutuhan belajar agama semakin meningkat. Tetapi semua realitas yang ada sama sekali tidak merefleksikan dengan ajaran Agama itu sendiri.

Indonesia sekarang ini sedang mengalami ujian yang sangat dahsyat, dimana perbedaan dan keragaman yang ada di Indonesia mengalami kerapuhan. Perseteruan antar masyarakat seakan tidak ada habisnya. Kita tidak dapat memungkiri bahwa Indonesia terlahir dengan ciri khas perbedaan dan keanekaragaman. Mulai dari Kasus Ahok, Cebong, Kampret, Pilpres, Katholik Bawa Anjing ke Masjid, Issue Penghapusan Pendidikan Agama Islam, Perdebatan Corona, Pengeras Suara, dll. Semua di goreng sampai gurih dan dikonsumsi oleh masyarakat dengan begitu sedapnya.

Rata-rata polemik yang terjadi di masyarakat di bumbui oleh issue agama yang sangat sensitif. Ini terjadi karena indikator oversimplification of spiritual journey. Ya, dimana ini merupakan fenomena membatasi parameter standar untuk beragama/taat pada tuhannya. Bisa disebut juga efek dari fenomena “Hijrah” saat ini. Menurut saya bahwa spiritual journey itu hanya bisa dirasakan oleh masing-masing individu dan urusan privat hamba dengan Tuhannya.

Tidak bisa di pungkiri ikon gerakan islam adalah Hijrah. Hijrah adalah ajaran yang paling fundamental dan ikonik bagi umat islam. Yang kita ketahui bersama bahwa hijrah adalah berpindah dari suatu tempat ke tempat lainnya dalam hal yang positif.

Bukan dinamakan hijrah kalo perpindahan itu merupakan suatu tindakan yang tidak baik. Bukan dikatakan hijrah jikalau tidak transformatif. Inti dari hijrah itu sendiri adalah transformasi. Tentu saja di bidang apapun. Jika gerakan yang dilakukan adalah gerakan regresif, itu sama sekali tidak bisa dikatakan hijrah.

Dalam konteks apapun hijrah bisa kita lakukan. Dalam konteks pribadi hijrah bisa digunakan sebagai kerangka untuk framing memperbaiki kualitas diri. Tentu, sebagai elemen terkecil sekaligus terpenting dalam struktur sosial, pribadi yang baik akan terlahir pula tata sosial yang baik.

Hal tersebut kemudian menimbulkan bibit-bibit ideologi islamisme, dimana mereka memiliki sifat yang intoleran, fanatik buta, dan memahami suatu hal hanya berdasarkan satu sudut pandang saja. Dampak dari kesempitan dalam berfikir tersebut melahirkan sikap menolak akan segala keragaman, perbedaan yang sudah terjalin sejak dulu di bumi pertiwi. Lebih parahnya lagi mereka terus menerus menebarkan ideologi-ideologi yang banal di berbagai sendi kehidupan masyarakat.

Pemahaman ideologi yang bisa di katakan radikal itu mudah sekali ditemukan di sosial media. Dimana banyak sekali akun dakwah yang memiliki ribuan bahkan jutaan followers yang banyak sekali diantara merela dari kalangan muda. Mereka memang menargetkan anak muda untuk menjadi kader unggul sebagai objek penanaman kokoh ideologi mereka. Karena yang kita ketahui bahwa pemuda memiliki semangat dan gairah yang tak usah di ragukan lagi, pemuda juga merupakan ujung tombak masa depan suatu Bangsa. Mereka terelalu mematok standar ketakwaan berdasarkan apa yang mereka ambil dari ilmu agama yang tercecer melalui sosial media khususnya dakwah ulama-ulama yang mereka yakini merupakan paling baik dan lurusnya ulama.

“Salah satu tanda akhir zaman adalah adanya orang yang banyak beribadat tapi jahil, dan ulama (ahli agama) tapi fasik (justru menyalahi ajaran agama)”. HR. Ibn, ‘Ady.

Kita tidak pernah tahu apakah kiamat sudah dekat. Tetapi, pada saat ini pikiran kita seakan di paksa untuk berfikir lebih keras. Apakah dengan giatnya kita beribadah memiliki korelasi dengan keluasan wawasan dan keterbukaan pikiran? Malah, seperti dipertontonkan di depan mata bahwa tidak jarang kegairahan dalam beribadah beriringan dengan pemikiran fanatik, mau menang sendiri, dan menyalahi pandangan orang yang berbeda pendapat. Jangan-jangan keberagamaan kita hanya sebatas ketika berada di dalam masjid? Tetapi, diluar masjid tampak nya agama kita tidak tampak dan seakan begitu lenyap seiring keluarnya kita dari masjid.

Di sisi lain, kita selalu harus menerima kenyataan yang buruk bahwa ulama tidak selalu sejalan dengan moralitas para leluhur. Malah, hari ini masyarakat di buat bingung dan bertanya-tanya tentang moralitas para ulama zaman sekarang. Misalnya, banyak ulama yang menjual harga dirinya hanya untuk seonggok harta, jabatan, dan popularitas semata kepada publik atau penguasa. Ini dilakukan dengan materi dan gaya dakwah yang relatif keras, atau dengan membela mati-matian si penguasa politik yang telah memberikan suguhan berupa fasilitas kepada mereka, dan menyalah-nyalahkan lawan si penguasa tersebut.

Sikap tidak elok di lakukan para ulama tersebut dalam gaya dakwahnya yang kemudian menimbulkan keberanian untuk membuat berita hoaks yang memunculkan reaksi nitizen dengan konten berisikan propaganda, unsur makar, bahkan menyinggung SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) merupakan indikator paling kuat untuk menyiramkan dan menyuburkan benih-benih dari sifat takfiri. Yakni, selalu menyalahkan, mengkafirkan, pandangan orang lain, dan hanya pendangan dari golongan yang dianutlah yang paling benar.

"Apakah benar Indonesia saat ini sedang mengalami krisis keberagaman?" itu pertanyaan yang selalu berputar di benak saya saat ini. Hal yang perlu kita sadari sebagai warga negara Indonesia adalah kita hidup dari lahir dengan bergelimang keberagaman. Tetangga kita berbeda warna kulit, teman kita berbeda agama, bahkan dalam satu keluarga memiliki perbedaan tersendiri tentunya. Antara satu dan yang lainnya sudah pasti berbeda. Itu yang di sebut Bhinneka. Keberagaman merupakan suatu keniscayaan. Kita tidak bisa menolak perbedaan. Yang bisa kita lakukan adalah mengolahnya menjadi energi positif dan berguna. Yang bisa kita kerjakan adalah meletakan perbedaan sebagai bahan baku mencari titik-titik persamaan sekaligus mentransformasikan nya menjadi sebuah kekuatan yang positif.

Saya sepakat dengan pendapat yang mengatakan ibarat benda, Indonesia adalah benda yang berbahan baku perbedaan. Ia harus di rajut dan di tenun. Pekerjaan merajut dan menenun adalah tugas kita bersama yang di dasarkan kepada kesadaran kolektif agar kain keindonesiaan itu tidak terkoyak bahkan robek.

Semoga Indonesia ku terbebas dari mereka yang terus meneriakan kebenaran tetapi lupa akan kemanusiaan sehingga bersifat Tuhan yang selalu menghakimi antar sesama.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Tulisan yg inspiratif dan menarik Bpk, tetap semangat utk berkarya. Smg sukses...

07 Aug
Balas



search

New Post