Oleh : Shandi Ismail

(Mahasiswa STAI Haji Agus Salim Cikarang)

Sekarang kita telah memasuki tahun ajaran baru. Dimana dimulai nya kegiatan belajar mengajar di berbagai tingkatan sekolah formal baik SD, SMP, SMA, maupun Perguruan Tinggi.

Pada tulisan saya kali ini, saya ingin lebih memfokuskan kepada fenomena resah nya para lulusan baru setelah kelulusan masa-masa SMA/Sederajat. Dimana mindset kebanyakan masyarakat di Indonesia menganggap bahwa kita di lepas untuk hidup mandiri setelah SMA.

Entah bagaimana kita harus menyikapi era digitalisasi ini seperti apa. Di era ini memiliki banyak sekali sisi yang saling timpang tindih. Terutama pada lingkup sosial media dan jejak digital yang menimbulkan banyak sekali gangguan psikologis yang nyata bagi para lulusan baru.

Gangguan psikologis yang disini berupa kebimbangan para lulusan baru untuk melanjutkan pilihan hidup nya setelah jenjang SMA. Dimana mungkin ada banyak di sekeliling kita tidak lolos ke PTN/PTS yang di inginkan, ingin melanjutkan kerja tetapi belum lolos dan menjadi pengangguran, dan lain sebagainya.

Kebimbangan ini di perparah dengan ada nya sosial media. Dimana, mungkin para teman satu angkatan mereka sudah banyak yang menyebarluaskan akan dimana mereka melanjutkan setelah jenjang SMA/Sederajat, entah itu di PTN/PTS, Kedinasan, Karyawan Pabrik, Usaha, dan lain - lain.

Saya pun merasa setelah waktu kelulusan adalah titik paling hampa dimana ketika melihat teman - teman sudah memajang foto mereka di sosial media dengan twibbon PTN/PTS tempat mereka kuliah, tempat melanjutkan kerja, dsb. Tetapi kita masih berdiam diri di tempat yang sama tanpa ada perubahan. Saya sangat bingung mau memilih jalan hidup yang mana. Kerja kah? kuliah? Atau Gap Year belajar untuk test PTN tahun depan? dan Usaha? Duh... Bimbang sekali.

Sekarang saya sadar bahwa modernisasi mengubah mentalitas para leluhur kita yang memiliki ketegasan dalam mengambil keputusan untuk kehidupan yang lebih baik. Kita stagnan pada mindset bahwa bahwa PTN/PTS ternama adalah representatif dari sebuah kesuksesan. Atau, menjadi karyawan pabrik representatif dari orang yang selalu memiliki uang. Memang, itu adalah salah satu jalan pintas menuju "sukses" Tapi hanya untuk orang - orang yang gigih mencari arti jalan pintas itu di dalam nya.

Kenyataan realita berbanding terbalik kita hanya menjadi pribadi yang stagnan, memiliki sifat imitatif, yang latah meniru jalan keberuntungan seseorang. Padahal kita tidak mampu melek pada batasan potensi yang kita miliki dan melek melihat potensi apa yang harus kita kembangkan.

Alhamdulillah. Sejak kuliah paradigma saya lebih terbuka. Yang awal nya saya hidup dalam intervensi kekhawatiran pemikiran sendiri menjadi lebih luwes, santai, dan dinamis dalam memandang fenomena yang ada.

Semangat teruntuk kalian yang terus - terusan merasa terasingkan, membenci hidup kalian sendiri, sedang berada dalam titik hampa, dan lain sebagai nya. Dinamika dalam hidup itu wajar, yang penting kita harus mengubah momok dinamika disini menjadi sebuah peluang/tantangan tersendiri bagi kita.

Tolong jangan panas dan langsung kebakaran jenggot ketika melihat twibbon mahasiswa baru, seragam dan mesin pabrik, yang bertebaran di beranda sosial media mu! Ketika kamu terlarut dalam kebimbangan hanya merusak mental dan psikis mu secara perlahan. Percayalah, Tuhan selalu punya waktu yang tepat!