Sang_Bima

Manusia Tanpa Bakat Istimewa...

Selengkapnya
Navigasi Web
Berserah Diri

Berserah Diri

Pada suatu siang...........

“Apakah Abang yang sering adzan di mesjid itu?” bertanya seorang remaja terminal kepada pemuda yang baru selesai makan di warung seberang jalan itu.

“Ya, saya,” jawab pemuda itu.

Pemuda baru yang ada di desanya itu memiliki mobil mewah yang terparkir setiap hari depan mesjid kecil dan sepi samping rumah seorang laki-laki paruh baya di ujung desa. Sudah dua bulan pemuda tersebut berada di mesjid, menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim sekaligus menjadi marbot dan muazin, yang sebelumnya dilakukan oleh lelaki paruh baya yang rumahnya samping mesjid itu.

“Tapi Abang juga berteman dengan Mas Iqbal yang di terminal, bukan?” Kembali remaja itu bertanya.

“Ya!”

“Dia seorang pemabuk yang suka main todong. Bagaimana bisa Abang berteman dengan orang seperti itu?” tanya remaja dengan serius.

Dengan tersenyum si pemuda menjawab,

“Tuhan tidak mengharamkan saya untuk berhubungan dengan orang lain. Tuhan malah menganjurkan hamba-Nya agar selalu berbuat baik pada sesama. Itulah yang saya lakukan.”

“Nggak takut, Bang?”, Remaja itu memandang dengan tatapan seorang bocah.

“Takut kenapa?”

“Mas Iqbal itukan orangnya sangar, sadis. Dia nggak segan-segan main tusuk. Kalau dia bilang tusuk, dia akan langsung tusuk. Dia orang yang paling ditakuti disini, kok Abang malah bergaul dengan dia? Masa nggak takut?”

“Tuhan tidak membolehkan kita takut pada sesama manusia.” Pemuda itu menanggapi, “Kita dianjurkan untuk saling mengasihi, saling membantu dan menolong sesama. Bila kita menganggap bahwa orang lain itu musuh, maka kita akan selalu dihantui rasa takut dan kekhawatiran. Saya menganggap setiap orang adalah saudara saya. Kamu pun saudara saya. Nama saya La Rewo, siapa nama kamu?”, pemuda itu bertanya sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman.

“Hali, Bang!”

“Sudah makan?”

“Sudah.”

“Kalau belum makan, makanlah. Nanti saya yang akan bayar.” Ucap La Rewo.

Hali menghela napas. Bola matanya masih tak lepas memandang La Rewo. Wajahnya semakin serius.

“Biasanya,” kata Hali, “Orang-orang yang bermobil dan punya uang seperti Abang enggan untuk melakukan adzan di mesjid. Apalagi menyapu dan membersihkan WC. Umumnya mereka akan pergi bersenang-senang.”

“Tak ada kebahagiaan bagi seorang muslim bila dia tidak menghambakan diri kepada Tuhan,” kata La Rewo menanggapi. “Bila saja kamu pernah merasakan nikmat yang dirasakan oleh seseorang yang melakukan sholat malam, aduh, saya tidak sanggup menggambambarkan bagaimana kenikmatan itu, Hali. Bila saja kenikmatan itu dapat dibagi-bagi seperti seseorang membagi roti, saya ingin sekali membagikannya pada setiap orang agar wajah mereka tak murung lagi, agar jiwa mereka tak kering lagi. Seperti yang kamu tahu,” Lanjut La Rewo, “Tak seorang pun yang membayar atas apa yang saya lakukan di mesjid itu. Saya pun tidak mengharapkan imbalan dari siapa-siapa. Tuhan telah memberi saya segalanya; udara yang tiap hari saya hirup, matahari dan bulan yang saya nikmati, tangan, kaki, mata dan telinga, semuanya. Segala yang ada pada kita merupakan anugerah Tuhan dan sewaktu-waktu akan dicabut-Nya kapan Ia menghendaki. Berapa banyak orang yang mati terbakar hidup-hidup? Berapa banyak yang cacat? Berapa banyak yang mati akibat kelaparan dan lenyap dalam kecelakaan? Berapa banyak hamba Tuhan yang tidak mendapatkan apa yang kita peroleh? Apakah tak layak bagi saya untuk bersyukur? Lihatlah mata saya. Lihatlah muka dan kulit saya.” sambil menatap remaja itu, La Rewo melanjutkan. “Bila kamu melihat orang-orang yang menghamburkan uang buat mabuk-mabukan dan buat main perempuan itu lebih senang dari pada saya, maka temuilah saya. Tunjukanlah orang itu pada saya, saya akan memberimu hadiah.” Dengan tersenyum La Rewo mengakhiri ucapannya dan pergi meninggalkan Hali di warung makan itu.

v

Menjelang Subuh, remaja yang liar itu memasuki halaman masjid. Pribumi malam yang merasa asing di negeri sendiri. Wajahnya lelah. Dipandangnya satu sosok yang tergeletak disana.

“Saya tidak bisa tidur, Bang,” Katanya.

“Tidurlah di tempat dimana kamu merasa nyaman. Ada kamar kosong disebelah kamar mandi.”

“Saya gelisah.”

“Nikmatilah kegelisahanmu.”

“Tidak bisa,” suaranya payah. Matanya memandang lantai.

“Tidurlah, Hali.” tegas La Rewo.

“Saya kepingin, tapi saya tidak ngantuk.”

“Lihatlah tempat wudhu itu,” kata La Rewo. “Sudah lihat?”

“Sudah.”

“Disanalah kita membersihkan tangan dan mulut kita dari perbuatan dan ucapan-ucapan yang kotor. Ditempat itu kita tanggalkan topeng-topeng yang kita pakai. Ditempat wudhu itu hati dan pikiran yang panas diteduhkan. Disanalah kita pelihara akal dan nurani kita. Kesanalah. Pintu mesjid tidak terkunci. Jangan lupa beri salam pada malaikat-malaikat langit.” Kata La Rewo sambil membungkus kembali tubuhnya dengan sleeping bag.

“Tetapi, Bang..., Apakah Tuhan akan mengampuni dosa-dosa saya?”

“Bila Kita beribadah karena mengharapkan pengampunan, maka yang kita peroleh hanyalah pengampunan. Bila kita beribadah hanya karena mengharapkan rejeki, yang kita peroleh mungkin hanya rejeki. Beribadahlah karena rasa syukur dan rasa cinta kepada-Nya. Mudah-mudahan kita tergolong hamba-hamba-Nya yang disukai.”

v

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Orangnya bijak sekali. Jawabannya berisi. Hebat ceritanya.

23 Jul
Balas

La Rewo...sang penginspirasi kebaikan ....mantap

23 Jul
Balas

Mantap.. Menginspirasi sekali Pak Bima, good article

23 Jul
Balas

Mantap.. Menginspirasi sekali Pak Bima, good article

24 Jul
Balas

Semangat juang La rewo untuk membawa orang-orang yang liar dan sesat sangatlah anggun, bahkan Ia ingin saudara-saudaranya berada di jalan yang benar dan bukan jalan orang-orang kafir. Sehingga bocah yang bernama Hali telah sadar akan kata-kata la rewo yang menyentuh titik kebingungan dalam hatinya. Nice Article Pak Bima, ini sangat bermanfaat bagi kami.

26 Jul
Balas

Kebahagiaan menghambakan diri kepada Tuhan

01 Nov
Balas



search

New Post