Sanria elmi

Nama yang diberikan oleh ortu Sanria Elmi Tempat tugas sebelumnya:SMP N 3 Lubuk Batu Jaya kab. Indragiri Hulu-Riau Tempat tugas saat ini: SMP Negeri 2 Lubuk B...

Selengkapnya
Navigasi Web
RAHASIA HATI Episode 46
postermywall

RAHASIA HATI Episode 46

21/12/2020

RAHASIA HATI

Episode 46

Oleh: Sanria Elmi

Perjalanan hidup manusia tidak bisa ditebak, penuh dengan rahasia-Nya. Begitu juga dengan liku hidup yang harus kulalui. Ketika aku merasa lelah dan mengalah dengan takdir, pada saat itu aku bertemu kembali dengannya. Dia yang telah membuatku merasa berarti.

Apakah karena kepasrahanku dengan ikhlas membuatku dipertemukan di tempat yang indah? Hanya Allah yang tahu akan semua rasahasi ini. Hari berlalu tanpa terasa, pertemuanku dengan Mas Warso selama di Madinah hanya sekali di dua lokasi yang berbeda. Pertama di halaman masjid quba dan di jabal uhud. Namun aku tidak pernah sekalipun merasa gelisah atas kenyataan itu. Bukannya aku tak ingin dan bukan pula aku tak rindu, tetapi keikhlasan telah memberikan kesejukan di hatiku.

Seminggu sudah aku berada di Madinah dengan segala ritual ibadah yang sangat spesial bagiku apalagi saat aku berada di Raudhah, rasanya aku benar-benar sedang berada di taman surga. Bershalawat kepada nabi membuatku merasa dekat dan kecintaanku padanya semakin kuat. Dia benar-benar kekasih Allah yang membawa rahmat untuk semua umat manusia.

“Ra, berdoalah di sini, ini tempat yang mustajab. Insyaallah setiap doa yang terlahir dari hati akan diijabah,” kudengar bisikan Buk Aina yang semakin dekat dan akrab denganku.

“Ya Buk,” sahutku lirih.

Aku melaksanakan shalat dua rakaat yang didampingi oleh Bu Aina lalu bergantian. Hatiku benar-benar terasa sejuk, mengalir rasa indah ke seluruh nadiku. Rasanya aku enggan beranjak dari sana meskipun berdesakan dan penuh antrian. Namun waktu yang diberikan sangatlah terbatas sehingga aku dan rombongan yang dipimpin oleh salah seorang ustazah yang telah ditugaskan akhirnya meninggalkan keindahan Raudhah dengan derai air mata haru.

“Ya Allah, kapan lagi aku bisa ke mari?” batinku yang mengundang buncah haru di hati.

“Mbak Misna mana?” tanyaku setelah berada di halaman masjid Nabawi.

“Ada yang tertinggal?” tanya ustazah Mita saat mendengar pertanyaanku.

“Ya ustazah, Mbak Misna belum kelihatan,” sahutku.

“Baiklah, ibu-ibu tunggu di sini saya akan mencarinya.”

“Baik ustazah.”

Malam semakin larut, dingin menusuk ke tulang membuatku menggigil seperti sedang demam.

“Ra, kamu kenapa?”

“Nggak kenapa-napa Buk, dingin, dingin banget.”

“Nggak bawa jaket?”

“Sudah dipakai Buk, tapi dinginnya masih sangat kuat.”

“Begini saja, kita kembali ke hotel. Biar Ibuk kasih tahu kawan-kawan yang masih menunggu Misna.”

“Ya Buk.”

Memasuki Raudhah memang tidak mudah bagi jamaah perempuan, waktunya sangat terbatas. Antrian yang kami peroleh antrian ke sepuluh. Bisa dibayangkan setiap rombongan memiliki lebih kurang empat puluh jamaah, kami antrian yang ke sepuluh menanti 360 jamaah untuk dapat masuk. Pukul 24 lewat kami baru keluar dari masjid. Lelah terasa setelah berada di halaman masjid ditambah dengan kantuk yang menyerang.

Aku sepertinya memang demam, tubuhku terasa panas tetapi badanku menggigil.

“Bu de?”

“Warso, kamu di sini?”

“Ya, Bu de, Rani kenapa?”

“Sepertinya dia demam, Bu de mau bawa dia ke hotel. Kamu bisa bantu Bu de ambilkan air zam-zam buat Rani?”

“Ya, sebentar Bu de.”

Mas warso bergegas menuju tempat persediaan air zam-zam tak lama berselang dia pun kembali.

“Ini Ra, minumlah!”

Aku duduk di dekat tiang halaman masjid menahan gigilku yang makin keras.

“Ra, kamu kuat kembali ke hotel?”

“Ya Mas, tunggu sebentar,” sahutku.

“O ya, Mas bawa ini, siapa tahu bisa meredakan demammu,” ujarnya sembari memberikan sebuah pil yang cukup besar.

“Obat apa ini Mas? Besar sekali,” ujarku.

“Itu obat pereda demam, makanlah.”

“Aku nggak biasa makan obat Mas.”

“Mas potong ya biar mudah menelannya.”

Kulihat Mas Warso membelah pil itu menjadi empat bagian. Mas Warso masih saja seperti yang dulu, penuh perhatian dan selalu kuatir denganku.

“Mas.”

“Ya, apa Ra?”

“Aduh, aku harus ngomong gimana sama Mas Warso kalau aku nggak bisa makan obat,” batinku.

“Gimana War?” tanya Buk Aina.

“Sepertinya Rani nggak biasa minum obat,” sahut Mas Warso.

“Ra, minum dulu setelah itu langsung kamu telan obatnya,” bujuk Buk Aina yang ikutan panik melihatku.

“Aku jadi menyusahkan mereka,” batinku.

Aku meneguk air zam zam lalu Mas Warso memberikan obat yang sudah dibelahnya satu persatu padaku. Akhirnya obat itu pindah juga ke dalam tenggorokanku.

“Pusing nggak?” tanya Mas Warso setelah aku menlan pil darinya.

“Sedikit,” sahutku.

Mas Warso membuka jaketnya dan menambahkannya di bahuku.

“Mas, pakai aja jaketnya, ntar Mas sakit gimana?”

“Kan ada kamu Ra,” sahutnya sembari tersenyum.

“Aku serius lho Mas.”

“Mas juga serius.”

“Ibu-ibu, Mbak Misna sudah di sini, sekarang kita kembali ke hotel, terus istirahat karena hanya ada waktu tiga jam untuk istirahat setelah itu shalat Subuh,” ujar ustazah Mita.

“Ustazah, sepertinya Buk Rani Demam,” ujar salah satu jamaah.

“Sekarang di mana?”

“Itu sama Bu Aina, di sana.”

“Ya udah, kita ke sana.”

“Gimana Buk Rani?” tanya Ustazah Mita setelah berada di dekatku.

“Sudah agak mendingan Ustazah,” sahutku.

“Bisa jalan ke hotel?”

“Insyaallah,” sahutku sembari berdiri yang dibantu Buk Aina dan Mas Warso.

Pandanganku berkunang-kunang, sepertinya aku benar-benar lelah.

“Ya Allah jangan sampai aku sakit, aku ingin menyelesaikan ibadahku,” batinku.

Aku berjalan diapit Mas Warso dan Buk Aina sehingga aku bisa melangkah walaupun kepalaku masih terasa berat. keringat dingin mengucur di dahiku.

“Mas aku mau minum lagi, rasanya tenggorokanku kering,” ujarku.

“Ya udah, kita berhenti dulu.”

Aku, Mas Warso dan Buk Aina berhenti sejenak dan duduk di emperan toko untuk sekedar minum.

“Udah Mas,” ujarku setelah meneguk beberapa teguk air zam zam.

“Pelan-pelan aja,” ujar Buk Aina.

“Maaf ya Buk, jadi nyusahin.”

“Sssst! Nggak boleh ngomong gitu, kan Ibuk dah janji mau jaga kamu,” sahutnya.

“Terimakasih ya Buk, Mas.”

“Ya sama-sama Ra.”

Untung saja hotel kami tidak terlalu jauh, akhirnya kami sampai di depan hotel.

“Bu de, sebentar ya aku mau beli obat buat Rani,” ujar Mas Warso.

“Mas nggak usah, aku nggak mau minum obat,” rungutku.

“Tunggu saja di sini, Mas sebentar kok,” sahutnya.

“Mas,” ujarku.

“Apa?”

“Jangan pil ya.”

“Ya ntar Mas cariin sirup aja,” sahutnya dengan sabar.

Mas Warso meninggalkan kami berdua di depan hotel. Kutatap kepergiannya dengan perasaan tak menentu. Dia begitu perhatian padaku. sama seperti setahun yang lalu.

“Dia masih saja seperti dulu, lelaki idaman,” batinku.

“Ra, kamu lihat gimana Warso perhatian sama kamu. Dia terlihat cemas ketika tahu kamu sakit. Tapi Bu de melihatnya melakukan itu dengan hati. Selama ini Bu de nggak pernah melihatnya seperti itu. Setelah dia berpisah dengan istrinya Wajahnya selalu muram.”

“Bu de, setahun yang lalu saat aku mengenal Mas Warso, dia sudah seperti itu dan saat ini masih sama,” sahutku.

“Itu karena hati kalian menyatu.”

“Ra, semoga kalian benar-benar berjodoh. Sebelum berangkat ke tanah suci ini War itu dingin, nggak punya senyum dan selalu terlihat muram.”

“Apa Mas Warso begitu mencintai istrinya?” batinku.

“War menikah hanya untuk menyelamatkan nama baik temannya,” jawab Buk Aina seolah mendengar kata hatiku.

“Maksudnya apa Buk?”

“Kami sekeluarga kecewa sebenarnya dengan tindakan Warso. Istrinya sebelum menikah dengan Warso ternyata sudah berbadan dua.”

“Mas Warso tahu?”

“Ya, makanya mereka menikah, lalu sebulan kemudian bercerai setelah Warso berhasil menemukan kekasih Lina.”

“Lalu?”

“Lina diceraikan Warso dan menikah dengan kekasihnya.”

“Begitu beratnya beban Mas Warso,” batinku.

“Nah, ini Mas bawakan obat yang katanya manjur buat mengatasi demam,” ujar Mas Warso setelah sampai di dekat kami.

“Mas, aku benar-benar nggak enak nih, ngerepotin Mas Sama Ibuk,” sesalku.

“Udah jangan ngomong begitu, sekarang kita langsung ke kamar dan minum obat ini lalu tidur,” sahutnya.

“Ya Mas, terimakasih,” ujarku.

“Jangan terimakasih terus dong,” sahutnya.

Kami masuk ke hotel dan langsung ke kamar.

“War, antar ke kamar ya,” ujar Buk Aina setelah berada di lift.

“Ya, Bu de.”

“War, Bu de senang lihat kamu seperti ini.”

Mas Warso menatapku mendengar ucapan Buk Aina, aku tertunduk menghindari tatapan matanya.

“Kalian sepertinya sudah sangat akrab, apa rencana kalian ke depan?” tanya Buk Aina lagi.

“Selesai semua ibadah wajib nanti aku akan lakukan sesuatu, doakan ya Bu de, semoga nggak terlepas lagi,” ujarnya.

“Maksudanya? Kalian pernah jadian?” tanya Buk Aina.

“Bukan jadian Bu de, tapi saling punya rasa,” ujarnya mengenang.

“Mas apaan sih?” rungutku.

“Biarkan Warso mengakui semua salahnya,” sahut Buk Aina.

“Ya, Bu de. Aku nyesal sekali tidak bijak dengan bahasa alam,” jawabnya.

“Jadi sudah waktunya kalian pertimbangkan saat ini, pikirkan kebahagiaan kalian dan orang tua.”

“Insyaallah Bu de.”

Aku hanya diam mendengarkan pembicaraan mereka namun hatiku turut bahagia mendengarkannya.

Pintu lift terbuka, aku masih dibantu Mas Warso dan Buk Aina karena kepalaku masih terasa pusing.

“Warso? Kalian kok…?”

Seseorang menegur Mas Warso, dia terlihat kaget dan aku juga terperanjat melihat kehadirannya.

Bersambung.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Perjalanan hidup anak manusia memang menjadi rahasia Ilahi, keren semoga sukses selalu buat Ibu Sanria Elmi

21 Dec
Balas

Terimakasih Pak sudah hadir

21 Dec

Siapakah yg mrnegur mas warso ? Keren banget Bun sukses selalu buat Bunda Aamiin

22 Dec
Balas

Terimakasih Bunda

22 Dec

Kira-kira siapa yang menegur mereka? Ceritanya semakin menarik, Bucan. Semoga selalu sehat dan sukses, Bucan.

21 Dec
Balas

Terimakasih Bu Camtik

21 Dec

Wah bagus banget cerita bunda, next ditunggu kelanjutnya apakah Warso berjodoh dengan Rani ,sukses selalu bunda cantik

21 Dec
Balas

terimakasih Bu Cantik

21 Dec

Siapakah yang menegur mas Warso...mantap say....next.

21 Dec
Balas

Terimakasih Say

21 Dec

Lagunya juga sungguh syahdu

21 Dec
Balas

Semoga terhibur

21 Dec

Nah lho... Siapa ya orang yang menegur mereka... Makin keren dan menarik ibu cantik sahabatku... Ditunggu lanjutannya... Salam santun dan sukses selalu

21 Dec
Balas

Terimakasih sahabatku yang punya seribu diksi

21 Dec

Bagus banget. Ditunggu yah Bu utk episode berikutnya

21 Dec
Balas

Terimakasih Pak Rusman

21 Dec

Cerita yang keren Bu..ditunggu lanjutannya..sukses selalu Bu..

21 Dec
Balas

Terimakasih Bu Cantik

21 Dec

Bagus Bunda

21 Dec
Balas

terimakasih Bunda

21 Dec

Ceritanya semakin keren bunda. Sehat dan sukses slalu

21 Dec
Balas

Terimakasih Bu Cantik

21 Dec

Ceritanya semakin mantab keren. Jadi penasaran lanjutannya, semoga senantiasa sehat dan salam sukses selalu

21 Dec
Balas

Terimakasih Pak Rony

21 Dec



search

New Post