Sanria elmi

Nama yang diberikan oleh ortu Sanria Elmi Tempat tugas sebelumnya:SMP N 3 Lubuk Batu Jaya kab. Indragiri Hulu-Riau Tempat tugas saat ini: SMP Negeri 2 Lubuk B...

Selengkapnya
Navigasi Web
RAHASIA HATI Episode 54
postermywall

RAHASIA HATI Episode 54

30/12/2020

RAHASIA HATI

Episode 54

Oleh: Sanria Elmi

Shalat subuh hingga Duha kulaksanakan tanpa kembali ke hotel bersama Buk Aina. Aku mulai didera kantuk yang luar biasa. Lelah baru kurasakan setelah semua kegiatan wajib umroh selesai terlaksana dengan lancar. Mataku yang masih dapat kutahankan masih berusaha mencari-cari, berharap keajaiban mempertemukan dengan orang yang dicari Buk Aina dan menggelisahkan hatiku.

“Mas, kamu di mana sih? Kenapa belum juga datang?” batinku.

“Ya Rabb-ku, Kau yang Maha segalanya, perkenankan hamba bermohon atas keselamatan Mas Warso. Berikan aku juga Buk Aina kesebaran dari rasa gelisah ini,” haraoku dalam hati.

Baru saja selesai kurapalkan harapanku di dalam hati, antara tertidur dan terjaga, mataku menangkap sosok yang tak berdaya. seperti deretan film yang sedang ditayangkan membayang di pelupuk mataku. Sosok itu tergeletak di antara bebatuan Bukit Safa.

“Mas, Mas Warso, kamu kenapa?”

“Ra … Ra …, bangun! Ada apa?” tubuhku terasa terguncang.

“Bangun Ra, kamu kenapa?” tanya Buk Aina memandangku.

Aku seperti kebingungan, tapi aku tidak merasa sedang bermimpi. Aku benar-benar melihat Mas Warso di Bukit Safa.

“Buk, kita kembali ke Safa!” ujarku bangkit dari dudukku.

“Ya tapi kenapa?” tanya Buk Aina bingung.

“Ibuk masih kuatkan?” tanyaku tanpa memikirkan kebingungannya.

“Ya, Ibuk masih kuat kok,” ujarnya seraya ikut berdiri dan melangkah bersamaku menuju akses jalan yang masih kuhafal menuju Bukit Safa.

Sebelum sampai di Bukit Safa, handphone-ku berdering.

“Arfan!”

“Assalamualaikum. Fan Bantu aku!”

“Ada apa Ra? Jangan panik dong!”

“Kamu sekarang di mana?”

“Aku di depan Ka’bah.”

“Aku menuju bukit Safa, kamu nyusul ya!”

“Ya, tapi ada apa?”

“Sekarang kamu ke sini, nanti aku jelaskan!”

“Ya, baiklah!”

Arfan memutuskan sambungan telepon. Buk Aina hanya bingung melihat kecemasanku. Tetapi dia tidak bertanya apa-apa lagi selain dari mengikuti langkahku menyeruak kerumunan jamaah yang melanjutkan sa’i.

“Ya, Allah semoga kecemasanku hanya mimpi,” batinku.

Tanganku mendingin, di pelupuk mataku masih terbayang sosok yang sangat kukenal terbaring lemah dan tak berdaya, tidak ada yang membantunya.

Aku seolah dituntun dengan gambaran yang ada dalam pikiranku menuju sosok itu.

“Ra, aku di sini!”

Kudengar suara Arfan tidak jauh dariku. Kugamitkan tanganku agar dia mendekatiku. Arfan bergegas menemuiku yang masih menggenggam tangan Buk Aina.

“Ada apa Ra?” tanya Arfan setelah sampai di dekatku.

“Mas Warso,” sahutku.

“Maaf Ra, aku lupa ngabari, setelah kamu nelpon aku sebelum subuh tadi, aku menemui pimpinan jamaah travelnya Warso. Mereka bilang kalau semua jamaah sudah selesai tahalul dan kembali ke hotel, hanya Warso waktu itu juga izin untuk tinggal. Maaf Ra, aku lupa menyampaikan informasi ini.”

“Ya Fan, nggak apa-apa. Sekarang bantu aku menemukannya.”

“Mungkin Warso sudah ke hotel Ra,” sahut Arfan sembari mengerutkan keningnya melihatku.

“Nggak, Mas Warso masih di sini!” jawabku dengan yakin bercampur cemas.

“Kalau begitu kita cari sekarang,” sahut Arfan.

Buk Aina semakin bingung melihat wajahku yang pucat karena cemas. Bagaimana aku tidak cemas, dia terbaring di antara kerumunan orang banyak yang bisa membahayakannya.

Mataku mulai mencari-cari, sesekali aku memejamkannya untuk mengingat arah yang terbayang di dalam alam bawah sadarku.

“Fan, itu!” ujarku sembari mengejar sosok yang kuyakini adalah Mas Warso.

“Ya, Allah! Mas, Mas bangun!” jeritku tertahan.

“Ra, siapa itu?” tanya Arfan yang tidak melihat jelas orang yang kudekati.

“Mas Warso Fan,” jawabku gemetar.

Buk Aina langsung memburu mendekatiku, “Warso kenapa?”

“Buk, Ibuk nggak usah cemas, aku yakin Mas Warso baik-baik saja,” ujarku.

Buk Aina meletakkan kepala Mas Warso di pangkuannya. Arfan terbalak dengan rasa tidak percaya.

“Ya Allah, kok bisa begini?” ujar Arfan.

“Fan, segera cari bantuan!” ujarku mulai berpikir waras.

“Gimana caranya?” tanya Arfan yang juga bingung.

Sementara Buk Aina sudah menangis meratapi Mas Warso yang belum siuman.

“Ibuk, Ibuk jangan nangis, aku kuatir ada petugas yang datang, aku nggak mau terjadi apa-apa,” bujukku.

“Fan, coba hubungi Ustad Ramadhan supaya mengabari pihak travelnya.”

“Ya Ra, baiklah.”

Aku meninggalkan Buk Aina bersama Mas Warso untuk pergi mengambil air Zam-zam. Dengan buru-buru aku membawanya kembali mendekati Mas Warso yang belum juga tersadar.

“Buk, raupkan air ini ke wajahnya, bacakan shalawat, mudah-mudahan dia sadar,” ujarku berbisik.

Aku melihat petugas yang menuju ke arah kami. Aku sangat takut, aku kuatir kalau Mas Warso di bawa ke rumah sakit dan kami tidak bisa bertemu dengannya.

“Fan, lindungi dari pandangan kecurigaan petugas!” bisikku pada Arfan.

“Baik Ra,” ujar Arfan berdiri di belakangku.

Petugas itu akhirnya berlalu dari tempat kami, aku baru bisa bernafas lega.

“Mas, bangun! Aku yakin kamu kuat Mas.”

“Ya Allah, sadarkan dia. Aku mohon padamu yang Maha Kuat,” batinku.

Kuambil air zam-zam dari tangan buk Aina.

“Maaf Buk, Mas Maaf ya!” ujarku lalu membasuh wajah dan kepala Mas Warso dengan air zam-zam.

Kutatap wajahnya yang pucat, aku tidak tahu apa yang menyebabkannya seperti ini. Tapi hatiku sangat yakin akan pertolongan-Nya. Kutunggu beberapa saat.

“Warso, Ra!” ujar Buk Aina ketika melihat Mas Warso menggerakkan tangannya.

“Mas,” ujarku pelan.

Dia membuka matanya yang terlihat berat. Arfan duduk di sampingnya.

“Warso, kamu sudah sadar?” tanya Arfan.

“Alhamdulillah ya Allah, Kau mendengarkan doa hmaba,” batinku.

“Kepalaku masih terasa sakit,” jawabnya terbata.

“Mas nggak usah banyak bergerak dulu.”

Kukeluarkan kurma dari dalam tasku, kuminta Buk Aina menyuapinya.

“Isi dulu perut Mas,” ujarku ketika ia menolak kurma yang disuapkan Buk Aina.

“Mas kenapa?” tanyanya.

“Mas nggak kenapa-napa kok, mungkin Mas kelelahan,” sahutku.

“Mas makan kurmanya ya,” bujukku.

Akhirnya kurma di tangan Buk Aina berpindah juga ke mulutnya.

“Bu de, aku kenapa?” tanyanya.

Buk Aina langsung menangis mendengar pertanyaan Mas Warso.

“Ya Allah, War. Bu De nggak tahu, untungnya Rani cepat-cepat ngajak Bu De ke sini menemukanmu,” ujar Buk Aina sembari sesengukan.

“Buk, jangan nangis,” bisikku yang juga terharu.

Mas Warso berusaha untuk duduk dibantu Arfan dan Buk Aina. Aku duduk di hadapannya memberikan air zam-zam dan kurma.

“Mas nggak ingat kenapa Mas bisa tertidur di sini,” ujarnya.

“Ya udahlah, nggak usah dipikirkan. Yang penting sekarang Mas sudah sadar.”

“Terimakasih ya Ra, Fan.”

Buk Aina melihat Mas Warso sudah terlihat agak segar lalu menceritakan peristiwa yang aku alami hingga bisa menemukannya. Dia menatapku penuh haru.

“Sudah Buk, jangan berlebihan, semua yang terjadi berkat pertolongan Allah,” ujarku.

“War, kamu benar-benar beruntung. Aku awalnya nganggap Rani itu mengada-ada. Dia nelpon aku dengan cemas, jadi aku turuti saja kemauannya. Tapi aku benar-benar nggak nyangka kalau firasatnya benar. Dia yang menemukan kamu di sini,” tambah Arfan.

“Udah ah, jangan dibahas. Aku juga nggak tahu kok.”

“Makasih ya Ra,” ujarnya.

“Ya Mas, berterimakasih dan bersyukurlah pada-Nya. Dia yang menuntunku ke sini untuk menemukan Mas,” sahutku malu.

“Bu de, jadinya gimana ni?” tanyanya.

“Hmm!” gumam Buk Aina sembari menatapku.

“Ada apa sih? Sepertinya kalian ada janjian, tapi Buk Aina nggak mau ngasih tahu aku.”

Aku menjauh dari mereka karena aku tahu mereka ingin membicarakan hal penting yang mungkin memang rahasia.

“Ra, jangan salah paham ya. Insyaallah kamu akan Ibuk kabari tentang hal ini,” ujar Buk Aina.

“Ya Buk, nggak apa-apa kok,” sahutku.

***

Pihak travel Mas Warso datang sesaat setelah Mas Warso merasa benar-benar pulih. Ia baru teringat dan menceritakan awal mula kejadiannya. Ternyata setelah tahalul dia terdorong oleh kerumunan jamaah asing hingga terjatuh dan kepala terbentur.

Pihak travel bertanggung jawab dan mengajaknya pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kesehatan. Aku lega mendengarkannya dan kami akhirnya kembali ke hotel untuk sarapan dan beristirahat.

“Ra, Ibuk nggak tahu harus ngomong apa sama kamu,” ujar Buk Aina setelah tiba di kamar hotel.

“Kenapa Buk?” tanyaku tidak mengerti.

“Peristiwa tadi, Ibuk benar-benar nggak nyangka.”

“Ya Buk, aku juga nggak nyangka.”

Buk Aina tersenyum dan membelai punggungku.

“Sekarang Ibuk semakin yakin, kalau semua memang telah diatur oleh-Nya.”

“Aku nggak ngerti maksud Ibuk,” ujarku.

“Ra, ada sesuatu yang mau Ibuk sampaikan tentang hal yang Ibuk bicarakan sama Warso.”

“Tentang apa Buk?” tanyaku penasaran.

“Besok usai shalat Isya akan Ibuk sampaikan sesuai dengan permintaan Warso di depan Hijr Ismail.”

“Kenapa besok?” tanyaku.

“Sekarang kamu juga lelah kan?”

“Ya sih,” jawabku.

“Semua jamaah besok ngumpul di sana,” ujarnya.

“O, kita mau tawaf sunnah? Kenapa harus bareng? Sendiri-sendiri juga boleh kan?” sahutku.

“Besok saja ya Ibuk sampaikan, soalnya amanah. Sekarang istirahatlah, kamu nggak tidur semalaman jagain Ibuk.”

“Ya Buk, aku memang ngantuk berat,” jawabku.

Aku merebahkan tubuhku, tetapi mataku enggan terpejam.

“Aku mau mandi Buk, biar segar.”

“Nggak apa-apa, itu juga lebih baik,” jawabnya sembari tersenyum.

Aku menuju kamar mandi tetapi batinku bertanya-tanya hal apakah gerangan yang akan disampaikan Buk Aina.

“Kenapa harus di depan hijr Ismail, dihadiri semua jamaah, amanah Mas Warso?” tanya hatiku.

“Ah, sudahlah. Kepalaku pusing mending aku mandi setelah itu tidur menjelang zuhur,” bantah hatiku di sisi lain.

bersambung

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

penuh perjuangan dengan latar haramain, maha suci Engkau ya Allah. Cerita yang inspiratif, lanjut bu hajjah. Salam literasi

30 Dec
Balas

Terimakasih Pak

31 Dec

Keren pisan Cikgu.. Semoga

31 Dec
Balas

Semoga besok bisa mengikuti kisah selanjutnya... Sukses selalu

31 Dec

terimakasih Pak Hans

31 Dec

Keren pisan Cikgu.. Semoga

31 Dec
Balas

Apakah Warso akan melamar Ra besok. Keren bucantik. sehat dan sukses selalu

31 Dec
Balas

He..he..he... Makasih Bu Cantik

31 Dec

keren bun... bukin baper salam sukses selalu

31 Dec
Balas

Terimakasih Bun

31 Dec

Wah, jadi penasaran apa yang akan disampaikan oleh Ibu Aina. Ditunggu kelanjutannya, Bu. Sehat dan sukses selalu...

31 Dec
Balas

Terimakasih

31 Dec

Apakah Warso akan melamar Ra besok. Semakin menarik Bucan... Sehat dan sukses selalu Bucan

31 Dec
Balas

Terimakasih Bu Cantik

31 Dec

keren cerpennya bucan, bikin baper bacanya, salam sukses

31 Dec
Balas

Terimakasih

31 Dec

Makin keren dan menarik sahabatku... Sukses sdan salam santun

31 Dec
Balas

Trims sahabatku yang punya segudang diksi

31 Dec

Lalu kemana kuharus mencarinya ? mungkin ada disuatu tempat ya bun

31 Dec
Balas

Terimakasih Bun dah mampir

31 Dec

Warso msu melamar Rara di depan Hijr Aswad ya? Cerpen yg keren

31 Dec
Balas

He..he..he... Terimakasih ya Bun sudah mampir.

31 Dec

Hah jadi penasaran nich.

31 Dec
Balas

Terimakasih

31 Dec

Makin keren cerpennya bunda. Sukses slalu

31 Dec
Balas

Terimakasih

31 Dec



search

New Post