Sanria elmi

Nama yang diberikan oleh ortu Sanria Elmi Tempat tugas sebelumnya:SMP N 3 Lubuk Batu Jaya kab. Indragiri Hulu-Riau Tempat tugas saat ini: SMP Negeri 2 Lubuk B...

Selengkapnya
Navigasi Web
RAHASIA HATI Episode 57
postermywall

RAHASIA HATI Episode 57

02/01/2021

RAHASIA HATI

Episode 57

Oleh: Sanria Elmi

Hari berlalu tanpa terasa, tinggal satu hari lagi aku dan jamaah untuk tinggal di tanah suci dalam melaksanakan ibadah dalam hati yang damai dan bahagia. Rasa syukur yang tak terhingga atas semua berkah yang telah diberikan kepadaku oleh-Nya sudah sepantasnya kulakukan. Tanpa izin-Nya aku tidak mungkin bisa berada di sini.

“Assalamualaikum, Ra hari ini aku ngundang kalian untuk hadir di tempat pertemuan kalian kemarin. Aku juga nggak mau kalah dengan kalian. Bisakah?” suara Arfan terdengar setelah tombol jawab telepon kugeser untuk menerima.

“Waalaikumsalam, nyerocos aja. Ngomong pakai koma dong. Tapi aku senang kok. Ngomong-ngomong sama siapa?” tanyaku juga nyerocos.

“He…he...he..., ada deh,” sahutnya.

“Hmm…rahasia?” gumamku.

“Nggaklah, tapi siapa orangnya emang rahasia.”

“Tuh, kan. Kalian suka bikin aku kepo. Jam berapa acaranya?”

“Usai isya juga.”

“Ih, ngikut-ngikut. Kalian kompakan ya?”

“Hmm…gitu deh, namanya juga sesame teman, harus saling support.”

“Ya lah kalau begitu.”

“Kabari Warso ya.”

“Kamu aja yang ngabari. Eh ngomong-ngomong mau hadiah apa dari aku?”

“Nggak, nggak usah, ntar aja kalau dah nikahan.”

“Nggak sekalian nikah nih?”

“Ya nggak bisalah Ra, lagian surat-menyurat kan nggak ada di sini, gimana nanti ngurusnya?”

“Ya juga.”

“Kalian kapan mau nikahnya?”

“Belum ada rencana pastinya sih Fan, tapi nggak nunggu lama kayaknya. Sampai di tanah air nanti kami langsung ngurus administrasinya. Semoga aja lancar.”

“Aamiin. Doakan kami juga ya.”

“Tentu Fan, kita kan sudah teman dan rasa bersaudara.”

“Okelah Ra, sepertinya itu saja, o ya Ra, aku minjam Warso sama Raja buat bantuin ya.”

“Kok izinnya sama aku sih, ya nggak apa-apalah Fan, perlu bantuan aku nggak?”

“Perlu banget Ra, siap Zuhur kita ketemu di loby ya.”

“Oke Fan, siap insyaallah.”

Hubungan telepon kami berakhir aku pun melangkah menuju kamar dengan binary bahagia, ternyata ada yang akan berbahagia malam nanti sama sepertiku saat itu walaupun saat itu aku harus didera perasaan tidak menentu karena memang tidak tahu yang sebenarnya.

“Ra, mau ke mana?” seseorang menyapaku sehingga langkahku terhenti.

“Mas, aku mau ke kamar.”

“Udah sarapan?”

“Sudah, Mas darimana?”

“Baru siap sarapan, Mas nyari kamu tadi.”

“Kok Mas lambat sarapannya?”

“Ya, Mas tadi tawaf dulu siap subuh.”

“Mas nggak ngajak.”

“Tadinya Mas mau ngajak, tapi Mas ketemu kamu.”

“Nanti malam aja ya, biar nggak panas.”

“Ya Mas, o ya, Mas sudah dikasih tahu Arfan?”

“Masalah apa?”

“Dia mau lamaran.”

“O, sudah kok. Nanti katanya siap zuhur mau minta bantuan kita.”

“Mau ngapa ya Mas?”

“Katanya mau nyari cincin.”

“O, kemarin nggak nyari di Madinah.”

“Kemarin dia sebenarnya mau beli, tapi dia ragu ukurannya.”

“Trus sekarang, emangnya sudah tahu?”

“Makanya dia minta Mas ajak kamu.”

“O, gitu.”

“Kenapa nggak sekarang aja ya Mas,”

“Ya juga ya, biar Mas hubungi Arfan ya.”

“Ya Mas, kita tunggu di sini saja, biar ngak bolak-balek.”

“Ya, bentar ya, Mas telepon Arfan dulu.”

Aku dan Mas Warso duduk di kursi tunggu di loby.

“Gimana Mas?” tanyaku setelah Mas Warso selesai menelepon Arfan.

“Arfan setuju, dia lagi menuju ke sini.”

“O.”

“Bulat.”

Mas Warso tersenyum padaku, senyum yang sudah lama tidak kunikmati karena kesibukanku dalam menenggelamkan diri untuk beribadah. Dia juga begitu.

“Mas tahu Arfan mau ngelamar siapa?” tanyaku penasaran.

“Tahu sih, tapi Arfan minta Mas nggak boleh bocorin.”

“O, gitu ya? Jadi kalian pada sekongkol ya ngasih kejutan?”

“Namanya juga kejutan, kalau sudah diumumkan nggak jadi kejutan dong.”

“Ya lah, aku juga nggak boleh tahu?” rungutku.

“Justru itu, Arfan nggak boleh ngasih tahu kamu.”

“Lho, apa hubungannya Mas, kan yang mau dikasih kejutan bukan aku.”

“Mas hanya jaga amanah, Arfan ngomongnya gitu.”

“Amanah, ya lah. Nggak apa-apa. trus aku ngapain diajak nyari cincin, ntar kalau aku nggak tahu siapa orangnya atau setidaknya ciri-cirinya salah ukuran gimana?” protesku.

“Kita tunggu aja Arfan ya.”

“Ya Mas.”

“Ra, sudah menghubungi Bunda?”

“Sudah Mas, Bunda nanti nunggu di bandara karena besok kita sudah kembali dan lusa kita sudah sampai.”

“Ra, Bunda suruh nginap di rumah Mas aja. Nanti biar bareng Mama sama Papa ke bandara.”

“Tapi Bunda kan nggak tahu, belum kenal lagi.”

“Mas hubungi Mama ya, biar Mama nelpon Bunda.”

“Trus aku ngubungi Bunda lagi nih?” tanyaku.

“Ya, tapi sebentar lagi saja, sekarang kan masih jam 5 di sana.”

“Bunda sudah bangun kok kalau jam segitu.”

“Ya udah, Mas hubungi Mama, kamu hubungi Bunda. Biar Bunda berangkat dari kampung besok.”

“Ya Mas.”

Aku menghubungi Bunda yang langsung tersambung. Kukabarkan mengenai permintaan Mas Warso dan Bunda langsung setuju. Bunda minta nomor telepon dan alamat rumah Mas Warso. Setelah ngobrol kangen-kangenan kukirimkan sms kepada bunda. Pesan masuk dan bunda langsung membalasnya kalau smsnya sudah diterima. Aku lega, bunda nggak banyak komentar.

“Ra, Mama mau bicara,” ujar Mas Warso setelah aku selesai bicara sama bunda.

“Assalamualaikum Ma.”

“Waalaikumsalam Ra. Gimana kabar kalian?”

“Alhamdulillah Ma, Mama sehat kan?”

“Alhamdulillah, Mama sama Papa sehat dan bahagia mendengar akhirnya kalian bertemu di tanah suci. Mama jadi nggak sabaran agar kalian cepat-cepat menikah.”

“Ya, Ma. Mudah-mudahan tidak ada halangan yang berarti Ma.”

“Ra, Mama pingin ketemu sama Bundamu, tadi Warso sudah ngabari kalau calon besan Mama mau ke sini, kapan rencana berangkat dari kampung?”

“Ya Ma, tadi Ra sudah telepon Bunda, katanya besok pagi berangkat dari kampung. Nomor telepon Mama sama alamat rumah juga sudah Ra kirimkan sama Bunda.”

“Alhamdulillah kalau begitu, sebentar lagi biar Mama telepon juga.”

“Ya Ma, terimakasih ya Ma.”

“Sama-sama sayang. Jaga kesehatan ya.”

“Ya Ma, assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Kukembalikan handphone kepada Mas Warso.

“Ma, aku tutup dulu ya Ma, ni mau pergi nyari sesuatu.”

Arfan tidak lama datang mendekati kami.

“Maaf sudah lama?”

“Lumayan juga, kebetulan ketemu Rani di sini, dia minta supaya sekarang saja kita perginya.”

“Ya aku pikir itu lebih baik.”

“Fan, kamu mau lamar siapa sih?” tanyaku penasaran.

“Jangan ditanya ya, nanti nggak seru lagi.”

“Lho, kenapa?”

“Kan kejutan, nggak seru dong kalau kamu udah tahu.”

“Aneh! Yang mau dikasih kejutan itu siapa? Kan bukan aku, lalu kenapa aku nggak boleh tahu?” protesku.

“Sabar ya, Nyonya Warso.”

“Belum jadi nyonya, masih nona ya,” rungutku.

“Ya sih, tapi kan sudah ada tanda-tandanya.”

“Mau ngasih tahu apa nggak sih?”

“Ra, udah dong, kasihan Arfan. Yang jelas yang mau dilamar itu perempuan,” bujuk Mas Warso.

“Ya lah, belain konconya.”

“Yuk kita berangkat sekarang!” ajak Arfan.

Kami bertiga akhirnya pergi menyusuri pertokoan mencari tempat yang cocok.

“Fan, kayaknya di situ lebih komplit kayaknya, coba kita lihat.”

Aku menunjuk toko emas yang lumayan besar dan terlihat lebih komplit. Kami memasuki pertokoan yang gemerlap.

“Fan, coba yang itu, kamu suka nggak?” tanyaku ketika melihat sepasang cincin yang cukup berkelas.

“Cantik Ra, aku suka.”

Pelayan toko melayani kami dan memperlihatkan cincin yang kuminta.

“Fan cobain di jarimu, pas nggak?”

Arfan mencoba mengenakan cincin itu di jarinya.

“Sempit Ra,” ujarnya.

“Hmm… ukuran yang lebih besar ada?” tanyaku pada pelayan toko.

“Ada, sebentar ya.”

Pelayan toko mengambil cincin bermotif sama dan memberikannya padaku.

“Coba yang ini Fan.”

“Pas Ra.”

“Trus untuk yang cewek, ukurannya semana?” tanyaku.

“Kayaknya seukuran jari kamu lah Ra.”

“Kamu yakin Fan?” tanyaku ragu.

“Ya, aku yakin kok.”

Aku mencoba cincin yang semotif dengan cincin Arfan.

“Ini Fan.”

“War, kamu kemarin ngasih kado apaan?”

“Hmm, seperangkat perhiasan sama pakaian Fan.”

“Di sini ada nggak ya?”

“Kasih tahu Rani sajalah, gimanapun aku juga nggak paham dengan kesukaan perempuan.”

“Gimana ya, nanti Rani kaget lagi kalau kukasih tahu.”

“Nggak lah, pasti dia senang.”

“Ya udah.”

“Ra, sekalian dong sama kalung dan gelang yang serasi ya.”

“Ya deh, aku cariin.”

Mataku mengitari etalase yang memajang perhiasan yang bagus-bagus dan menyilaukan mata. Aku mematur-matut gelang dan kalung yang senada dengan motif cincin yang sudah dipilih. Hatiku terpikat melihat perhiasan yang terpisah dari yang lain.

“Itu Fan, sepertinya serasi banget sama cincin ini.”

“Ya, Ra. Aku suka,” ujar Arfan.

“Ini yang terbagus di sini, pintar sekali,” ujar pelayan toko dengan ramah.

Akhirnya kami meninggalkan toko setelah Arfan membayar di kasir.

“Kita mau ke mana lagi?” tanyaku.

“Ra, aku sekalian minta bantuan untuk nyariin buat kadonya.”

Aku senyum-senyum teringat saat Mas Warso yang begitu lihai berakting sampai-sampai aku tak tahu kalau dia sedang menyiapkan semuanya untukku.

“Kok senyum-senyum sih Ra?” tanya Arfan.

“Nggak, ingat waktu di Madinah aja. Orang yang spesial buat aku.”

“Aku jadi iri,” ujar Arfan sambil melihat Mas Warso.

“Iri kenapa?” tanya Mas Warso.

“Aku pinginnya seperti itu, tapi nggak ada kesempatan.”

“Kan kejutannya beda-beda Fan,” ujarku.

“Ya sih. Ra aku minta bantu ya.”

“Ya ini kan lagi dibantu, kamu mau cariin apalagi?” tanyaku.

“Semua yang sepantas dan seharusnya.”

“Mau beli kain apa pakaian?” tanyaku.

“Kalau sukanya apa?” tanya Arfan.

“Aku suka apa saja yang deiberikan padaku, aku nggak menuntut yang berlebihan.”

“Sekarang anggap saja kamu nyari yang kamu suka.”

“Lho, kan belum tahu calonmu suka.”

“Ra, dia itu sahabat kamu, pasti kamu tahu kesukaannya.”

“Siapa?” tanyaku.

“Aku hanya bisa ngasih tahu itu ya Ra, aku yakin kok kalau kamu bakal tahu siapa orangnya.”

“Wow, how?”

“Some one, dia itu your friend,”

“Oke, walau aku tak yakin tapi aku mulai paham, aku tahu dia suka apa.”

Aku semangat mencarikan sesuatu buat kado Arfan buat orang spesialnya. Pertama kami mencari kain lalu pakaian dan perlengkapan lainnya sampai sepatu.

Arfan puas dengan pilihanku, aku membantunya untuk membungkus semuanya dengan meminta bantuan pihak toko yang menyediakan keranjang hantaran seperti yang ada di Indonesia walaupun tidak terlalu spesial karena sepertinya mereka tidak terbiasa menggunakannya. Tapi buatanku cukup lumayan manis.

“Gimana Fan? Cantik nggak?” tanyaku setelah semuanya dikemas.

“Wow, spesial kali Ra.”

“Ra, Mas lupa belikan sesuatu buat kamu kemarin, kamu mau Mas belikan sekarang?” tanya Mas Warso.

“Apaan?” tanyaku yang merasa tidak ada kurangnya.

“Mas belum belikan sepatu, gimana mau?” tanyanya.

“Mas sudah belikan sandal kok, udah cukup kok Mas. Lagian aku suka yang sudah Mas kasih. Kalau Mas mau beli juga sih aku nggak nolak,” ujarku sambil tersenyum.

“Bilang aja mau, pakai belok-belok segala,” ledek Arfan.

“Belok-celok gimana?” tanyaku.

“Itu tadi, yang bilang udah cukup.”

“Ya emang udah cukup kok.”

“Ya udah, kita cari sekarang,” ujar Mas Warso.

“Mas, udah nggak muat tuh koper aku,” ujarku sedikit manja.

“Nggak apa-apa, masukin ke koper Mas aja nanti. Sekalian belikan buat Mama sama Bunda ya.”

“Memangnya koper Mas masih muat?” tanyaku ragu.

“Nanti kita susun lagi, sebagian nanti pindahin ke koper kamu dan yang berat-berat masukin koper Mas.”

“Kapan mau dikemasnya, semua sudah di-packing, kan besok sudah berangkat.”

“Ya, gampanglah, ntar langsung packing ulang.”

“Mas yang packing ya.”

“Ya, Mas yang packing.”

“Hmm! Jangan manja-manjaan di depan mata ah, bikin ngiri aja,” ujar Arfan.

“Apaan sih?”

“War, sepertinya kalian ini memang cocok banget, yang satu romantis dan yang satunya manja.”

“Enak aja, aku nggak manja ya,” protesku.

“Udah, jangan ribut, kayak musuhan aja,” ujar Mas Warso menengahi.

“Habisnya Arfan tu,” rungutku.

“Ya, aku minta maaf Bu Guru,” ujar Arfan.

Kami bertiga menuju toko sepatu lain sederetan dengan hotel kami. Kupilih sepasang sepatu yang aku sukai dan dua pasang lagi buat mama dan bunda.

“Mas, aku mau beli buah ya,” ujarku setelah selesai membeli sepatu.

“Boleh, ayo Mas temanin.”

“Aku gimana?” tanya Arfan.

“Mau ikut juga boleh, tapi kalau kamu mau persiapan yang lainnya juga boleh duluan,” jawab Mas Warso.

“Beneran nggak apa-apa aku nggak ikut? Nanti dikira nggak setia kawan.”

“Ya nggak apa-apa, kamu kan masih harus nyiapin keperluan lainnya. Di hotel Raja sudah nungguin kamu untuk bantuin.”

“Ya udah kalau begitu aku duluan ya, selamat shoping.”

Arfan meninggalkan kami berdua, aku dan Mas Warso melanjutkan jalan berdua yang tersisa di akhir hari di Mekah.

“Mas, aku senang kita bisa bertemu di tanah suci ini.”

“Mas lebih lagi Ra, rasanya Mas seperti mimpi bisa jumpa lagi di tempat yang terindah dan bisa melamar kamu sayang.”

“Ya Mas, makasih. Kamu sudah mewujudkan mimpiku yang tertunda.”

“Mas juga terimakasih, besok siap zuhur kita sudah berangkat, Mas pinginnya kita bareng.”

“Mas, nggak perlulah, toh perjalanan kita sama, nanti kita ketemu juga di setiap perhentian.”

“Ya sayang.”

Bersambung ya

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Apa benar di setiap perhentian bertemu? Ditunggu lanjutannya

03 Jan
Balas

He..he..he...kan bareng umrohnya beda travel tapi satu kloter...kita tunggu kejutan berikutnya ya Bun, masih dipikirkan nih endingnya sad ending apa happy ending ya? RAHASIA HATI??

03 Jan

Keren pisan.... Semoga Mas Warso, Mbak Rani selalu bersama.... aduh jadi kepo kelanjutannya.. Sukses selalu Cikgu

03 Jan
Balas

Terimakasih pak Hans SDH ngasih support

03 Jan

Ra .. aku turut bahagia bersama kebahagiaanmu. sehat dan sukses selalu bucantik

03 Jan
Balas

Terimakasih Bu cantik

03 Jan

so sweet, makin romantis aja... keren selalu

03 Jan
Balas

terimakasih Bu

07 Jan

Keren.

03 Jan
Balas

Terimakasih

03 Jan

Sudah banyak ketinggalan nih cerpennya bu Sanria. Ternyata sudah sampai ke tanah suci. Sukses selalu bu salam literasi

03 Jan
Balas

Terimakasih Bu cantik.Saya juga nih kadang nggak sempat mengunjungi semua.

03 Jan

Keren banget Bun. Aku ingin segera umroh. Sehat selalu dan sukses juga buat Bunda Aamiin

03 Jan
Balas

Aamiin, moga terkabul Bun, Terimakasih SDH mampir

03 Jan

Keren sahabatku yang cantik... Sukses selalu, salam santun buat ibu hebat

03 Jan
Balas

Terimakasih dah hadir sahabatku meski sudah dinihari

03 Jan

keren dan sukses selalu ya bu sandria

03 Jan
Balas

Terimakasih Bu cantik. Salam yg sama

03 Jan

Kisahnya keren Bun, makin romantis saja mas war dan Rani, lanjut, sukses selalu

03 Jan
Balas



search

New Post