Santi, S.Pd

Santi, S.Pd Guru Matematika SMP Instagram : santi29ia dan mathsmp789 Youtube : santi cendrianto...

Selengkapnya
Navigasi Web
Kuliah Umum PembaTIK Level 4 Kiat Sukses Berkomunikasi dan Motivasi bagi Para Pendidik

Kuliah Umum PembaTIK Level 4 Kiat Sukses Berkomunikasi dan Motivasi bagi Para Pendidik

Kuliah Umum Pembatik Level 4 yang ketiga pada hari Selasa, 15 September 2020, pukul : 10.30 – 12.00

Moderator : Restyn Yusuf (DRB Papua)Narasumber Pakar : Butet ManurungTema : Motivasi Guru Dalam Mendidik, Belajar Dalam Mengajar

Kak Butet Manurung adalah seorang aktivis pendidikan dan pendiri Sokola Rimba. Tahun 1999 pertama kali ke Rimba Bukit Duabelas Jambi, dimana masyarakat Orang Rimba peburu peramu sudah hidup damai tanpa masalah selama ratusan tahun. Awalnya Kak Butet datang sebagai antropolog yang bertugas untuk meneliti masyarakat adat Orang Rimba di sana. Dengan model cara hidup sebagai peburu peramu itu seperti apa pendidikan yang dibutuhkan, sebetulnya mereka baik-baik saja selama tidak ada masalah yang datang dari luar.

Pertama kali datang ke Rimba itu menggunakan pakaian seperti pecinta alam, memakai celana lapangan, membawa ransel, memakai sepatu gunung kemudian mengikuti aktivitas mereka berburu untuk melihat jerat. Disana bertemu beruang, dari sini mulai belajar yang sebelumnya bertanya-tanya kenapa mereka hanya memakai cawat ko tidak malu yah, kenapa mau tinggal di hutan, tidak mau keluar dari Rimba. Waktu jalan-jalan di sungai, naik turun jalannya jadi harus buka pakai lagi sepatu, menyeberang satu batang pohon saja terjatuh, kemudian pernah dikejar beruang, tidak sempat melepas sepatu kemudian langsung naik ke pohon untuk menyelamatkan diri supaya tidak dicakar beruang. Nah hari itu Kak Butet tidak bisa memanjat pohon dan kantung celana semuanya penuh dengan air dan lumpur jadi naik pohon licin sedangkan anak-anak yang memakai cawat langsung cepat naik. Sejak itu jadi berpikir kenapa Orang Rimba memakai cawat karena itulah yang paling operasional, mudah untuk naik pohon, Kak Butet waktu dikejar beruang topinya menyangkut di ranting pohon,baju juga, sepatunya menyangkut di dalam sungai, itu jadi pelajaran pertama tentang cara pandang atau persefktif.

Di hari berikutnya belajar lagi tentang sekolah di Rimba, ternyata mereka sudah mempunyai sekolahnya sendiri. Mereka juga belajar dari kecil kalau di kota seperti TK,SD,SMP,SMA,S1,S2,S3. Mereka belajarnya sudah sangat kontekstual, anak-anak dari kecil sudah belajar banyak hal, paham segala macam tentang binatang-binatang. Anak dari kecil belajar menangkap hewan yg kecil kadang menggunakan katepel atau jerat-jerat yang kecil, mereka juga dibantu oleh orang tua. Mereka belajar menggunakan tiga metode yaitu observasi, bermain dan ekplorasi, tidak menggunakan sistem kelas. Jadi mengamati orang tua dulu kemudian mencontohnya dengan bermain, mulai dari menangkap tikus dulu kemudian menangkap ular sampai dalam istilahnya sejajar dengan S3 yaitu mengambil madu di pohon yang tingginya sampai 100 meter, itu tingkatan pendidikan secara lokal. Sudah kontekstual karena memang semua pengetahuan dan kecakapan itu operasional terhadap keseharian mereka dan yang membuat mereka bertahan hidup.

Lalu berpikir lagi kenapa berada disini kalau pelajaran yang dibawa tidak ada manfaatnya. Mereka ternyata mengalami masalah selama 30 tahunan karena konservasi yang besar-besaran, hutannya dijadikan perkebunan skala besar, dijadikan transmigrasi yang kesemua masalahnya itu tidak bisa diselesaikan dengan kecakapan berburu, adat istiadat, atau mantra-mantra mereka itu sudah tidak mempan lagi. Kemudian mencoba mengajarkan baca tulis tapi mereka menolak karena itu tabu, mereka menyebut pensil itu setan bermata runcing karena setiap kali mereka berhubungan dengan orang yang mempunyai pensil pasti tidak beruntung. Kak Butet mengalami penolakan selama 7 bulan berturut-turut, berpindah-pindah dari satu kelompok ke kelompok yang lain. Orang Rimba itu tinggal di hutan seluas 6000 hektar, ada 12 kepala suku dan sekitar 3500 orang di sana. Itu yang di dalam hutan saja belum yang di luar hutan.

Di sana sebenarnya ada peluang untuk mengajarkan baca tulis, tetapi belum apa-apa mereka sudah lari ketakutan ketika pensil dikeluarkan karena katanya itu setan dikeluarkan dari tas. Jadi akhirnya harus dipendam dulu keinginannya sambil mencari celah lagi bagaimana supaya mereka percaya bahwa Kak Butet itu teman bukan musuh, itu saja dulu. Setelah itu baru menunjukkan bahwa baca tulis itu berguna tapi sempat berpikir juga mungkin baca tulis bukan menyelesaikan masalah. Setelah penolakan itu, kegiatan sehari-hari mereka diikuti mulai dari pergi ke pasar, mereka tidak bisa menghitung hasil jualan, mereka juga sering kehilangan tanah karena sering dikasih kertas yang dicap jempol oleh mereka sendiri yang ternyata isinya setuju menjual tanah tapi mereka tidak bisa membacanya. Jadi sering kali sehabis cap jempol dapat hadiah uang, rokok, gula dan segala macam tapi beberapa minggu kemudian buldozer datang mereka tidak bisa protes karena kalau menolak diperlihatkan kertas yang sudah dicap jempol yang sudah setuju menjual tanah . Ini kemudian menjadi pemikiran bagi beberapa anak-anak bahwa mereka harus belajar untuk melawan setan bermata runcing harus bisa menguasai setan itu supaya bisa imbang berkelahinya.

Ketika Kak Butet mengajar anak-anak di hutan, tiba-tiba ada senso untuk memotong pohon sehingga pohonnya jatuh, kemudian mereka bertanya kenapa kita sudah bisa baca tulis ko masih bisa hutan habis juga, kenapa ilmu baca tulis kita tidak bisa digunakan untuk menyelesaikan permasalahan utama kami untuk mengusir para pencuri kayu itu. Dari sanalah mulai lahir Sokola ketika kita dipertanyakan bahwa bahwa pendidikan yang kita berikan tidak bermanfaat untuk menyelesaikan masalah utama mereka. Literasi yang kita berikan tidak hanya baca tulis tetapi literasi yang kita berikan langsung tentang permasalahan yang mereka hadapi seperti tidak bisa mengitung uang, diambil hutannya bingung harus berbuat apa, penyakit-penyakit baru yang tadinya tidak ada seperti demam berdarah, muntaber, dan lain-lainnya jadi ada kemudian belajarnya langsung dibawa ke situ, sudah kontekstual tapi belum bisa menyelesaikan masalahnya.Dari sana masalah-masalah tersebut dijadikan kurikulum dan pelajaran lainnya yang berdampak untuk mengatasi masalah kesehariannya tetap diajarkan. Contoh ketika belajar baca “Rusa”, langsung ditanyakan adakah rusa disini, ada bu banyak, kita tiap minggu makan rusa, sekarang setahun sekali belum tentu, kenapa sampai begitu karena hutannya tinggal sedikit, kenapa hutannya sedikit karena dicuri orang, kenapa diam saja karena kami takut, kenapa takut karena kami tidak bisa melawan tapi sebetulnya mereka punya hak karena itu hutan mereka. Itu kemudian dijadikan belajar untuk mempertahankan diri. Jadi di Sokola kita harus percaya bahwa anak-anak mampu, bukan mereka tidak mampu lalu kita jadikan mampu karena mereka sebelumnya sudah mempunyai pengetahuan, mereka bukan kertas kosong, bukan tidak punya kecakapan untuk bertahan hidup jadi yang kita berikan itu hanya tambahan atau melengkapi yang mereka punya untuk lebih sempurna kemampuannya. Pengalaman ini dijadikan pelajaran bahwa jika kita mau membantu, hendaklah pengetahuan tersebut sifatnya sebagai pengetahuan tambahan yang melengkapi bukan yang menyingkirkan pengetahuan yang sudah ada. Tujuan setiap manusia adalah kemampuan untuk menentukan nasib sendiri dengan memastikan pilihan-pilihan tersedia (self-determination-UU Desa)

Pengetahuan yang kita sampaikan melalui kurikulum 2013 atau ada penyesuaiannya ada kurikulum darurat juga bagaimana caranya supaya bisa dikontekstualkan kepada permasalahan-permasalahan sehari-hari yang dialami oleh masyarakat yang berada di hutan, di perkebunan, anak-anak jalanan di perkotaan, atau yang tinggal di tengah kota Jakarta yang sempit dan berdesakan. Kalau konteknya buku itu lebih mudah diterapkan diperkotaan karena rata-rata yang membuatnya tinggal di perkotaan. Kenapa sekolah formal tidak cocok di beberapa tempat itu karena :

1. tidak mengajarkan kemampuan yang sesuai dengan kondisi/potensi sekitarnya

2. tidak mengakomodir cara belajar lokal dan sifat alamiah yang dinamis di alam bebas

3. tidak mengatasi dan tidak merespon persoalan kehidupan dan perubahan sekitar murid (setan bermata runcing)

4. tidak mengakomodasi nilai dan kebenaran versi lokal

Contoh bagi mereka baju itu cawat dan tatonya karena itu estetis dan bisa melindungi mereka dari roh-roh jahat dan penyakit dan itu sudah berlangsung beratus tahun lamanya atau rumah itu hutan, kamar mandinya seluruh sungai, kulkasnya seluruh rimba, dapurnya di mana saja jadi kalau diberi rumah seperti di kota itu disebutnya kandang bukan rumah, itu versi mereka dan keyakinan mereka.

Bagi masyarakat di sana sekolah formal itu sekolah untuk pergi karena anggapannya semakin tinggi tingkat pendidikannya semakin besar kemungkinan seseorang meninggalkan kampung halamannya dan adat istiadatnya karena ia semakin jauh dengan realitas sekitarnya. Pesan dari Kak Butet sebelum mengajar selalu ingat untuk memiliki :

1. Rendah hati atau Humility (human, humus, humble)

2. Makna pendidikan adalah membebaskan, mengeluarkan dari permasalahan

3. Mengajar itu sarana bukan tujuan

Pendidikan itu harus kontekstual berdampak artinya berkontribusi dalam kehidupan karena bagi Orang Rimba sekolah harus memberi manfaat untuk kehidupan, untuk saat ini bukan di masa depan. Karena jika kita memelihara hari ini, kita memelihara masa depan. Hargai keberagaman karena keberagaman adalah kekuatan. Pahami perbedaan tolak ukur “bahagia/sukses/kemajuan peradaban” antara standar negara (atau orang kota) dengan orang desa atau masyarakat adat, lalu adopsi sudut pandang lokal itu sebagai visi dalam gerakan literasi suatu komunitas. Penyeragaman kurikulum akan memberikan penyeragaman kecakapan yang dapat mengancam kemandirian komunitas dan ketahanan negara. Penyeragaman akan mengancam pengetahuan dan kecakapan lokal yang beragam.

Tetap semangat, belajar terus setiap hari 🙂

Penulis : Santi, S.Pd

Instagram : santi29ia dan mathsmp789

Youtube : http://www.youtube.com/user/santisajah

facebook : santi

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen tulisannya. Sukses selalu. Salam literasi

09 Oct
Balas

Terima Kasih Pak Dede, Salam Literasi :) :)

09 Oct
Balas



search

New Post