Sardono Syarief

Sardono Syarief, guru SDN 01 Domiyang, Paninggaran, Pekalongan, Jawa Tengah. Penulis lepas untuk media cetak dan sosmed....

Selengkapnya
Navigasi Web

Percik Api di Dalam Kedai (Bagian 4)

4. Lezatnya Bakso Balungan Oleh Sardoono Syarief

Awan berarak di langit biru. Putihnya bagai kapas yang menghias di hamparan angkasa luas. Perlahan mereka menghindar dari panas sang mentari. Bersama lari angin, ia melayang-layang ke arah bukit selatan.

Rupanya hari bertambah siang. Panas mentari di atas alun-alun makin terasa menyengat. Para pengunjung pameran mulai tampak gelisah. Satu per satu mereka tak kuasa lagi menahan gerah. Hal itu dirasakan pula oleh Bu Lia dan kelima anak didiknya.

“Ayo, Anak-anak, kita berteduh di bawah pohon beringin sana!”ajak Bu Lia. Ibu muda itu lari-lari kecil menghindari panas matahari. Panas si bola api yang sedari tadi telah membakar langsat kulit tubuhnya.

Di bawah pohon yang tumbuh rimbun di sudut barat alun-alun, ke sana Bu Lia dan anak-anak menuju. Setiba di tempat itu, terlihat banyak orang berteduh. Tak sedikit yang berdiri dan jongkok. Tak sedikit pula yang duduk lesehan dengan beralaskan rerumputan hijau. Hal seperti itu dilakukan pula oleh Bu Lia, Yondi, Yeni, Mila, Ana, dan Erwin.

Sambil berlindung dari sengatan matahari. Terlihat Bu Lia melepaskan pandang ke sekeliling alun-alun. Begitu pula yang dilakukan oleh Yondi dan kawan-kawan.

Dalam menikmati pemandangan yang ada di sekeliling, tiba-tiba mata Bu Lia menangkap seekor burung elang melayang-layang di atas langit biru. Teriakannya berkulik-kulik. Seakan menyuarakan kalau siang itu ia sedang menahan lapar. Dikarenakan sejak pagi tadi, si elang belum sarapan seekor anak prenjak pun yang bernasib malang sebagai pengganjal perut buasnya.

Sementara, tidak jauh dari tempatnya duduk, Bu Lia melihat sepasang kadal berkejaran. Entah berebutan apa. Dua ekor kadal tadi seketika menyelinap ke balik rerumputan, begitu diusik Erwin dengan sebutir kerikil yang dilemparkan dan mengenai ekor salah satu kadal tersebut.

“Memang usil benar kau, Win!”seru Yeni merasa gemas terhadap sikap Erwin. “Kenapa kauganggu kadal yang tak bersalah itu?”

“Memangnya kau terganggu juga, Yen?”timpal Erwin dengan senyum pahitnya.

Yeni tidak menyahut. Mukanya bersungut agar nyali Erwin merasa kecut.

Dalam waktu yang bersamaan, kembali mata Bu Lia tertambat pada tulisan besar yang terpasang di sebuah kedai. Tidak jauh dari tempatnya duduk. Tulisan itu berbunyi Kedai Bakso Balungan.

“Bakso balungan?”baca Bu Lia dalam hati. “Seperti apakah rasanya?”ibu guru yang masih belia itu agak penasaran. Ingin rasanya beliau mencicipi enaknya bakso balungan. “Seperti apakah lezatnya?”

“Yondi, Erwin, Yeni, Mila, dan kau, Ana,”ujar Bu Lia sesaat dari itu.

“Iya, Bu,”sahut Yeni dan Ana hampir bersamaan.

“Inginkah kalian mencicipi enaknya bakso balungan?”wajah anak didiknya satu per satu ia perhatikan penuh selidik.

“Bagaimana kau, Yon?”tanya Erwin seraya melirik Yondi.

“Kau sendiri, bagaimana?”Yondi balik bertanya.

“Kalau aku sih tidak, tidak ingin lewat,Yon,”jawab Erwin seakan tidak serius di balik tawa lirihnya.

“Dasar anak belengkok, kau! Tak berani terus terang,”ucap Yondi agak gemas.

“Ha, ha, ha…! Jangan marah, Sobat! Sabar, Bos. Sabar!”canda Erwin dengan sikapnya yang dibikin lucu.

“Kalian bagaimana, Yeni, Mila, Ana?”

“Kami menurut Ibu sajalah,”jawab Mila mewakili dua teman putrinya.

“Ibu ingin mencobanya, Mila. Ayo, kalian ikut Ibu ke sana!”ajak Bu Lia seketika melangkah ke arah kedai.

“Bagaimana dengan Yondi dan Erwin, Bu?”tanya Mila seperti mengusulkan.

“Ayo, semua ikut Bu Guru!”

Kedua anak lelaki itu segera membuntuti ketiga kawan putrinya. Buru-buru kedua anak itu mengejar langkah Bu Lia, gurunya.

“Bakso enam mangkuk, Bu!”pesan Bu Lia setiba di dalam kedai yang dituju.

“Iya,Bu. Pedas atau sedang?”sambut Bu Rani, si pemilik kedai, ramah.

“Sedang saja, Bu. Kalau kurang pedas, nanti kami tambah sambal sendiri,”Bu Guru Lia menjawab.

“Baik, Bu,”Bu Rani berlalu ke dalam. Tentu untuk menyiapkan bakso sejumlah pesanan pembelinya.

Seraya menunggu bakso jadi. Bu Lia berbisik ke telinga kanan Yeni.

“Yen. Jangan lupa. Nanti sambil menikmati lezatnya bakso balungan, kalian wawancarai Ibu penjual bakso tadi, ya! Terutama tentang bumbu dan cara membuatnya.”

“Baik, Bu,”sahut Yeni setengah berbisik pula. “Nanti kami akan berusaha untuk mencari tahu selengkap-lengkapnya, Bu.”

“Bagus!”Bu Lia menepuk pundak kanan Yeni, tanda setuju.

Selang sesaat, dua pelayan keluar dari dalam. Di tangan mereka tersangga masing-masing tiga mangkuk bakso di atas nampan.

“Permisi!”seorang pelayan menaruh satu per satu mangkuk di hadapan Bu Lia, Yeni, dan Mila. Sedangkan pelayan yang satunya lagi menaruh mangkuk isi baksonya di hadapan Yondi, Erwin, dan Ana.

“Silakan, dinikmati baksonya, Anak-anak!”perintah Bu Guru Lia.

“Baik, Bu,”sahut Erwin mewakili teman-temannya.

Tak lama dari itu, telah berpindahlah bola daging yang disebut bakso itu dari mangkuk ke mulut masing-masing anak. Begitu pula mie kuning, bihun serta kuah panas yang telah bercampur kaldu balungan sapi. Sungguh sangat lezat ketika dirasakan.

Selagi Bu Lia dan anak-anak menikmati sajian bakso balungan, muncullah Bu Rani, si pemilik kedai mendekati mereka.

“Bagaimana, Bu? Ada yang kurang?”tanya wanita bertubuh subur itu kepada Bu Lia.

“Sudah pas, Bu,”jawab Bu Guru di sela-sela menyantap bakso balungan panasnya. “Sangat lezat, Bu,”sambung Bu Lia seraya mengacungkan jempol.

“Syukurlah kalau begitu,”sahut Bu Rani senang.

“Oh, ya, Bu!”sahut Bu Lia cepat. “Bolehkah kami tahu dari bahan apa bakso balungan ini dibuat, Bu?”

“Oh, boleh saja, Bu!”jawab Bu Rani tidak keberatan. “Silakan jika mau dicatat!”sambungnya seraya tersenyum.

“Terima kasih,”sahut Bu Lia. “Yeni, Mila, Ana, Erwin, dan Yondi, siap-siaplah kalian!”

“Baik, Bu,”jawab kelima anak itu serempak.

Selang sesaat.

“Maaf, Bu,”Yeni memulai wawancaranya.

“Iya?” Bu Rani berpaling ke arah Yeni dengan cepat.

“Kiranya dari daging apakah biasanya bakso dibuat, Bu?”lanjut Yeni seraya memperhatikan Bu Rani baik-baik.

“Umumnya daging sapi, Nak. Itupun daging yang masih segar. Daging yang warnanya masih merah gelap. Bukan daging yang telah dibekukan, yang warnanya telah pucat. Bukan!”

“Bagaimana proses membuat bakso, Bu?”sela Mila ingin tahu.

“Caranya,”jawab Bu Rani menerangkan. “Terlebih dahulu daging sapi digiling sampai halus benar,”sambungnya. “Untuk mendapatkan hasil yang baik,”ujar Bu Rani lagi. “Saat proses penggilingan, bisa ditambahkan sedikit es batu. Ini dimaksudkan untuk menghambat naiknya suhu daging ketika digiling. Karena jika terjadi suhu daging naik,akan menyebabkan bakso terlalu alot dan tidak kenyal.”

“Lalu, Bu?”sela Ana.

“Untuk menghasilkan bakso sapi yang enak dan kenyal,”jawab Bu Rani. “Bisa ditambahkan pula tepung tapioka berkualitas tinggi ke dalam adonan daging yang telah digiling dengan perbandingan 1:5.”

“Maksud, Ibu?”kening Ana berkerut, tanda tak paham.

“Maksud Ibu,”sahut Bu Rani menjelaskan. “Misal kita mau membuat bakso sebanyak 200 gram daging sapi. Maka, jumlah tepung tapioka yang bisa kita campurkan ke dalam adonan sebanyak 40 gram. Tidak boleh lebih.”

Lalu, Bu?”kejar Erwin.

“Pada adonan daging sapi perlu ditambahkan pula bahan-bahan lainnya seperti; garam dapur, gula jawa, merica, bawang putih, lada putih, dan bawang merah. Semuanya diaduk dengan adonan hingga rata.”

“Selanjutnya, Bu?”desak Yondi.

“Selanjutnya adonan dibuat bola-bola kecil, yang biasa dinamakan bakso.”

“Selanjutnya, Bu?”Yeni angkat bicara lagi.

“Bersama tulang daging sapi, irisan bawang putih dan bawang merah, kaldu sapi, merica, dan daun bawang, bola-bola kecil atau bakso tadi direbus sampaimendidih. Jika sudah matang, bola bakso tadi dientas. Lalu ditiriskan.”

“Sudah, Bu?”tanya Erwin.

“Belum,”jawab Bu Rani cepat. Tambahnya,“Air bekas rebusan bakso tadi jangan dibuang. Bahkan bisa dimanfaatkan sebagai kuah pada bakso yang disajikan. Jelas, Anak-anak?”

“Jelas,Bu,”Mila dan kelima kawannya mengangguk-angguk paham.

“Maaf, Bu,”ucap Yondi tak lama dari itu.

“Iya?”sahut Bu Rani seraya memandangi Yondi.

“Kiranya bumbu apa saja yang dicampurkan pada bakso ketika disajikan di dalam mangkuk, Bu?”

“Dalam satu mangkuk biasanya terdiri dari bola bakso, pangsit, mie kuning, bihun, kerupuk pangsit, taoge, tahu, telur, dan taburan bawang goreng.

Kemudian tuangkan kuah kaldu sapi bersama balungannya. Jangan lupa, campurkan pula sambal, kecap, dan cuka secukupnya.”

“Selanjutnya, Bu?”sela Mila dari diamnya.

“Bakso sudah siap disajikan. Sudah bisa dinikmati bersama lontong, kupat, atau nasi,”kata Bu Rani mantap.

“Bakso cocoknya dimakan bersama apa, Bu? Nasi, lontong, atau kupat?”tanya Yeni agak panjang.

“Tinggal selera yang mau makan sajalah, Nak,”jawab Ibu pemilik kedai bakso balungan tadi seraya tersenyum gembira. “Yang jelas, bakso sangat cocok dimakan pada saat udara dingin.”

“Mengapa sebabnya,Bu?”tanya Ana penasaran.

“Karena dari kuah kaldu sapi yang panas. Ditambah rasa sambal yang pedas. Akan bisa membuat tubuh penikmatnya merasa hangat, Nak.”

“Apa benar begitu, Bu?”Yeni ingin yakin.

Bu Rani mengangguk. Meyakinkan.

“Dicoba sajalah!”gurau Bu Rani.

“Maaf, Bu,”Yondi menyela. “Kiranya di Indonesia ini,”lanjut Yondi. “Bakso yang terkenal berasal dari daerah mana, Bu?”

“Yang Ibu tahu selama ini, ya bakso dari Solo dan Malang, Nak,”jawab ibu yang ditanya. “Maka, jika kalian bepergian jauh ke luar kota,”sambungnya. “Biasanya akan kalian lihat gerobak bakso keliling atau mangkal di tepi jalan yang bertuliskan ‘Bakso Malang’ atau ‘Bakso Solo’ begitu, Nak.”

“Benar, memang, Bu,”sahut Yeni menguatkan.

“Atas dasar apa kau berkata seperti itu, Yen?”Erwin bertanya.

“Belum lama ini ketika saya pergi ke Semarang,” jawab Yeni. “Saya melihat ada gerobak bakso dorong yang bertuliskan Bakso Solo, begitu, Win.”

“Benarkah katamu tadi, Yeni?”masih tanya Erwin. Anak lelaki itu belum mau percaya dengan apa yang dikatakan Yeni.

“Kapan aku pernah berbohong seperti kamu, Win?”jawab Yeni membela diri.

“Ya, barangkali. Jika yang kaukatakan tadi benar, Alhamdulillah. Berarti ceritamu benar, Yen,”Erwin memicingkan kedua mata sipitnya. Dari sikapnya itu membuat Yeni merasa kesal.

“Huuuh! Tak ngurus kamu!”dengan nada ketus Yeni mencibiri Erwin.

Erwin tersenyum kecut.

Tak lama dari itu. Setelah semuanya selesai. Bu Lia mengajak Yondi dan kawan-kawan berpamit diri dari Bu Rani.***

(Bersambung)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post