Sardono Syarief

Sardono Syarief, guru SDN 01 Domiyang, Paninggaran, Pekalongan, Jawa Tengah. Penulis lepas untuk media cetak dan sosmed....

Selengkapnya
Navigasi Web
Percik Api di Dalam Kedai (Bagian 5)

Percik Api di Dalam Kedai (Bagian 5)

5. Gara-gara You, Dawet Ayu

Keluar dari kedai Bu Rani, yang terlihat di mata makin banyak orang lalu lalang. Terlihat di kanan-kiri alun-alun, para pengunjung makin berdesak-desakan.

Padahal hari kian panas. Pengunjung yang baru tiba itu tidak peduli pada sengat matahari membakar tubuh mereka. Orang-orang itu lebih berkeinginan bisa menyaksikan apa yang digelar oleh Pemda Kabupaten Pekalongan dalam pameran di siang itu.

Sementara di seberang jalan, di sebelah barat alun-alun, dengan megah Masjid Al Muhtaram berdiri. Dari menaranya terdengar kumandang azan zuhur. Panggilan kepada umat muslim untuk segera merapat ke lantainya. Untuk menyembah sujud kepada sang Khaliq. Tuhan yang memberi kehidupan kepada semua yang hadir pada pameran siang itu. Tak terkecuali.

“Allahhu akbar!”ujar Bu Lia. “Ayo, kita ke masjid dulu, Yen!”ajak Bu Guru Muda itu seraya menggandeng lengan Yeni.

“Mari, Bu,”sahut Yeni menurut.

Mila, Ana, Yondi, dan Erwin mengikuti Bu Lia dan Yeni dari belakang. Mereka jalan beriringan. Menyeruak di sela padatnya para pengunjung pameran. Mencari jalan tembus yang menuju halaman masjid.

Setiba di masjid, Bu Lia, Yeni, Mila, dan Ana segera mengambil wudu di tempat wudu wanita. Sedangkan Yondi dan Erwin, berwudu di tempat wudu pria.

Setelah melaksanakan salat jemaah, Bu Lia meminta Yondi dan kawan-kawan kumpul sesaat di serambi kanan masjid.

“Anak-anak,”begitu katanya. “Sekarang sudah tengah hari,”sambungnya. “Kita pulang sekarang, ataukah nanti setelah mendapatkan banyak resep kuliner dari pameran ini?”

“Nanti saja, Bu,”timpal Yondi dengan semangat. “Kalau Ibu mengizinkan,”lanjutnya. “Kami akan mencari tahu sendiri tentang berbagai resep kuliner lain yang belum kami dapatkan. Sementara, Ibu isitirahat di sini, di masjid ini. Bagaimana menurut pendapat Ibu?” usul Yondi meminta petimbangan.

“Kiranya, sanggupkah kalian melaksanakan wawancara sendiri. Tanpa Bu Guru menemani?”

“Insyaallah, sanggup, Bu,”masih sahut Yondi meyakinkan. “Justru kalau Ibu tak ikut,”katanya lebih lanjut. “Kami merasa bertanggung jawab penuh untuk bisa melakukan wawancara, sekaligus membawa pulang hasilnya, Bu.”

“Kalian yakin bisa?”

“Yakin, Bu! Kami yakin bisa melakukannya,” Mila ikut meyakinkan Bu Lia.

“Ya sudah kalau itu pilihan kalian,”ujar Bu Lia. “Ibu cuma berpesan,”ujarnya. “Kalian laksanakan wawancara dengan hati-hati. Hormati orang yang kalian wawancarai! Tidak boleh ceroboh. Ingat etika! Jangan lupa, sopan santun harus selalu kalian jaga!”

“Baik, Bu. Pesan Ibu akan senantiasa kami ingat-ingat,”kali ini Yeni yang menjawab.

Bu Lia mengangguk sembari tersenyum lega.

“Kami berangkat dulu,Bu. Assalamualaikum,”pamit Yondi sambil berdiri dari duduknya.

Bu Lia mengangguk, seraya menyahut,”Waalaikum salam.”

Yondi melangkah. Di belakangnya, Erwin, Yeni, Mila, dan Ana mengikuti anak lelaki itu.

“Kita ke mana, Yon?”tanya Erwin setelah melangkah agak jauh dari masjid.

“Ke sana!”telunjuk Yondi menunjuk ke arah kanan masjid. Tepatnya di taman sebelah selatan. Di tempat yang amat rindang dan asri itu, banyak berjajar kedai kaki lima. Kedai yang menyediakan berbagai macam kuliner menarik. Kuliner yang cukup mengundang selera makan para pengunjung pameran.

Di sana banyak pula penjual minuman pengusir rasa dahaga. Minuman penyejuk kering tenggorokan akibat panas awal musim kemarau.

”Setop! Setop! Setop!”tiba-tiba Yondi menghentikan langkah kawan-kawannya.

“Ada apa, Yon?”dengan rasa penasaran Yeni bertanya. “Kenapa kau?”penuh selidik gadis lincah itu memperhatikan Yondi. “Sakitkah kau?”kening Yeni berkerut-kerut.

Yondi tersersenyum.

“Tidak. Aku tidak sakit. Aku sehat-sehat saja, Kawan!”

“Kok kamu minta kami berhenti. Kiranya ada apa?”

“Aku ingin mengajakmu ke sana, Yen. Sementara yang lain, menunggu di sini. Di taman ini.”

“Ah, ndak. Aku tak mau!”dengan genit Yeni menolak ajakan Yondi.

“Benar kau tak mau?”pancing Yondi. “Kalau tak mau, ya sudah. Engkau tak akan kuberi.”

“Memangnya aku mau kauberi apa, Yon?”Yeni makin penasaran.

“Kau ingin dawet ayu ndak?”

Dawet ayu? Minuman apa itu? Kok aku baru sekali ini mendengarnya? ”sela Mila ikut penasaran pula.

Yondi tidak menyahut. Hanya senyumnya saja yang terus mengembang di bibir, hingga membuat rasa makin penasaran semua kawannya saja.

“Yang jelas dawet ayu itu minuman pelepas dahaga, Kawan,”ujar Erwin datar. “Betul tidak, Yon?”

“Betul sekali!”sahut Yondi.

“Kalau begitu, aku mau kauajak, ah, Yon!”seru Ana mendaftarkan diri.

“Aku juga mau, Yon!”timpal Mila ikut mendaftarkan diri pula.

“Aku mau juga,”tambah Erwin.

“Bagaimana dengan engkau, Yen?”tanya Yondi.

“Kalau lainnya mau, mengapa aku harus menolak, Yon?”jawab Yeni seraya tersenyum di kulum.

“Oke. Kalau begitu, mari, kita sama-sama ke kedai dawet ayu sana! Setuju?”ajak Yondi penuh semangat.

“Setuju!”jawab keempat kawannya serempak.

“Tapi ingat!”kata Yondi sebelum melangkahkan kaki ke arah yang dimaksud.

“Ingat apa, Yon?”tanya Erwin singkat.

“Sambil menikmati dawet ayu,”ujar Yondi mengatur acara. “Di sana nanti kita bergantian mengajukan pertanyaan kepada si penjual dawet ayu.

Intinya, kita cari tahu. Dari bahan apa dan bagaimana cara dawet ayu dibuat? Mengapa namanya dawet ayu, kok bukan dawet manis, dawet es, atau dawet yang lain? Sanggup?”

“Iya, kami sanggup, Bos,”sahut Erwin, Mila, Ana, dan Yeni bersamaan.

Sejurus dari itu, tibalah kelima anak tadi di kedai dawet ayu. Di bawah rindang pepohonan taman.

“Dawet ayu 5 gelas, Pak!”demikian pesan Yondi kepada si penjual dawet.

“Iya, Dik,”jawab Bapak penjual dawet. “Diberi es tidak, Dik?”

“Diberi es semua, Pak,”sahut Yondi sebelum kawan lainnya menjawab.

“Baik, Dik. Tunggu sebentar ya!”Pak penjual dawet menuangkan dawet ayunya segelas demi segelas.

Tak lebih dari sepuluh menit, selesailah sudah lima dawet ayu tertuang di dalam gelas.

“Silakan diminum, Dik!”ujar Pak penjual dawet saraya menyorongkan satu per satu gelas isi dawetnya ke atas meja. Tepat di hadapan duduk Yondi dan kawan-kawan.

“Terima kasih, Pak,”jawab Yeni sambil menelan ludah. Tak sabar gadis cantik itu menunggu giliran gelasnya tiba di hadapannya.

“Serupuuuut...! Serupuuuut....!”dua teguk dawet telah membasahi kering tenggorokan Yeni. “Alhamdulillah. Betapa segar, gurih, manis, dan dinginnya es dawet ayu ini, Tuhan!”ujarnya sembari menggeleng-gelengkan kepala. Pertanda syukur atas rahmat yang diberikan Allah melalui segelas dawet ayu. Minuman ringan yang baru pertama kali itu ia kenal.

“Bagaimana rasanya dawet ayu ini, Teman-teman?”tanya Yondi di tengah-tengah suasana menikmati es dawet ayunya.

“Sugguh luar biasa segarnya, Yon,”timpal Erwin. “Benar kan, Teman-teman?”

“Iya, benar,”sahut yang lain membenarkan.

“Oh, ya!”seru Yondi. “Senyampang Bapak penjual dawet ayu ini duduk santai,”sambungnya. “Mari, kita dekati sekaligus kita wawancarai seputar dawet. Jangan pertanyaan yang lain-lain!”

“Mari!”sahut rekan-rekannya setuju.

“Maaf, Pak,”Yondi mengawali pertanyaannya.

“Iya. Ada yang bisa Bapak bantu, Dik?”timpal Bapak penjual dawet.

“Ada,Pak,”jawab Yondi. “Jika tidak keberatan,” lanjut anak itu. “Mengapa dawet yang gurih, manis, segar, sedap, dan dingin ini diberi nama dawet ayu, Pak? Mengapa bukan dawet-dawet yang lain?”

“Oh, itu?”Pak penjual dawet tersenyum.

“Ini cuma nama saja, Dik,”jawab si penjual dawet menjelaskan. “Mau dawet ini diberi nama es dawet, dawet ketan, dawet cendol, atau dawet ayu, ini terserah pada selera yang memberi nama.”

“Mengapa dawet Bapak diberi nama dawet ayu? Apakah ada kisahnya, Pak?”Yeni ikut bertanya.

“Ada memang, Dik,”jawab si penjual dawet. “Dulu, ketika Bapak masih muda,”sambungnya. “Pernah kenal dengan seorang gadis cantik. Gadis ayu penjual dawet. Karena kesan dan ketertarikan Bapak terhadap gadis ayu tadi. Maka dawet yang Bapak buat Bapak beri nama dawet ayu.”

“Apakah gadis ayu tadi akhirnya bisa menjadi istri Bapak?”potong Mila ingin tahu.

“Benar, Dik,”sahut Pak penjual dawet. “Gadis yang sempat membuat Bapak kesengsem tadi akhirnya menjadi istri Bapak sampai sekarang.”

Yondi dan kawan-kawan tertawa lepas.

“Wah, Bapak beruntung sekali kalau begitu, Pak!”seru Erwin bergurau.

Pak penjual dawet ikut tertawa pula.

“Maaf, Pak,”sela Yeni setelah tawa Pak penjual dawet reda.

Bapak penjual dawet berpaling ke arah Yeni.

“Kalau boleh kami tahu,”sambung anak berperawakan tinggi semampai itu meneruskan pertanyaannya. “Bagaimana cara dawet ayu dibuat, Pak? Kok rasanya sempat mengundang penasaran pembelinya?”

Pak penjual dawet tersenyum.

“Iya, Pak,”sahut Ana ikut menimpali.

“Cara Bapak membuat dawet ayu, begini, Dik,”Bapak si penjual dawet mulai menerangkan. “Yang pertama kali Bapak siapkan adalah bahan-bahannya. Di antaranya; 250 gr tepung beras, 250 gr tepung tapioka, 100 ml air sari daun pandan, 600 ml air matang, dan es batu.”

“Lantas, Pak?”kejar Yondi ingin tahu lebih jauh.

“Lantas, langkah yang kedua,”lanjut Pak penjual dawet. “Kita siapkan bahan untuk membuat santan. Biasanya santan kita dapatkan dari kelapa parut, sebanyak 1 liter. 3 lembar daun pandan. Dan garam daun pandan.”

“Seterusnya, Pak?”sahut Mila.

“Kita buat larutan gula,”jawab Bapak yang ditanya. Untuk membuatnya siapkan 500 gr gula merah disisir. 50 gr gula pasir. 250 ml air.”

“Lantas, bagaimana cara membuat es dawet ayunya,Pak?”sela Yeni ingin lekas mengerti.

“Cara membuat es dawet ayunya, demikian, Nak,”penjelasan Pak penjual dawet.“Pertama, campurkan tepung beras, tepung tapioka, daun pandan, serta air. Lalu aduk-aduklah sampai rata hingga mengental.”

n baku Dawet Ayu

“Lanjutnya, Pak?”tak sabar Ana ikut bertanya.

“Ambil cetakan dawet. Gunakan alat itu untuk mencetak adonan dawet yang sudah mengental tadi. Agar adonan tidak lengket pada cetakan. Siapkan air hangat dalam wadah untuk membersihkan cetakan dari adonan dawet apabila lengket.”

“Seterusnya, Pak?”sela Erwin seperti tak sabar menunggu penjelasan Pak penjual dawet lebih lanjut.

“Terus,”sahut Pak penjual dawet. “Langkah berikutnya, kita membuat kuah santan.”jawab Pak penjual dawet. “Kuah ini dibuat dengan cara merebus santan bersama daun pandan dan garam. Agar santannya tidak pecah-pecah, kita harus mengaduk-aduk kuah tersebut sampai mendidih. Setelah dirasa adukan sudah rata, maka kita angkat atau kita sisihkan untuk menunggu kuah tersebut dingin.”

“Selesai, Pak?”tanya Yondi?

“Belum,”jawab Pak penjual dawet. “Jika kuah sudah dingin,”demikian sambungnya. “Sajikan es dawet ayu dengan cara: siapkan gelas kosong, masukkan dawet secukupnya, kemudian siramlah dengan kuah santan, dan tuangkan larutan gula merah. Untuk menghasilkan rasa yang lebih segar lagi dingin, tambahkan pula es batu ke dalam dawet tersebut.”

“Dengan begitu, berarti proses pembuatan dawet ayu sudah selesai, Pak?”tanya Yondi ingin yakin.

Bapak penjual dawet ayu mengiyakan, seraya tersenyum.

“Wah, wah, wah..! Boleh kita coba ya, Pak?”seru Erwin kegirangan.

“Silakan, silakan! Jika cara membuatnya menurut urut-urutan ini, insyaallah dawet buatan kalian enaknya melebihi buatan Bapak, Adik-adik.”

“Betul ini, Pak?”sela Mila.

“Silakan dicoba saja.”

“Amin, Pak. Terima kasih atas ilmu yang Bapak berikan kepada kami,”ucap Yondi panjang. “Mudah-mudahan, dawet ayu Bapak makin laris manis saja.”

“Amin, ya robbal alamin...”

“Oh, ya, Pak!”sela Mila. “Resep dawet ayu yang Bapak jual ini berasal dari daerah mana, Pak?

“Dari daerah Banjarnegara, Dik. Rasanya beda dengan dawet-dawet dari daerah lain, seperti dawet ayu dari Solo, atau dawet ayu dari Jepara, misalnya.”

“Benar begitu, Pak?”Erwin minta kemantapan.

“Betul, Dik.”

Usai itu. Yondi dan kawan-kawan berpamitan diri.

“Assalamualaikum, Pak...!”

“Waalaikumsalam,”jawab Bapak penjual dawet ayu tersenyum seraya melambai-lambaikan tangan. ***

(Bersambung)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post