Album foto ini berdebu. Betapa lamanya aku tak ingin menyentuhnya. Jangankan melihat isinya, melihat sampulnya pun sudah membuatku enggan. Deretan foto masa lalu di dalamnya serupa pisau tajam yang menyayat hatiku. Kenangan yang tersimpan di dalamnya pun hanya sebentuk genangan luka yang tak ingin kutengok lagi. Rasanya jiwaku sudah sangat jauh meninggalkannya, berdamai dengan masa itu dengan terus melangkah. Tapi ternyata, album foto ini membawaku dekat kembali pada kisah lama itu.

Adila, anakku yang berusia tujuh tahun selalu senang bercerita tentang teman-temannya. Aneka rupa cerita. Dan aku selalu berusaha menjadi pendengar setia untuknya. Sampai suatu hari, ia bercerita tentang pesta pernikahan tetanggaku. Sebenarnya aku lebih dari tahu, tapi Adila punya versi ceritanya sendiri. Ia mengatakan bahwa jika kelak ia menikah, ingin seperti itu. Di gedung yang besar, dihadiri banyak orang, dan semuanya tampak mewah. Aku hanya tertawa mendengarnya. Impian anak kecil yang entah namanya.

“Ibu, dulu waktu ibu menikah bagaimana?” tanyanya mengejutkanku. Aku sampaikan bahwa dulu aku menikah di gedung yang sama dengan si tetangga itu. Aku ceritakan pula tentang gambaran acara resepsinya. Tapi semua yang kusampaikan tidak mudah membuat Adila percaya. Ia minta buktinya. Akhirnya, album foto ini kuambil dari gudang. Sebuah album yang hanya mampu merajutkan kenangan pernikahanku selama enam tahun. Setelahnya, semua terpaksa usai karena pengkhianatan, dan aku memilih membesarkan Adila sendiri.

Lebak, 01042021