Berbondong-bondong warga datang ke kantor desa. Wajah mereka sumringah. Tidak seperti biasanya, mereka pun berpakaian lebih rapi. Yang laki-laki tampak berkemeja dengan celana panjang berbahan katun yang disetrika dengan licin. Yang perempuan tampak bertunik dengan rok atau celana panjang yang juga dipadukan dengan kerudung berwarna senada. Serupa seremonial, kantor desa seketika menjelma penuh warna. Tidak ada yang mengeluh, tidak ada yang protes. Semua tertib tanpa sedikit pun keributan. Hansip desa tampak ngopi dengan santai di ruangannya yang berukuran satu kali satu setengah meter.

Apa pasal? Kabar gembira itu. Dana bantuan pandemi sebentar lagi tiba di tangan mereka. Sebelum sampai ke kantor desa, pastilah banyak harapan sudah mereka sematkan pada uang itu. Membeli beras, membayar utang, membelikan mainan anak, merenovasi tegel dapur yang sudah pecah, membeli keperluan sekolah, atau sekadar menuntaskan rindu berbelanja di pasar. Tingginya harapan membuat semua bergembira. Selanjutnya, larut mengukir harapan lagi. Lupa bahwa tidak semua beruntung dan bisa merasakan euforia itu.

“Tidak ke desa, Yum?” tanya Pak RT kepada Iyum, salah satu warganya. Iyum hanya menggeleng. Janda lima puluh tahun itu tidak termasuk yang bersuka cita di kantor desa. Rumahnya yang berbilik bambu dan berlantai tanah serta lima anaknya yang masih kecil tidak cukup menjadi syarat untuknya datang ke kantor desa. Besok, saat ia mencuci pakaian majikannya di sungai, telinganya harus siap mendengarkan Bu Onah, tetangganya yang rumahnya bagus, bercerita tentang betapa manisnya uang bantuan itu. Sementara Iyum hanya mampu tersenyum manis.

Lebak, 21032021

#Pentigraf

#Literasi

#Harike-8

#MenduniaBersamaSLI

#SLISiapMeliterasikanDunia